Abstraksi
Tulisan ini
mencoba menggambarkan proses pembuatan rancangan Undang-Undang tentang
Penanganan Konflik Sosial dengan melihat perkembangan pemikiran model hukum
progresif sebagai pilihan alternatif dalam pencegahan, penanganan dan
penyelesaian konflik sosial yang sering terjadi di masyarakat. Konflik sosial
yang terjadi dimasyarakat dan berujung kepada kekerasan sering tidak dapat
terselesaikan melalui jalur-jalur hukum formal. Penyelesaian yang dilakukan
oleh pemerintah selama ini cendrung memaksakan secara cepat namun tidak mengena
kepada persoalan yang sebenarnya di masyarakat. Jalur penyelesaian melalui
hukum formal terkadang tidak memberikan rasa keadilan kepada para korban dan
pelaku (juga menjadi bagian dari korban konflik), sehingga dibutuhkan cara
berbeda untuk menyelesaikan konflik sosial yang terjadi.
Uraian ini
menjelaskan inti dari pembahasan RUU PKS yang menitik beratkan kepada penguatan
masyarakat sipil melalui, penggunaan mekanisme adat, sosial dan agama dalam
mengelola konflik dengan jalan damai sebagai pengadopsian konsep hukum
progresif. Selain itu pemberian wewenang kepada pemerintah daerah dalam
mengeluarkan kebijakan penanganan konflik didaerahnya sendiri dengan mengikut
sertakan masyarakat sipil diharapkan dapat menjadi solusi terbaik dalam
menyelesaikan permasalahan konflik di daerah.
Permasalahan
lain didalam pembahasan RUU tentang Penanganan Konflik Sosial ini adalah
pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI yang dapat diminta oleh pemerintah
daerah namun melalui persetujuan forum komunikasi daerah. Permasalahan ini
menjadi perhatian dari beberapa pihak penggiat perdamaian yang melihat
penggunaan TNI dapat menjadi masalah dalam penanganan konflik. Namun didalam
RUU ini, pengaturan mengenai penggunaan kekuatan TNI masih didalam koridor
kekuasaan sipil dimana kepolisian menjadi pusat koordinasi dalam penggunaan
kekuatan TNI bersama masyarakat sipil lainnya dalam sebuah lembaga penyelesaian
konflik yang dinamakan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial.
BAB I
I.1. Latar Belakang
Ketika
pertama kali Republik Indonesia berdiri, potensi konflik banyak disebabkan oleh
besarnya perbedaan ideologi dan politik diantara masyarakat. Informasi yang
terbatas menjadi salah satu sebab yang memperparah konflik politik di
Indonesia. Namun sejak pergantian rezin orde lama ke Orde Baru, konflik-konflik
politik yang terjadi cendrung dapat diredam dengan pemerintahan yang otoriter
oleh Suharto. Pendekatan penyelesaian keamanan yang cendrung milteristik,
bersifat top down dan cendrung
mengutamakan stabilitas keamanan dengan segera, memang mampu dengan cepat dapat
menyelesaikan permasalahan-permasalahan masyarakat yang mungkin dapat berujung
kepada konflik sosial. Namun hal tersebut tidak dapat menyelesaikan secara
tuntas dan dapat muncul kembali sewaktu-waktu ketika kontrol pemerintah
melemah. Menurut Tamrin Amal Tamagola, Indonesia tidak pernah sepi dari
ledakan-ledakan konflik komunal sejak tahun 1950 dalam masa orde lama dan juga
era orde baru dengan
meletusnya konflik etnis di Sanggau Ledo, Kalimantan Barat. Konflik terakhir di
Sampit, Kalimantan Tengah, adalah yang keenam belas kalinya. Bahkan, konflik
berbasis agama juga terjadi zaman Orde Baru, yaitu pertikaian bernuansa agama
di Jawa, seperti peristiwa Situbondo, Tasikmalaya, Pekalongan, konflik
antarumat beragama secara terbatas di Halmahera Utara yang sudah terjadi sejak
tahun 1960-an[1].
Penyelesaian
konflik sosial dizaman Orde Baru yang lebih mementingkan kekuatan militeristik
dan cendrung Top Down, menciptakan
masyarakat yang tidak mandiri dalam menyelesaikan permasalahannya secara
dewasa. Hal tersebut terlihat ketika dominasi pemerintah dalam menjaga
stabilitas keamanan mulai berkurang seperti yang terjadi diawal reformasi
hingga saat ini. Menilik data BNPB, terdapat 94 kasus konflik sosial yang
terjadi di Indonesia selama kurun waktu 1998 hingga tahun 2011, dengan jumlah
korban meninggal kurang lebih mencapai 5994 jiwa. Jika kita melihat data
tersebut, ternyata kasus konflik sosial yang berujung kepada kekerasan dan
memakan korban paling besar berada pada rentang waktu awal reformasi hingga
saat ini.
Transisi
politik di era reformasi membuka peluang terjadinya sistem pemerintahan yang
terdesentralisasi dan proses libralisasi demokrasi yang terlalu luas tanpa
dibarengi oleh kemampuan masyarakat untuk memahami dengan lebih baik proses
yang terjadi. Banyak kelompok-kelompok masyarakat yang menuntut partisipasi
politik lebih dan cendrung menggunakan kekuatan masa. Maasaki, Okamoto, dkk
dalam buku Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi melihat runtuhnya
pemerintahan otoriter tidak hanya menurunkan tingkat kestabilan politik,
meningkatkan tingkat kriminalitas, tetapi juga membuka lebar pandora’s box dan berbagai komponen
masyarakat menuntut keadilan yang ditafsirkan oleh dirinya sendiri yang didasari
pada etnis, agama, adat, politik, ekonomi, klas, dsb. Tuntutan tersebut
dilakukan secara berkelompok dan dengan memanfaatkan instrumen kekerasan untuk
menebar ancaman terhadap kelompok lain yang dianggap bersebrangan ideologi atau
kepentingan[2].
Pada kasus
konflik-konflik yang muncul setelah kejatuhan rezim Orde Baru, transisi
Indonesia setidaknya terdiri dari tiga perubahan besar[3]. Pertama, adalah transisi dari suatu
sistem politik dan pemerintahan yang otokritik menuju sistem yang demokratis. Kedua, adalah transisi dari sistem
ekonomi yang bersifat kapitalisme perkoncoan dan patron-klien menuju sistem
ekonomi pasar yang berdasarkan pada suatu aturan main yang jelas. ketiga, adalah transisi dari sistem
politik dan ekonomi yang sentralistik menuju kesistem yang desentralisasi.
Proses transisi ini dilatari oleh terjadinya krisis ekonomi keuangan yang
sedang melanda Asia pada waktu itu. Faktor-faktor tersebutlah yang kemudian
memicu krisis multidimensional di Indonesia diakhir abad ke-20. Kombinasi krisis
yang tengah terjadi kala itu, menjadi pemantik yang potensial untuk meledaknya
krisis-krisis sosial yang menuju kepada konflik sosial yang lebih luas di
masyarakat.
Tabel 1.1.
Lima Daerah/Provinsi tempat terjadinya Konflik sosial yang menimbulkan korban
jiwa cukup besar[4]
|
Provinsi
|
Tanggal
|
Jumlah Kejadian
|
Meninggal
|
1
|
MALUKU/MALUKU
UTARA
|
19/01/1999
- 29/11/2011
|
14
|
3150 jiwa
|
2
|
ACEH
|
21/3/1999
- 31/3/2004
|
6
|
2279 jiwa
|
3
|
DKI
JAKARTA
|
13/5/1998
- 29/9/2010
|
6
|
295 jiwa
|
4
|
KALIMANTAN
|
1/4/1999 -
18/2/2011
|
6
|
172 jiwa
|
5
|
SULAWESI
TENGAH
|
3/8/2002 -
22/1/2007
|
11
|
34 jiwa
|
Sumber data:
BNPB berbagai tahun
Indonesia menjadi semakin rentan
terhadap munculnya konflik-konflik horizontal ditengah-tengah masyarakat, namun
cara penanganan yang selama ini dilakukan masih belum dilaksanakan secara
komprehensif dan integratif, temasuk peraturan undang-undang yang digunakan
sebagai payung hukum penyelesaian konflik. Perundang-undangan
yang digunakan masih bersifat parsial dan hanya berbentuk peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah seperti dalam bentuk
Instruksi Presiden. Dalam Naskah Akademik RUU tentang Penanganan Konflik
Sosial, terdapat kajian mengenai peraturan yang selama ini digunakan oleh
pemerintah terkait penanganan dan penyelesaian konflik-konflik yang terjadi
dimasyarakat yang dirasa masih bersifat parsial dan tidak integratif, penjelasan
tersebut yaitu[5]:
1.
Beberapa undang-undang
yang terkait dengan penanganan konflik mengedepankan ego sektoral, sehingga
dalam implementasinya masing-masing departemen, dan pemerintah daerah berjalan
sendiri-sendiri. Sehingga tidak menggambarkan suatu manajemen konflik yang
terkoordinasi dan integratif.
2.
Undang-undang yang ada di samping bersifat sektoral,
belum menetapkan secara jelas dan
komprehensif mengenai tindakan-tindakan serta tahap-tahap dalam penanganan
konflik, baik dalam rangka upaya pencegahan (preventif), maupun
penanganan pada saat konflik, dan sesudah konflik (recovery). Karakter
yang muncul dalam setiap peraturan tersebut adalah tindakan yang bersifat
reaktif, sehingga belum merupakan suatu kebijakan yang sistematis dan terukur.
3.
Sebagian besar peraturan yang ada bersifat operasional,
tanpa satu payung hukum yang kuat. Langkah-langkah yang diambil hanya
didasarkan pada kebijakan lembaga eksekutif (pemerintah), baik Pemerintah Pusat
maupun Daerah. Akibat dari pengaturan yang demikian, maka dalam pelaksanaannya ada keraguan masing-masing
institusi karena setiap institusi mengacu kepada undang-undang yang berbeda.
Kondisi ini menggambarkan suatu peraturan perundang-undangan yang saling
bertentangan, tidak konsisten/harmonis/sinkron, baik secara vertikal maupun horisontal.
4.
Dari perspektif kelembagaan (struktur) DPR dan DPRD belum
memberikan kontribusi yang kuat dalam penanganan konflik melalui bentuk
regulasi yang menjadi kewenangannya, maupun melalui kebijakan anggaran melalui
sistem APBN dan ABPD. Sebagian peraturan dikeluarkan dalam keputusan Presiden,
Gubernur, dan Bupati/Wali Kota. Sementara pada tahap proses penegakan hukum,
kapasitas anggota POLRI, Intelijen Negara dan Jaksa dalam melacak, menemukan
para pelaku atau aktor intelektual tindakan
kerusuhan belum optimal.
5.
Walaupun Peraturan Menteri tidak disebutkan secara tegas
dalam hierarki peraturan perundang-undangan, terutama dalam Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, namun dalam prakteknya terdapat banyak peraturan menteri
yang terkait dengan penanganan konflik. Banyaknya produk hukum penanganan
konflik dalam bentuk peraturan menteri, merupakan konsekuensi dari pendekatan penanganan konflik yang bersifat
sektoral. Padahal dalam penyelenggaraan pemerintahan, peraturan menteri sering
menimbulkan masalah karena peraturan menteri yang satu dengan menteri yang
lainnya tidak sejalan, bahkan bertentangan dan mendapat resistensi yang kuat
dari daerah, karena tidak tercantumnya peraturan menteri dalam Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Dan akibat dari hal tersebut, bahkan ada daerah yang
menganggap bahwa peraturan daerah lebih tinggi dari peraturan menteri, walaupun
sesungguhnya tidaklah demikian.
6.
Ketika dalam tahap saat terjadi konflik (khususnya pada
kegiatan penghentian konflik kekerasan), undang-undang yang ada saat ini masih
belum jelas mengatur tentang tugas, tanggungjawab dan kewenangan dua institusi
pertahanan dan keamanan negara yaitu TNI dan POLRI dalam penanganan konflik.
Oleh karena itu, salah satu materi penting dalam RUU Penanganan Konflik Sosial
adalah pengaturan mengenai pengerahan
tugas perbantuan TNI kepada POLRI dalam penghentian konflik kekerasan,
institusi negara yang berhak menyatakan (declare) bahwa diperlukan peran
TNI dalam membantu tugas POLRI dalam ranah keamanan negara, aturan yang jelas tentang skala besaran
konflik.
Berdasarkan hal tersebut, DPR RI melihat
adanya kebutuhan mendesak untuk menangani konflik dengan membuat undang-undang
yang lebih komprehensif seperti Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana
diawal tahun 2005 dan kemudian disahkan pada tahun 2007. Dalam undang-undang
tersebut konflik sosial dimasukkan sebagai bagian dari jenis bencana. Namun
perspektif dari undang-undang tersebut lebih menitik beratkan kepada
penanggulangan bencana alam dibandingkan penanganan konflik sosial yang sering
merugikan masyarakat. Sehingga dirasa ada sebuah pemahaman yang keliru
mengenai konflik dalam UU
tentang Penanganan Bencana.
I.2. Tujuan Pembentukan RUU Tentang Penanganan
Konflik Sosial
Berdasarkan pemikiran di atas, maka
dirasakan perlunya dibentuk sebuah Rancangan Undang-Undang tentang Penanganan
Konflik Sosial sebagai cara agar lebih komprehensif menangani dan menyelesaikan
konflik yang terjadi maupun yang akan terjadi dimasyarakat dalam suatu payung
hukum tersendiri. DPR RI berinisiatif mengajukan usulan pembentukan RUU tentang
Penanganan Konflik Sosial yang diharapkan dapat menjadi panduan pemerintah dan
masyarakat dalam mencegah, menangani dan menyelesaikan konflik yang dapat
berujung kepada tindak kekerasan. Dari hasil Laporan Singkat Pansus RUU tentang
Konflik Sosial, Tujuan utama dari pembentukan Undang-Undang tentang Penanganan
Konflik Sosial adalah untuk memberikan landasan hukum yang kuat mengenai
tahap-tahap atau mekanisme penanganan konflik sosial serta mengatur secara
tegas tugas dan tanggung jawab dari semua pihak dan institusi dalam menangani
konflik sosial dalam suatu system penyelesaian konflik yang komprehensif,
integrative, dan efektif bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang aman,
tenteram, damai,dan sejahtera[6].
Inisiatif DPR RI dalam mengusulkan
pembentukan RUU tentang Penanganan Konflik Sosial didasarkan pada beberapa
argumen, yaitu argumentasi filosofis, argumentasi sosiologis, dan
argumentasi yuridis. Keterangan Pengusul Rancangan Undang-Undang tentang
Penanganan Konflik Sosial yang dikeluarkan Badan Legislatif DPR RI pada tanggal
18 Mei 2011 menjelaskan argumentasi-argumentasi tersebut[7]
:
1. Argumentasi filosofis
berkaitan dengan pertama, jaminan tetap eksisnya cita-cita pembentukan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, tanpa
diganggu akibat perbedaan pendapat atau konflik yang terjadi di antarkelompok
dan golongan. Kedua, tujuan dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia
yang terdiri dari beragam suku bangsa, agama dan budaya dan seluruh tumpah
darah Indonesia, termasuk memberikan jaminan rasa aman dan bebas dari rasa
takut dalam rangka terwujudnya kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Ketiga, tanggungjawab
negara memberikan perlindungan,
pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi melalui upaya penciptaan suasana
yang aman, tentram, damai dan sejahtera lahir maupun batin sebagai wujud hak
setiap orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan
harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta hak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasinya.
2.
Argumentasi Sosiologis dari
Pembentukan Undang-Undang Penanganan Konflik adalah, Pertama,
Negara
Republik Indonesia dengan keanekaragam suku bangsa, agama dan budaya yang masih
diwarnai ketimpangan pembangunan, ketidakadilan dan kesenjangan sosial,
ekonomi, politik, kemiskinan berpotensi untuk melahirkan konflik-konflik di
tengah masyarakat. Kedua, Tanah dan
kekayaan sumber daya alam serta daya dukung lingkungan yang semakin terbatas
dapat menimbulkan konflik, baik karena masalah kepemilikan, maupun karena
kelemahanan dalam sistem pengelolaannya yang tidak memperhatikan kepentingan
masyarakat setempat. Ketiga, Konflik
menyebabkan hilangnya rasa aman dan menciptakan rasa takut masyarakat, serta
kerusakan lingkungan, kerusakan pranata sosial, kerugian harta benda, korban
jiwa dan trauma psikologis (dendam, kebencian, perasaan permusuhan), melebarnya
jarak segresi antar para pihak yang berkonflik, sehingga dapat menghambat
terwujudnya kesejahteraan umum. Keempat,
Penanganan konflik dapat dilakukan secara komprehensif, integratif, efektif,
efisien, akuntabel dan transparan serta tepat sasaran dengan mendasarkan pada
pendekatan dialogis dan cara damai berdasarkan landasan hukum yang memadai.
3.
Sedangkan argumentasi yuridis dari Pembentukan
Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial
bahwa peraturan perundang-undangan di bidang penanganan konflik sudah tidak
sesuai dengan perkembangan sistem ketatanegaraan, bersifat sektoral, reaktif,
serta sudah tidak memadai lagi sebagai landasan hukum penanganan konflik yang
komprehensif dan integratif.
I.3. Pro-kontra terhadap Rancangan
Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial
Atas dasar inisiatif DPR RI dengan
menimbang keadaan Indonesia yang rawan konflik, maka DPR RI bersama Pemerintah
siap untuk melakukan pembahasan dengan membentuk Pansus RUU tentang Penanganan
Konflik Sosial. Namun, dalam proses pembahasan terdapat perbedaan pendapat
ditengah masyarakat terhadap pembentukan RUU ini. Sejumlah penggiat HAM menilai
RUU tentang Penanganan Konflik Sosial banyak memuat pasal-pasal bermasalah. Sosiolog UI Tamrin Amal Tamagola juga melihat
bahwa rancangan undang-undang ini adalah undang-undang yang hanya efektif jika
telah terjadi konflik sehingga telah jatuh korban terlebih dahulu. Menurut nya
lagi, bahwa alamiahnya konflik tidak dapat dituntaskan sama sekali, yang dapat
dilakukan adalah mengurangi konflik agar mudharatnya bisa dihindari dan ditekan
seminimal mungkin dan manfaatnya dikembangkan semaksimal mungkin[8].
Imparsial juga menolak pembentukan RUU ini dengan alasan, setidaknya ada sekitar 20 Pasal
bermasalah didalam RUU Penanganan Konflik Sosial. Imparsial menilai bahwa RUU ini bias
sekuritisasi karena dengan mudahnya Pemerintah Daerah (Pemda) dapat melibatkan
Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penanganan konflik sosial. Dalam
praktiknya, tidak jarang pemerintah dan agamawan juga enggan mengakui konflik
bermotif agama. Konflik tersebut sering dianggap konflik sosial biasa dan tak
ada hubungan dengan agama. Agama sering dianggap penyebab sekunder atau agama
hanya dijadikan kamuflase konflik yang sebenarnya, seperti konflik perebutan
sumber daya ekonomi dan politik[9].
Ketua Komisi Untuk Orang Hilang dan
Tindak Kekerasan dalam Rapat Dengar Pendapat yang diadakan pada tanggal 21
September 2011 melihat bahwa Draft RUU Penanganan Konflik Sosial masih belum
sempurna, seperti definisi konflik, sumber-sumber konflik dan adanya beberapa
pasal yang overlaping dengan undang-undang lainnya. Definisi konflik sosial,
Kontras melihat, tidak terlalu spesifik karena masih mencakup beberapa jenis
konflik. Untuk itu sebaiknya definisi dari konflik didalam RUU tersebut
difokuskan kepada konflik-konflik yang lebih cendrung mengarah kepada konflik
SARA[10].
Selain itu didalam RUU ini, proses penanganan konflik masih belum terlihat
proses penyelesaian yang komprehensif dengan memenuhi unsur-unsur pencegahan,
penanganan konflik dan pasca konflik.
Namun
argumen-argumen terhadap pandangan pesimis terhadap RUU tentang Penanganan
Konflik Sosial dapat dijelaskan dengan memperlihatkan mengenai isi dari RUU
tentang Penanganan Konflik Sosial yang berisi mekanisme dan cara pencegahan hingga
penyelesaian konflik sosial secara konprehensif dan integratif serta melibatkan
banyak pihak termasuk masyarakat yang berkonflik. RUU ini dapat memberikan
landasan hukum yang kuat mengenai tahap-tahap atau mekanisme penanganan konflik
sosial serta mengatur secara tegas tugas dan tanggung jawab dari semua pihak
dan institusi dalam menangani konflik sosial dalam suatu sistem penyelesaian
konflik yang komprehensif, integratif, dan efektif bagi terciptanya kehidupan
masyarakat yang aman, tentram, damai, dan sejahtera[11].
Dari penjelasan tersebut, RUU tentang Penanganan Konflik Sosial membangun
payung hukum dan mekanisme penanganan konflik, mulai dari pencegahan dengan
melibatkan masyarakat di daerah rawan konflik, pemerintah daerah, dan pihak
Kepolisian sebagai ujung tombak keamanan didaerah. Pelibatan setiap elemen
masyarakat pusat dan daerah untuk turut bertanggung jawab dalam pencegahan,
penanganan dan penyelesaian konflik merupakan suatu bentuk komprehensif penanganan
konflik yang didorong dalam RUU ini. Hal tersebut juga sebagai cara penguatan
masyarakat untuk berkontribusi menyelesaikan konflik mereka sendiri.
Hasil pembahasan draft RUU tentang
Penanganan Konflik Sosial pada tanggal 1 Maret 2012, pasal 13 terkait
pembahasan mengenai penghentian konflik dapat dilakukan: a. Penghentian
kekerasan fisik; b. Penetapan status keadaan konflik; c. Tindakan darurat
penyelamatan dan perlindungan korban; dan/ atau; d. Pengerahan dan penggunaan
kekuatan TNI. Sedangkan dalam pasal 14
berbunyi : 1. Penghentian kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
huruf a dilakukan di bawah koordinasi POLRI ;
2. POLRI dalam menghentikan kekerasan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan/atau tokoh adat; 3. POLRI dalam
menghentikan kekerasan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat 2, dilakukan sesuai
dengan peraturan perundangan-undangan. Pembahasan pasal 13 dan 14,
memperlihatkan bahwa terkait dengan penghentian kekerasan dimana POLRI menjadi
garda terdepan dalam menghentikan kekerasan fisik jika konflik sosial terjadi
dan berujung kepada kekerasan. Selain itu POLRI juga turut melibatkan tokoh
masyarakat, agama ataupun tokoh adat. Sedangkan pengerahan dan penggunaan
kekuatan TNI dalam penghentian konflik sosial harus melalui keputusan bersama
forum Koordinasi Pimpinan Daerah baik untuk konflik dengan skala kabupaten/Kota
dan Provinsi (Pasal 32 ayat 1 dan 2 RUU tentang Penanganan Konflik Sosial).
Konflik skala nasional, Presiden berwenang untuk mengerahkan TNI setelah berkonsultasi
dengan Pimpinan DPR RI (pasal 32 ayat 3). Selanjutnya pada Pasal 33 berbunyi:
Pelaksanaan pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 dikoordinasikan dan dikendalikan oleh POLRI. Hal ini dijelaskan
didalam Naskah Akademik RUU tentang Penanganan Konflik Sosial, dimana RUU ini
setelah menjadi Undang-Undang hanya akan dibatasi hingga pada keadaan darurat
sipil sehingga koordinasi dan kendali penanganan konflik dalam keadaan konflik tetap
berada pada pihak sipil termasul POLRI[12].
Pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI dalam penanganan konflik sosial
bukan menjadi alasan untuk menolak RUU tentang Penanganan Konflik Sosial
dikarenakan penggunaan kekuatan TNI masih berada dalam koordinasi POLRI dan
Forum Koordinasi Daerah, kecuali konflik sosial yang terjadi mengarah kepada
keadaan darurat militer.
BAB II
II.1. Hukum Progresif
Sebelum
terjadinya revolusi Prancis, para raja sering menjatuhkan hukuman kepada
rakyatnya hanya atas dasar perkataan raja tanpa adanya dasar hukum yang jelas
sama sekali. Ketika paham positifisme mulai merebak didataran Eropa, masyarakat
mulai melihat mengenai kesamaan hak antara raja dan rakyat sebagai cara untuk
mengontrol kekuasaan raja yang tidak terbatas. Puncak dari kritisisme terhadap
kekuasaan raja adalah ketika terjadinya revolusi Perancis.
Napoleon
Bonaparte mulai memikirkan mengenai kepastian hukum dengan melihat bentuk
kodifikasi yang dilakukan dizaman Kaisar Yustisianus, Napoleon kemudian
melakukan pengaturan pola prilaku masyarakat dengan menetapkan norma-norma
kedalam hukum tertulis. Pemilihan bentuk hukum tertulis itu dilakukan karena
didasarkan pada keyakinan bahwa hanya dengan bentuk hukum tertulislah maka
segala macam norma yang mengatur masyarakat dapat dirujuk dan dilihat dengan
jelas dan pasti sehingga nantinya diharapkan dapat menjamin kepastian hukum. Maka sejak saat
itu berkembanglah apa yang dinamakan dengan aliran Legisme, yaitu paham yang
mengaitkan hukum dengan undang-undang, bahkan secara strict menyebutkan tidak
ada sumber hukum selain undang-undang[13].
Perkembangan teknologi dan ekonomi yang mengarah kepada kapitalistik pada abad
ke-18 di Eropa, sangat membutuhkan topangan berupa kepastian hukum dalam
menjalankan kegiatan ekonomi. Sehingga aturan hukum tertulis kembali berevolusi
menjadi peraturan tertulis yang lebih terukur dan pasti. Menurut E. Sumarsono
positivisme hukum berkeinginan menjadikan hukum sepenuhnya otonom dan menyusun
dirinya sendiri sebagai sebuah ilmu pengetahuan hukum yang lengkap berdasarkan
atas semua sistem normatif yang berlaku dalam masyarakat pada umumnya. Kondisi
ini memberikan kewenagan bagi Negara (penguasa) untuk membentuk hukum yang
dapat dipaksakan kepada seluruh warga negara. Ketika hal ini terjadi, hukum tidak lagi
berbentuk hukum yang interaksional, namun telah berubah menjadi bentuk hukum
positifistik atau menurut Roberto M. Unger merupakan tipe hukum birokratis[14].
Ketika
konsep hukum positifistik kemudian diadopsi oleh negara dalam bentuk konstitusi
dan undang-undang. Negara memiliki kekuasaan untuk memaksakan hukum tertulis
terhadap masyarakatnya. Maka ketika itu kekuasaan negara menjadi cendrung untuk
menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan. Kekuasaan negara cendrung dikooptasi
oleh kekuatan-kekuatan ekonomi sehingga hukum negara cendrung bias ketika
berhadapan dengan kekuatan-kekuatan ini. Contoh ini dapat kita lihat didalam
Undang-Undang Migas, Undang-Undang Minerba dan Investasi. Ketika Undang-Undang
ini telah tertulis, negara wajib menjalankan aturan yang ada walaupun hal
tersebut mengurangi rasa keadilan dari masyarakat (contoh konflik-konflik kasus
pertambangan dimana pihak kepolisian memiliki tugas melindungi obyek-obyek
fital negara termasuk daerah pertambangan dan investasi asing, walaupun harus
berhadap-hadapan dengan masyarakat setempat). Sedangkan disisi lain, masyarakat
lokal yang terimbas dari adanya proyek pertambangan maupun perkebunan tidak
memiliki akses terhadap hukum yang baik untuk menyuarakan hak-hak nya. Walau
ada pun, masyarakat lokal terkadang tidak dapat merasakan rasa keadilan dari hasil
keputusan lembaga-lembaga hukum negara yang ada. Sehingga ini tentu saja menjadi
salah satu alasan terjadinya konflik sosial dimasyarakat.
Menurut
Satjipto Rahardjo, ketika hukum itu tertulis atau menjadi dokumen tertulis,
maka perhatian bergeser kepada pelik-pelik penggunaannya sebagai sebuah dokumen
tertulis. Apabila semula berhukum itu berkaitan dengan masalah keadilan atau
pencarian keadilan, maka sekarang kita dihadapkan kepada teks, pembacaan teks,
dan lain-lain[15]. Banyak
dari rezim hukum positifis tidak mampu untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan sosial ditengarai disebabkan oleh dua faktor. Pertama,
bangunan sistem hukum beserta doktrin-doktrin yang menopangnya memang tidak
memungkinkan hukum melakukan perubahan sosial atau menghadirkan keadilan
substantif. Kondisi ini disebabkan oleh faktor Kedua yakni tercemarnya
institusi-institusi hukum karena bekerja sebagai alat kekuasaan sehingga
menyebabkan sulitnya menghadirkan tertib hukum seperti yang dijanjikan oleh
penganjur positivisme hukum[16].
Kasus-kasus
kerusuhan masal yang terjadi di Indonesia selama ini tidak pernah tuntas diselesaikan
dengan proses hukum positif. Penutasan kasus kerusuhan di muka pengadilan
dengan menjatuhkan hukuman pidana terkadang malah menimbulkan keonaran,
kebencian dan balas dendam berkepanjangan. Tentu saja hal ini juga dapat
menjadi sumber untuk memunculkan konflik baru. Selain itu pada kasus-kasus
konflik besar (seperti peristiwa konflik di maluku) yang mengikutsertakan masa
yang besar dan mengakibatkan korban jiwa yang cukup banyak, terdapat kerumitan
dalam penyelesaian konflik jika diajukan diajukan dimuka pengadilan. Dalam
kasus konflik di Maluku, hingga saat ini belum ada satupun pihak yang dapat
dijadikan tersangka, sehingga proses penyelesaian konflik tersebut melalui
jalur hukum pun tidak pernah tuntas hingga saat ini. Namun disisi lain konflik
yang terjadi dapat telah diselesaikan bukan melalui mekanisme hukum yang
berlaku, namun melalui proses mediasi terhadap kedua kelompok yang bertikai.
Contoh
lain dari penyelesaian lainnya adalah kasus konflik horizontal di kepulauan
Kei. Dalam kasus tersebut pihak kepolisian mengedepankan pertimbangan
kepentingan hukum dan keadaan yang dilematis yaitu dengan menggunakan
perundingan yang mencerminkan keadilan masyarakat hukum adat di kepulauan Kei.
Hingga
kini banyak kasus-kasus konflik yang berujung pada kekerasan maupun kasus-kasus
kerusuhan yang masih belum dapat terselesaikan melalui jalur hukum positif yang
berlaku di Indonesia. walaupun ada, hal tersebut tidak jarang tidak dapat
memberikan rasa keadilan baik bagi para korban maupun pelaku, sehingga proses
penyekesaian kasus-kasus secara formal masih belum mampu untuk melakukan
penyelesaian terhadap kasus-kasus yang saat ini terjadi karena kekakuan hukum
formal yang ada.
II.2. Tujuan Penggunaan Hukum Progresif dalam
RUU tentang Penanganan Konflik Sosial
Berangkat
dari uraian diatas, diperlukan sebuah bentuk hukum yang lebih maju dalam proses
penanganan dan penyelesaian konflik yang terjadi dan mungkin akan terjadi di
Indonesia. Bentuk hukum progresif saat ini menjadi sebuah pilihan dalam
menyelesaiakan kasus-kasus konflik yang terjadi. Konsep mengenai penyelesaian
konflik diluar pengadilan baik melalui hukum adat/sosial atau pun melalui
mediasi adalah macam bentuk dari tipe hukum progresif. Konsep hukum progrsif
berititik tolak pada pandangan kemanusiaan, bahwa manusia pada dasarnya adalah
baik memiliki kasih sayang kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting
bagi membangun cara berhukum di dalam masyarakat[17].
Berfikir
secara progresif berarti harus berani keluar dari mainstream pemikiran
absolutisme hukum, kemudian menempatkan hukum dalam persoalan kemanusiaan.
Bekerja berdasarkan pola pikir atau paradigma hukum progresif akan melihat
faktor utama dalam hukum itu adalah manusia, sedangkan paradigma hukum yang
positivisme meyakini kebenaran hukum atas manusia. Manusia boleh dimarjinalkan
asalkan hukum tegak. Sebaliknya paradigma hukum progresif berfikir bahwa justru
hukumlah yang harus dimarjinalkan untuk mendukung proses eksistensi kemanusiaan,
kebenaran, dan keadilan[18].
Konsep hukum progresif melihat hukum akan selalu berubah sesuai dengan kondisi
sosial manusia menurut karakteristiknya sendiri seperti diuraikan oleh
Satjipto: pertama, Hukum adalah untuk manusia. Artinya manusia adalah titik
sentral dalam perubahan atau perputaran hukum. Kedua, hukum progresif menolak
mempertahankan keadaan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo
memberi efek yang sama seperti pada waktu orang berpendapat, bahwa hukum adalah
tolak ukur untuk semuanya dan manusia adalah untuk hukum (seperti konsep hukum
positifistik, normatif dan legalistik). Ketiga, bahwa perdaban hukum tertulis
akan memunculkan sekalian kaibat dan risiko, maka cara kita berhukum sebaiknya
juga mengantisipasi tentang bagaimana mengatasi hambatan-hambatan dalam
menggunakan hukum tertulis tersebut.
Keempat,
hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan prilaku manusia
dalam hukum. Peranan manusia merupakan konsekuensi terhadap pengakuan bahwa
sebaiknya kita tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu
peraturan. Kelima, bahwa hukum progresif adalah cara berhukum yang selalu
gelisah untuk membangun diri, sehingga berkualitas untuk melayani dan membawa
rakyat kepada kesejahteraan dan kebahagiaan. Ideal tersebut dilakukan dengan
aktivitas yang berkesinambungan antara merobohkan hukum yang mengganjal dan
menghambat perkembangan untuk membangun yang lebih baik.
RUU
tentang Penanganan Konflik Sosial telah mengadopsi konsep-konsep dari proses
pencegahan, penanganan dan penyelesaian konflik dengan menggunakan bentuk hukum
progresif. Hal tersebut terlihat dari bagaimana masyarakat lokal, adat/sosial
menyelesaikan konfliknya sendiri secara damai melalui musyawarah mufakat dan
hasil-hasil dari musyawarah tersebut bersifat mengikat diantara kedua pihak
yang berkonflik. Penyelesaian konflik dengan cara ini diharapkan dapat
memberikan rasa keadilan bagi setiap kelompok masyarakat yang bertikai. Bentuk
proses penyelesaian konflik ini mengedepankan manusia dalam hal ini kelompok
masyarakat adat/sosial, dan agama untuk berhukum sesuai dengan karakteristik
masyarakatnya. Masyarakat diajak untuk menemukan solusi bersama secara damai
untuk penyelesaian konflik mereka. Sehingga masyarakat sipil, adat dan
pemerintah daerah ditempatkan sebagai orang-orang yang berhukum dengan prinsip-prinsip
yang berlaku di daerah dan adat mereka sendiri, sehingga penyelesaian konflik
tidak kehilangan makna dan diharapkan dapat tuntas hingga akarnya dengan damai
dan tanpa mengurangi rasa keadilan diantara pihak-pihak yang berkonflik.
II. 3. Pasal-Pasal Penting didalam RUU tentang
Penanganan Konflik Sosial
Beberapa
pasal penting didalam RUU tentang Penanganan Konflik Sosial memperlihatkan
bahwa konsep-konsep bentuk/tipe hukum progresif digunakan untuk menyelesaikan
pencegahan, penanganan dan penyelesaian konflik sosial. Seperti yang telah
diuraikan diatas, mengikutsertakan masyarakat, tokoh adat/sosial dan agama
dalam proses penanganan konflik melalui jalan musyawarah mufakat dengan damai
dapat menjadi alternatif pemecahan terhadap konflik sosial. Selain itu
mekanisme adat dan sosial juga digunakan sebagai frame utama penyelesaian
konflik dimasyarakat tanpa harus melalui jalur pengadilan. Hal tersebut dapat
dilihat didalam asas RUU yaitu Kemanusian
dan hak asasi manusia ; kebangsaan; kekeluargaan; bhinneka tunggal ika;
keadilan dan kesetaraan gender; ketertiban dan kepastian hukum; keberlanjutan; kearifan lokal; tanggung jawab negara; partisipatif;
imparsialitas dan non diskriminasi. Beberapa pasal didalam RUU ini yang
memperlihatkan pengadopsian konsep-konsep progresifitas dalam penanganan
konflik sosial diantaranya dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Pasal-Pasal Penting didalam
RUU tentang Penanganan Konflik Sosial
BAB
|
KLUSTER
|
PASAL
|
BAB II
Asas, Tujuan dan Ruang Lingkup
|
|
3, 4, dan 6
|
BAB III
Pencegahan Konflik
|
Bagian Kesatu
Umum
|
7 (ayat 1 dan 2)
|
Bagian Kedua
Memelihara Kondisi Damai
|
8
|
|
Bagian Ketiga
Mengembangkan
Penyelesaian Perselisihan Secara Damai
|
9 (1 s.d 3)
|
|
Bagian Keempat
Meredam Potensi Konflik
|
10 (huruf a,c, d, f, dan g)
|
|
Bagian Kelima
Mengembangkan Sistem Peringatan Dini
|
11, dan 12
|
|
BAB IV
Penghentian Konflik
|
Bagian Kedua
Penhentian Kekerasan Fisik
|
4 (ayat 2)
|
Bagian Ketiga
Penetapan Status Keadaan Konflik
|
17, 19, 25 dan 26
|
|
Bagian Kelima
Pengerahan dan Penggunaan Kekuatan TNI
|
32, 33 dan 34
|
|
Bab V
Pemulihan Pasca Konflik
|
Bagian Kedua
Rekonsiliasi
|
36
|
Bagian Ketiga
Rehabilitasi
|
37
|
|
BAB VI Kelembagaan dan Mekanisme Penyelesaian Konflik
|
Bagian Kesatu
Umum
|
39
|
Bagian Kedua
Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial
|
40
|
|
Bagian Ketiga
Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
|
41, 42, 44, 46 (ayat 3 dan 4), 46, 47 dan 48
|
|
BAB VII Peranserta Masyarakat
|
|
51
|
BAB VIII Pendanaan
|
Bagian Kesatu
Sumber Pendanaan
|
52 (ayat 2 s.d 4)
|
BAB
III
III.1. Penguatan Masyarakat Sipil
Peran
masyarakat sipil dalam proses pencegahan, penanganan dan penyelesaian konflik
adalah bertujuan untuk pendewasaan masyaraka sipil dalam memahami permasalahan
di komunitas mereka sendiri. Harapannya adalah agar masyarakat dapat secara
sadar mampu memiliki prilaku hukumnya sendiri dalam menangani konflik diantara
mereka. Penggunaan mekanisme adat/sosial dan agama dalam proses penyelesaian
konflik melalui jalan musyawarah secara damai merupakan cara terbaik masyarakat
dalam mengelola konflik mereka. Masyarakat-lah yang lebih mengetahui mengenai
akar permasalah yang terjadi didalam konflik itu sendiri. Pola-pola
penyelesaian secara demikian merupakan bentuk penerapan hukum progresif dimana
salah satu bentuknya adalah keadilan restoratif.
III. 2. Restorative Justice dalam penyelesaian
Konflik
Proses
penyelesaian sengketa diantara masyarakat melalui jalur diluar pengadilan
merupakan bentuk-bentuk dari sebuah restorative
justice model. Penyelesaian diluar pengadilan seperti ini juga dikenal
dengan istilah mediasi penal/mediasi pidana yang merupakan bagian dari
alternatif penyelesaian diluar pengadilan. Menurut Muladi yang dikutip oleh
Lidya Suryani Widayati, karakteristik dari mediasi pidana adalah[19]:
1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran
seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik.
2. Titik perhatian pada pemecahan masalah
pertanggung jawaban dan kewajiban pada masa depan.
3. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan
negosiasi.
4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak,
rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama.
5. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan
hak, dinilai atas dasar hasil.
6. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian
sosial.
7. Masyarakat merupakan fasilitator didalam
proses restoratif.
8. Peran korban dan pelaku tindak pidanan diakui,
baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku
tindak pidanan didorong untuk bertanggung jawab.
9. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan
sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu merumuskan yang
terbaik.
10. Tindak pidana dipahami dalam konteks
menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis.
11. Stigma dapat dihapus melalui tindakan
restoratif.
Mediasi
Penal/Pidana bertolak dari ide dan pronsip kerja sebagai berikut:
1. Penanganan konflik : Tugas mediator adalah
membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam
proses komunikasi. Hal ini didasari pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan
konflik interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.
2. Berorientasi pada proses: Mediasi penal lebih
berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu: menyadarkan pelaku
tindak pidanan akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan,
ketenangan korban dari rasa takut dan sebagainya.
3. Proses informal: Mediasi penal/pidana
merupakan suatu proses yang informal , tidak bersifat birokratis, menghindari
prosedur hukum yang ketat.
4. Ada partisipatif aktif dan otonom para pihak :
Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum
pidana, tetapi lebih sebagai subjekyang mempunyai tanggungjawab pribadi dan
kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.
Masyarakat
Indonesia dalam prakteknya sering melakukan penyelesaian sengketa diluar
pengadilan melalui musyawarah mufakat, dan merupakan bagian dari hukum adat dan
kearifan lokal masyarakat. Diberbagai daerah di Indonesia, masyarakat juga
telah mengenal lembaga mediasi penal antara lain di Sumatera Barat, Aceh, dan
hukum adat Lampung. Bahkan di Aceh (NAD) sudah dituangkan dalam Perda No.
7/2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat yang antara lain intinya mengatur
sebagai berikut: Sengketa diselesaikan terlebih dahulu secara damai melalui
musyawarah adat (pasal 13), perdamaian mengikat para pihak dan yang tidak
mengindahkan keputusan adat, dikenakan sanksi adat (Pasal 14), apabila para
pihak tidak puas terhadap putusan adat dapat mengajukan perkaranya ke aparat
penegak hukum. Keputusan adat dapat dijadikan pertimbangan oleh aparat hukum
(Pasal 15)[20].
Selain
itu dibeberapa daerah juga dikenal penyelesaian sengketa konflik melalui cara
diluar pengadilan, semisal adat bakar batu untuk mendamaikan konflik yang
terjadi diantara suku-suku di Papua, dan juga denda kerbau kepada orang-orang
yang dianggap bersalah dikalangan masyarakat adat Dayak seperti yang terjadi
kepada kasus Tamrin Amal Tamagola yang
diselesaikan diluar jalur pengadilan, dan konflik antara suku Dayak dan Bugis
di Nunukan Kalimantan Timur.
Undang-undang
lain yang mengakomodir konsep mediasi penal misalnya Undang-Undang No. 39 Tahun
1999 yang memuat ketentuan yang memungkinkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM
melalui mediasi. Didalam undang-undang tersebut pasal 76 ayat (1) Undang-Undang
ini menentukan mengenai kewenangan Komnas HAM antara lain untuk melakukan
perdamaian kedua belah pihak dan menyelesaikan perkara melalui cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli. Selanjutnya perdamaian yang
dihasilkan melalui mediasi merupakan kesepakatan secara tertulis dan ditandatangani
oleh pihak dan dikukuhkan oleh mediator (Komnas HAM). Sedangkan di pasal 96
ayat (3) mengatur bahwa keputusan mediasi mengikat secara hukum dan berlaku
sebagai alat bukti yang sah.
Draft
RUU KUHP tahun 2010, turut mengakomodir konsep penyelesai pidanan diluar
pengadilan yang terdapat pada pasal 145 huruf d, yang menjelaskan kewenangan
menuntut gugur, antara lain jika ada penyelesaian diluar proses. Pasal tersebut menghapus hak penuntutan
perkara pidanan yang telah diselesaikan diluar pengadilan memberikan alternatif
untuk menata dengan lebih baik mengenai penyelesaian pidana[21].
III. 3. Asas-Asas
dalam Undang-Undang Pengelolaan Konflik Sosial
Landasan pembentukan UU tentang Penanganan Konflik
Sosial adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, namun secara spesifik
landasan tersebut diuraikan kembali menjadi 11 asas yang menjadi spirit
pembentukan undang-undang ini. Asas-asas yang
tertuang dalam RUU PK menjadi spirit atau “roh” dari berbagai ketentuan dalam
kegiatan penanganan konflik ini. Oleh karena itu, asas-asas ini kemudian
terejahwantakan dalam rumusan pasal-pasal yang menjadi acuan dari pelaksanaan
penanganan konflik di Indonesia. Adapun asas-asas penting yang menjadi
landasan dari penanganan konflik sosial di Indonesia adalah[22]:
1) Kemanusian dan hak asasi manusi;
Yang dimaksud dengan “asas kemanusian“ adalah
bahwa penanganan konflik sosial harus mencerminkan perlindungan dan
penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga
negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
2) Kebangsaan;
Yang
dimaksud dengan “asas kebangsaan“ adalah bahwa penanganan konflik sosial harus
mencerminkan sifat dan watak bangsaIndonesia yang pluralistik dengan tetap
memelihara prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
3) Kekeluargaan;
Yang dimaksud
dengan “asas kekeluargaan “ adalah bahwa penanganan konflik sosial harus
mencerminkan mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan
keputusan.
4) Bhinneka Tunggal Ika;
Yang dimaksud
dengan “asas bhinneka tunggal ika“ adalah bahwa penanganan konflik sosial harus
memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan, kondisi khusus
daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
5) Keadilan dan kesetaraan gender;
Yang dimaksud
dengan “asas keadilan” adalah bahwa penanganan konflik sosial harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa
terkecuali.
6)
Ketertiban dan kepastian hukum;
Yang
dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum“ adalah bahwa penanganan
konflik sosial harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan adanya kepastian hukum.
7)
Keberlanjutan
Yang
dimaksud dengan “asas keberlanjutan“ adalah bahwa penanganan konflik sosial
harus dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan untuk menciptakan
suasana tenteram dan damai.
8) Kearifan lokal.
Yang dimaksud
dengan “asas kearifan lokal“ adalah bahwa penanganan konflik sosial harus
memperhatikan nilai-nilai yang hidup dan dihormati di dalam masyarakat.
9) Tanggungjawab negara
Yang
dimaksud dengan “asas tanggung jawab negara“ adalah bahwa penanganan konflik
sosial merupakan tanggung jawab seluruh komponen negara baik pemerintah maupun
masyarakat.
10) Partisipatif.
Yang dimaksud
dengan “asas partisipatif“ adalah bahwa penanganan konflik sosial melibatkan
masyarakat dalam keseluruhan proses penangan konflik mulai dari perencanaan,
pembiayaan, dan pengawasan.
11) Imparsialitas dan non diskriminasi
Yang
dimaksud dengan “asas imparsialitas” adalah berpegang teguh pada norma dengan
tidak berpihak pada pihak yang berkepentingan.
Pemerintah pusat maupun daerah memiliki peran
aktif dalam menangani konflik, baik pencegahan, penanganan dan penyelesaian
serta melindungi dan merecoveri korban akibat dari konflik. Peran pemerintah
baik pusat dan daerah dalam hal pencegahan konflik adalah dengan meredam
konflik (Bab III, Bagian keempat, pasal 10), dimana cara-cara meredam konflik
oleh pemerintah dan pemerintah daerah adalah melalui[23]:
a.
melakukan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang sensitif konflik;
b.
menerapkan
prinsip tata kelola pemerintahan yang baik;
c.
melakukan
program-program perdamaian di daerah potensi konflik;
d.
mengintensifkan dialog antar kelompok masyarakat;
e.
menegakkan
hukum tanpa diskriminasi;
f.
melestarikan
nilai budaya dan kearifan lokal; dan
g.
menyelenggarakan
musyawarah dengan kelompok masyarakat setempat untuk menjajaki peluang
membangun kemitraan dengan pelaku usaha.
Poin penting pada pasal 10 ini adalah
pada poin f dan g, dimana setiap kegiatan ekonomi yang direncanakan akan
dilakukan didaerah-daerah harus dapat mengikutsertakan masyarakat sebagai
bagian dari proses kegiatan ekonomi dan tidak melanggar nilai-nilai budaya dan
kearifan lokal setempat.
Peran aktif pemerintah dan pemerintah
daerah dalam pencegahan juga terlihat pada pasal 1 1dan 12 yang membahas
pengembangan peringatan dini. Pada pasal 11 ayat (1) Untuk mencegah konflik pada daerah yang
diidentifikasikan sebagai daerah potensi konflik atau untuk mencegah perluasan
konflik pada daerah yang sedang terjadi konflik, pemerintah dan Pemerintah
Daerah mengembangkan sistem peringatan dini; ayat (2): Sistem peringatan dini
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyampaian informasi kepada
masyarakat mengenai potensi konflik atau konflik yang terjadi di daerah lain;
ayat (3): Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengembangkan sistem peringatan dini
melalui media komunikasi dan informasi[24].
Sedangkan
dipasal 12, pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan peringatan dini
melalui a. pemetaan wilayah potensi konflik; b. penyampaian data dan informasi
mengenai konflik secara cepat, tepat, tegas, dan tidak menyesatkan; c. pengembangan penelitian dan pendidikan dalam rangka penguatan sistem peringatan dini; d. pemanfaatan modal sosial masyarakat; e. peningkatan dan pemanfaatan fungsi intelijen berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan[25].
Terkait
dengan penanganan konflik yang terjadi dan telah berujung kepada tindak
kekerasan, pemerintah dan pemerintah daerah segera menghentikan konflik yang
terjadi melalui penghentian kekerasan fisik, penetapan status keadaan konflik,
tindakan darurat penyelamatan korban dan atau pengerahan dan penggunaan
kekuatan TNI (pasal 13). Pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI lebih lanjut
dijelaskan pada Bab IV, bagian kelima pasal 32, 33 dan 34. Dimana pengerahan
dan penggunaan kekuatan TNI dilakukan melalui persetujuan forum koordinasi
pemerintah daerah baik di tingkat Kabupaten dan Provinsi. Sedangkan pengerahan
TNI untuk konflik dengan skala nasional, presiden berwenang mengerahkan
kekuatan TNI setelah berkonsultasi dengan Pimpinan DPR[26].
Pada pasal 33 menjelaskan: pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI sebagaimana
dimaksud pada pasal 32 dikoordinasikan dan dikendalikan oleh POLRI. sedangkan
pasal 34 menyatakan berakhirnya penggunaan kekuatan TNI adalah ketika telah
dilakukan pencabutan status keadaan konflik atau berakhirnya jangka waktu
status keadaan konflik[27].
Mekanisme
penyelesaian konflik didalam RUU tentang Penanganan Konflik Sosial, dimasukkan
kedalam Bab VI Kelembagaan dan Mekanisme Penyelesaian Konflik. Pada Bab ini
penyelesaian konflik melibatkan lembaga-lembaga adat, atau sosial dan lembaga
yang dibentuk pemerintah berupa Satuan Tugas Penyelesaian Konflik. Satuan tugas
ini terdiri dari lembaga-lembaga pemerintah dan pemerintah daerah (tergantung
dari skala konflik), dan juga lembaga-lembaga adat dan sosial, dimana unsur
masyarakat terdiri dari tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, pengiat
perdamaian, dan wakil dari pihak yang berkonflik[28].
Selain itu pembentukan satuan tugas tersebut juga mengharuskan adanya
keterwakilan perempuan sebanyak 30% dari total anggota[29].
Tujuan utama dari pematokan partisipatif perempuan sebesar 30% didalam satuan
tugas penyelesaian konflik adalah guna menjaga proses mediasi konflik tetap
berjalan damai dan yang paling utama adalah menjamin hak-hak perlindungan
perempuan dan anak-anak selama proses penyelesaian konflik. Selain itu dengan
keterlibatan perempuan diharapkan proses penghentian konflik dapat berjalan
dengan netral dan memberikan solusi yang adil kepada setiap kelompok yang
bertikai.
BAB IV
Proses Pembahasan RUU tentang Konflik Sosial
RUU
tentang Penanganan Konflik Sosial mulai dibahas di tingkat Pansus pada bulan
September 2011, dimana sejak awal pembahasan baik pemerintah dan DPR RI
mengemukakan pendapat mereka mengenai pembentukan RUU ini. Proses pembahasan di
tingkat Pansus juga melibatkan partisipasi masyarakat, lembaga agama, sosial
dan LSM untuk mendapatkan masukan terhadap RUU.
Pembahasan selanjutnya adalah pada
tingkat Panja. Pada proses di tingkat Panja, Pembahasan RUU ini juga lebih
bersifat terbuka dan masyarakat dapat memantau perkembangan terakhir dari
proses pembahasan. Hal tersebut terlihat dari releas yang dibuat pimpinan Panja
kepada media masa, misalnya pada poin-poin pembahasan mengenai Asas didalam RUU, Penetapan
Status Keadaan Konflik, Perbantuan TNI, Peran Serta Masyarakat, Penghentian
Kekerasan Fisik, Tindakan Darurat Penyelamatan Korban, Kelembagaan dan
Pembiayaan.
Selama proses Panja, pembahasan yang
dirasa sangat krusial adalah ketika RUU ini memasukkan konsep penyelesaian
konflik diluar pengadilan. Pihak pemerintah selama ini masih melihat konsep
negara hukum dimana tidak pidanan kekerasan hanya dapat diselesaikan di
pengadilan. Poin tersebut terdapat pada pasal 9 ayat (3) dimana hasil
penyelesaian perselisihan dengan mekanisme penyelesaian secara damai sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mengikat bagi para pihak. Pemerintah melihat ayat ini
bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum yang dianut Indonesia, namun
secara realitas terdapat banyak sekali kasus konflik kekerasan yang
mengakibatkan jatuhnya banyak korban tapi tidak dapat diselesaikan di dalam
pengadilan. Panja pun melihat perjanjian damai dengan menggunakan mekanisme
adat/sosial dan agama yang mengikat pihak-pihak yang berkonflik dapat menjadi
sebuah alternatif solusi penyelesaian. Dalam
proses Panja tersebut baik pihak DPR RI dan Pemerintah membuka diri dalam
proses pembahasan sehingga terdapat kesepahaman dalam menentukan setiap
pasal-pasal nya.
Mekanisme Kluster
Draf RUU tentang Penanganan Konflik
Sosial dibuat dengan mengelompokkan pada poin-poin tema yang sama atau
mengklusterkan sehingga memudahkan dalam pembahasan. Krangka pembahasan draf
RUU tersebut dapat dilihat pada hasil pembahasan Panja RUU tentang Penanganan
Konflik Sosial tanggal 1 Maret 2012 sebagai berikut:
Tabel 3. Kluster Pembahasan Panja RUU
tentang Penanganan Konflik Sosial
Bab
|
|
Bagian
|
Pasal
|
BAB I
|
Ketentuan Umum
|
|
1
|
BAB II
|
Asas, Tujuan dan
Ruang Lingkup
|
|
2,3,4,5, 6
|
BAB III
|
Pencegahan
Konflik
|
Bagian Kesatu
Ketentuan Umum
|
7
|
Bagian Kedua
Memelihara
Kondisi Damai
|
8
|
||
Bagian Ketiga
Mengembangkan
Penyelesaian Perselisihan Secara Damai
|
9
|
||
Bagian Keempat
Meredam Potensi
Konflik
|
10
|
||
Bagian Kelima
Mengembangkan
Sistem Peringatan Dini
|
11, dan 12
|
||
BAB IV
|
Penghentian
Konflik
|
Bagian Kesatu
Umum
|
13
|
Bagian Kedua
Penghentian
Kekerasan Fisik
|
14
|
||
Bagian Ketiga
Penetapan
Keadaan Konflik
|
15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28,
29, 30,
|
||
Bagian Keempat
Tindakan Darurat
Penyelamatan dan Perlindungan Korban
|
31,
|
||
Bagian Kelima
Pengerahan dan Penggunaan
Kekuatan TNI
|
32, 33, 34
|
||
BAB V
|
Pemulihan Pasca
Konflik
|
Bagian Kesatu
Umum
|
35
|
Bagian Kedua
Rekonsiliasi
|
36
|
||
Bagian Ketiga
Rehabilitasi
|
37
|
||
Bagian Keempat
Rekonstruksi
|
38
|
||
BAB VI
|
Kelembagaan dan
Mekanisme Penyelesaian Konflik
|
Bagian Kesatu
Umum
|
39
|
Bagian Kedua
Pranat Adat
dan/atau Pranata Sosial
|
40,
|
||
Bagian Ketiga
Paragraf Satu
Umum
|
41
|
||
Paragraf Kedua
Tugas dan Fungsi
Satuan Tugas Penyelesaian Konflik sosial
|
42, 43
|
||
Paragraf Tiga
Pembentukan dan
Penetapan Satuan TugasPenyelesaian Konflik Sosial
|
44, 45
|
||
Pargraf Empat
Keanggotaan
Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
|
46,47, 48, 49, 50
|
||
BAB VII
|
Peran Serta
Masyarakat
|
|
51
|
BAB VIII
|
Pendanaan
|
Bagian Kesatu
Sumber Pendanaan
|
52, 53
|
BAB IX
|
Ketentuan
Penutup
|
|
54, 55, 56
|
Mekanisme
pembahasan didalam Pansus dan Panja, dilakukan penyisiran per bab RUU yang
terdiri dari beberapa bagian dan pasal-pasal. Pembahasan tidak akan meloncat ke
pembahasan pasala-pasal lainnya sebelum permasalahan di Bab-Bab pertama selesai
dibahas. Kemudian jika pun ada permasalahan yang belum atau masih harus di
bahas akan dimasukkan kedalam agenda panja selanjutnya untuk dibahas pertama. Teknik
pembahasan dengan menggunakan mekanisme kluster dapat mengefektifkan waktu dan
pembahasan permasalahan terhadap pasal-pasal menjadi lebih fokus dan terarah.
Akuntabilitas Proses Pansus dan Panja
Proses pembahasan RUU tentang
Konflik Sosial di tingkat Pansus dan Panja menyepakati bahwa pembahasan adalah
bersifat terbuka dan dapat dipantau oleh masyarakat dan pemerhati lainnya.
Selain itu, akuntabilitas Panja juga terlihat dari laporan-laporan kunjungan
kerja keluar negeri dan proses-proses konsinyering.
Selama Pansus dan RUU tentang
Konflik Sosial, kunjungan luar negeri diagendakan untuk mengunjungi
negara-negara seperti Swedia dan India. Negara-negara ini menjadi tujuan
kunjungan dikarenakan keberhasilan mereka dalam menangani konflik sosial dan
menerapakan undang-undang yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Laporan
Kunjungan Ke Swedia delegasi Panja mengagendakan sembilan (9) pertemuan dengan
pejabat pemerintah Swedia. Hasil pertemuan tersebut[30]
:
1.
Swedia
memiliki tingkat heterogenitas penduduk yang cukup tinggi, terutama setelah
tahun 1990an dan memiliki potensi
konflik antara kelompok minoritas suku asli dengan mayoritas, serta konflik
yang disebabkan oleh agenda sosial dan politik baik pada level nasional atay
negara Swedia sendiri maupun kawasan
Eropa seluruhnya.
2.
Swedia
tidak memiliki undang-undang khusus mengenai penanganan konflik sosial, tetapi
ada undang-undang yang terkait dengan pananganan konflik sosial seperti Jaminan Konstitusi mengenai
perlindungan terhadap HAM, Undang-Undang tentang Anti Diskriminasi,
Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang tentang Ketertiban Umum,
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang tentang Pers.
3.
Swedia
sangat menekankan upaya preventif atau pencegahan konflik. Upaya-upaya
penanganan konflik pada saat terjadinya konflik dilaksanakan oleh polisi, dan
sejak tahun 1931 tanpa sedikit pun
campurtangan militer lagi.
4.
Perlindungan
terhadap kepentingan individu dan kelompok merupakan inti dari upaya menciptakan
perdamaian di Swedia.
Dalam
upaya menjaga stabilitas negerinya, pemerintah Swedia memiliki empat pilar
pencegahan konflik yaitu[31]:
Pertama, kebijakan pada bidang pendidikan dan
pasar kerja.
Kedua, memperkuat peraturan perundang-undangan
di bidang anti diskriminasi berlandasakan perlindungan terrhadap HAM.
Ketiga, kebijakan membangun rasa memiliki
Swedia (developing the sense of
belonging who live in Sweden).
Keempat, kebijakan yang secara aktif dan
sungguh-sungguh melindungi individu
dari dari tindakan kekerasan oleh
kelompok lainnya, misalnya dari mayoritas kepada minoritas Swedia membangun
pemikiran, bahwa tidak ada yang abadi, sebab kelompok minoritas saat ini, bisa
menjadi mayoritas di masa depan, sehingga bisa saling membalas.
Hasil
dari kunjungan tersebut membuahkan beberapa rekomendasi yang penting bagi
pembahasan RUU tantang Konflik Sosial yaitu[32]:
Rekomendasi
pertama: Swedia tidak memiliki Undang-Undang khusus mengenai penanganan konflik
sosial, namun keputusan DPR membentuk Undang-Undang dapat dibenarkan dilihat
dari latar belakang serta komplikasi persoalan hukum dan penegakan hukum di
Indonesia serta latar belakang masyarakat Indonesia dan Swedia yang sangat
berbeda (Jumlah penduduk, tingkat kepatuhan terhadap hukum, pendidikan) sehingga
masih diperlukan suatu pendekatan hukum yang lebih kuat, imperatif, dan komprehensif yang tidak saja dititipkan
pada Undang-undang yang bersifat sektoral untuk mempertegas aspek penanganan
konflik sosial dalam beberapa Undang-Undang sektoral yang terkait.
Rekomendasi
kedua: Upaya-upaya dalam tahap preventif
perlu diperkaya atau dipertegas dengan kegiatan seperti kebijakan penjelgahan
konflik di Swedia (terdapat asas-asas penting yang perlu diperkuat dalam RUU PKS seperti asas
kekeluargaan, toleransi, konsensus, perlindungan terhadap hak-hak individu yang sesungguhnya juga mengakar dalam budaya
banngsa Indonesia, kurikulum pendidikan kewarganegaraan dan perdamaian.
Rekomendasi
ketiga: 1, Dalam tahap penghentian konflik mohon dipertimbangkan untuk tidak melibatkan TNI.; 2. Perlu mempertegas
prinsip desentralisasi penanganan konflik sosial dengan memperkuat peran
pemerintah dan polisi daerah dalam penyelesaian konflik sosial.; 3. Perlu
memperkuat nilai-nilai atau perspektif HAM dan perlindungan kepentingan
individu dalam RUU PKS. Misalnya ditambahkan dalam asas-asas penangangan
konflik sosial.
Proses
partisipatif lainnya dalam pembahasan RUU tentang Konflik Sosial ini adalah
dipraktekkannya prinsip-prinsip musyawarah diantara DPR RI dan Pemerintah. Selama
proses tersebut mekanisme voting yang biasa terjadi dalam pengambilan keputusan
tidak pernah dilaksanakan hal juga mencerminkan proses penyamaan pendapat tanpa
harus menang dan kalah. Peran aktif juga ditunjukkan oleh Tenaga Ahli dan legal
drafter pihak pemerintah dan DPR RI, dimana sebelum didakan rapat pembahasan,
para staf Pansus/Panja dan Pemerintah terlebih dahulu terlibat pembahasan
materi (workshop maupun rapat bersama) terkait dengan redaksional, penempatan
hingga materi pasal-pasal sehingga hal ini dapat mempermudah pembahasan
lanjutan yang dilakukan anggota DPR RI dan Pemerintah.
BAB
V
Penutup
Sejak dimulainya Panja RUU tentang Penanganan
Konflik Sosila pada tanggal 25 Januari 2012, Panja telah menyelesaikan
pembahasan RUU ini dalam waktu satu bulan lebih (rapat Panja terakhir 1 Maret
2012). Cepatnya pembahasan dikarenakan rapat-rapat menggunakan sistem terbuka
dan mekanisme kluster pasal-pasal. Namun pada rapat terakhir ada beberapa
masalah yaitu mengenai bantuan asing jika terjadi konflik sosial. Pemerintah
menjelaskan bahwa bantuan asing yang masuk ke Indonesia yang digunakan untuk
kegiatan-kegiatan sosial menjadi tanggung jawab Kementrian Luar Negeri dan
Kementrian Dalam Negeri sebagai lembaga yang mengskrining bantuan tersebut. Perdebatan yang ada di antara anggota Panja
adalah ditakutkan adanya dana-dana asing yang masuk dengan alasan bantuan
sosial terhadap korban konflik sosial dapat digunakan untuk memperkeruh
konflik. Hasil rapat mengenai bantuan asing tersebut ditunda untuk dibahas pada
rapat Pansus mendatang.
Seperti yang telah diuraikan proses Panja
RUU yang cepat juga di dukung oleh inisiatif DPR RI dan Pemerintah Legal
Drafter kedua lembaga) dalam melakukan pembahasan pasal-pasal sebelum masuk
kedalam rapat Panja. Selain itu keterbukaan pihak pemerintah dan DPR RI dalam
membahas hal-hal krusial seperti memasukkan konsep penyelesaian diluar
pengadilan, perbantuan TNI dan lain-lain membuat Panja menjadi lebih produktif
dan progres dalam proses nya.
Tantangan dalam pelaksanaan Undang-Undang
tentang Penanganan Konflik Sosial
Pelaksanaan
dilapangan terhadap UU tentang Penanganan Konflik Sosial tidak lah semuda yang ada diatas kertas,
untuk itu diperlukan pemahaman mendalam mengenai substansi pasal-pasal di dalam
undang-undang ini oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan aparat hukum. Beberapa
tantangan dalam pelaksanaan undang-undang ini dilapangan:
1. Pihak
Pemerintah, dimana Kementrian Dalam Negeri sebagai leading sektor
pelaksana UU tentang Penanganan Konflik Sosial, dan juga Pemerintah Daerah
sebagai ujung tombak pelaksana aturan didalam undang-undang ini haruslah
memiliki kemampuan dalam melaksanakan sosialisasi secara jelas dan mudah
dimengerti oleh masyarakat luas, terutama didaerah-daerah rawan konflik.
2. Permasalahan lainnya adalah tenggat waktu
pembuatan peraturan pelaksana oleh pemerintah yang memakan waktu 1 (satu) tahun
6 (enam) bulan sebagai pedoman teknis bagi pemerintah dan pemerintah daerah
dalam melaksanakan aturan Undang-Undang tentang Penangan Konflik Sosial di
lapangan. Kecepatan pemerintah dalam menyelesaikan aturan pelaksana menjadi
penting dikarenakan kita tidak dapat memprediksi kapan dan dimana konflik
sosial akan muncul. Dengan adanya aturan pelaksana, diharapkan Pemerintah, Pemerintah
daerah dan penegak hukum dapat dengan segera memitigasi untuk mencegah konflik
yang akan muncul dan juga dapat segera menyelesaikan konflik secara damai
melalui lembaga musyawarah.
3. Pihak aparat hukum, tokoh politik dan
pemerintah daerah juga seharusnya dapat memahami secara mendalam aturan didalam
RUU ini, terutama sekali mengenai konsep penyelesaian konflik sosial diluar
pengadilan dengan cara musyawarah mufakat yang menggunakan lembaga adat
dan/atau lembaga sosial dan agama serta melihat nilai-nilai kearifan lokal
sebagai pertimbangan dalam penyelesaian konflik sosial yang terjadi di
masyarakat. Selain itu, pemahaman aparat hukum, pimpinan daerah dan tokoh
politik terhadap konsep penyelesaian diluar pengadilan menjadi dasar untuk
memediasi penyelesaian konflik yang terjadi dimasyarakat.
Daftar Pustaka
Buku:
Isra, Prof. Dr. Saldi,
dkk. Laporan Penelitian : Perkembangan
Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi: dari berpikir Hukum tekstual
ke Hukum Progresif. Padang: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia bekerjasama dengan PUSAKO Fakultas Hukum
Universitas Andalas. 2010.
Masaaki, Okamoto, dan
Abdul Rozaki, Kelompok Kekerasan dan Bos
Lokal di Era Reformasi. Yogyakarta: IRE Press, 2006.
Rahardjo, Satjipto. Penegakan Hukum Progresif.Jakarta:
KOMPAS, 2010.
Widayati, Lidya Suryani, dkk. Fungsi Hukum dalam Penyelesaian Sengketa:
Penyelesaian Perkara Melalui Mediasi Penal. Jakarta: P3DI Sekretariat Jenderal
DPR RI. 2011.
Jurnal/Makalah/Laporan Singkat:
Draft Rancangan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial. DPR RI, 1
Maret 2012, DPR RI, .
Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia. Lampu Merah Kebebasan Beragama. Jakarta: The Wahid Institute. 2011.
Laporan Singkat Rapat Kerja ke-I,
RUU tentang Penanganan Konflik Sosial. PANSUS RUU tentang Penanganan
Konflik Sosial, DPR RI, 14 September 2011.
Laporan Singkat RDPU RUU tentang Penanganan Konflik Sosial. PANSUS RUU
tentang Penanganan Konflik Sosial, DPR RI, 21 September 2011.
Laporan Singkat Kunjungan Pansus
RUU tentang Penanganan Konflik Sosial ke Swedia, PANSUS RUU tentang Penanganan
Konflik Sosial, DPR RI 3-9 Desember 2011.
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penanganan
Konflik Sosial , Badan Legislatif, DPR RI, 18 Mei 2011.
Simarmata, Rikardo. Socio-Legal
Studies dan Gerakan Pembaharuan Hukum. Digest law, Society &
Development, Volume I, Desember 2006-Maret 2007.
Tadjoedin , Mohammad Zulfan. Anatomi Kekerasan Sosial dalam Konteks
Transisi : Kasus Indonesia 1990-2001. Working paper:02/01-I. Jakarta:
UNSFIR, 2002.
Internet:
Tamrin A Tamagola: Menghilangkan
Konflik Sama Sekali Tidak Bisa, Jakarta: www.kompas.com, 10/2/2012. Diunduh
pada tanggal 1/3/2012.
Imam Taufik:
Relasi Negara dan Masyarakat dalam Diskursus Konflik di Indonesia, http://www.wmc-iainws.com/detail_artikel.php?id=9 .Diunduh
pada tanggal 1/3/2012
www.bnpb.go.id diunduh pada 20 Pebruari 2012
[1]
Imam Taufik: Relasi Negara dan
Masyarakat dalam Diskursus Konflik di Indonesia, http://www.wmc-iainws.com/detail_artikel.php?id=9
pada
[2]
Masaaki, Okamoto, dan Abdul Rozaki, Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era
Reformasi. Yogyakarta: IRE Press,
2006.
[3]
Tadjoedin , Mohammad Zulfan. Anatomi
Kekerasan Sosial dalam Konteks Transisi : Kasus Indonesia 1990-2001. Working
paper:02/01-I. Jakarta: UNSFIR, 2002.
[5]
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penanganan
Konflik Sosial 18 Mei 2011
[6]
Laporan Singkat Rapat Kerja
ke-I, RUU tentang Penanganan Konflik
Sosial. PANSUS RUU tentang Penanganan Konflik Sosial, DPR RI, 14 September 2011
[7]Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penanganan
Konflik Sosial . Op.Cit,. hal 102
[8]
Tamagola, Tamrin A. Menghilangkan Konflik Sama Sekali Tidak Bisa,
Jakarta: www.kompas.com, 10/2/2012. Diunduh pada tanggal 1/3/2012.
[9]
Laporan Kebebasan Beragama dan
Toleransi di Indonesia . Lampu Merah
Kebebasan Beragama. Jakarta: The
Wahid Institute. 2011.
[10]
Laporan Singkat RDPU RUU tentang
Penanganan Konflik Sosial. DPR RI, 21 September 2011.
[11]
Laporan Singkat Raapat Kerja
ke-I, RUU tentang Penanganan Konflik
Sosial. DPR RI, PKS 14 September 2011.
[12]
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penanganan
Konflik Sosial op.cit., hal 75
[13]
Isra, Prof. Dr. Saldi, dkk. Laporan Penelitian : Perkembangan Pengujian
Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi: dari berpikir Hukum tekstual ke Hukum
Progresif. Padang: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia bekerjasama dengan PUSAKO Fakultas Hukum
Universitas Andalas. 2010
[14] ibid
[15]
Rahardjo, Satjipto. Penegakan Hukum Progresif.Jakarta:
KOMPAS, 2010.
[16]
Simarmata, Rikardo. Socio-Legal Studies dan Gerakan Pembaharuan
Hukum. Digest law, Society & Development, Volume I, Desember 2006-Maret
2007.
[17]
Isra, Prof. Dr. Saldi, dkk, Op.
Cit., Hal. 44
[18]
Isra, Prof. Dr. Saldi, dkk. Ibid.,
Hal. 45
[19]
Widayati, Lidya Suryani, dkk. Fungsi Hukum dalam Penyelesaian Sengketa:
Penyelesaian Perkara Melalui Mediasi Penal. Jakarta: P3DI Sekretariat
Jenderal DPR RI. 2011
[20]
Widayati, Lidya Suryani, dkk. Ibid,.
Hal. 110
[21]
Widayati, Lidya Suryani, dkk. Ibid,.
Hal. 114
[22]
Draft Rancangan Undang-Undang
tentang Penanganan Konflik Sosial
tanggal 1 Maret 2012
[23]
Draft Rancangan Undang-Undang
tentang Penanganan Konflik Sosial
tanggal 1 Maret 2012
[24]
Draft Rancangan Undang-Undang
tentang Penanganan Konflik Sosial
tanggal 1 Maret 2012, pasal 11
[25]
Ibid., Pasal 12
[26]
Ibid., Pasal 32, dan 33
[27]
Ibid., Pasal 34
[28]
Draft Rancangan Undang-Undang
tentang Penanganan Konflik Sosial
tanggal 1 Maret 2012. Pasal. 46, 47 dan 48.
[29]
Ibid.
[30]
Laporan Singkat Kunjungan Pansus RUU
tentang Penanganan Konflik Sosial 3-9 Desember 2011
[31]
Laporan Singkat Kunjungan Pansus RUU
tentang Penanganan Konflik Sosial 3-9 Desember 2011
[32]
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar