Sabtu, 22 Juni 2013

Pembuatan Legislasi yang Progresif, Beberapa catatan Pembuatan Undang-Undang tentang Penganan Konflik Sosial


Abstraksi
Tulisan ini mencoba menggambarkan proses pembuatan rancangan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial dengan melihat perkembangan pemikiran model hukum progresif sebagai pilihan alternatif dalam pencegahan, penanganan dan penyelesaian konflik sosial yang sering terjadi di masyarakat. Konflik sosial yang terjadi dimasyarakat dan berujung kepada kekerasan sering tidak dapat terselesaikan melalui jalur-jalur hukum formal. Penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah selama ini cendrung memaksakan secara cepat namun tidak mengena kepada persoalan yang sebenarnya di masyarakat. Jalur penyelesaian melalui hukum formal terkadang tidak memberikan rasa keadilan kepada para korban dan pelaku (juga menjadi bagian dari korban konflik), sehingga dibutuhkan cara berbeda untuk menyelesaikan konflik sosial yang terjadi.
Uraian ini menjelaskan inti dari pembahasan RUU PKS yang menitik beratkan kepada penguatan masyarakat sipil melalui, penggunaan mekanisme adat, sosial dan agama dalam mengelola konflik dengan jalan damai sebagai pengadopsian konsep hukum progresif. Selain itu pemberian wewenang kepada pemerintah daerah dalam mengeluarkan kebijakan penanganan konflik didaerahnya sendiri dengan mengikut sertakan masyarakat sipil diharapkan dapat menjadi solusi terbaik dalam menyelesaikan permasalahan konflik di daerah.
Permasalahan lain didalam pembahasan RUU tentang Penanganan Konflik Sosial ini adalah pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI yang dapat diminta oleh pemerintah daerah namun melalui persetujuan forum komunikasi daerah. Permasalahan ini menjadi perhatian dari beberapa pihak penggiat perdamaian yang melihat penggunaan TNI dapat menjadi masalah dalam penanganan konflik. Namun didalam RUU ini, pengaturan mengenai penggunaan kekuatan TNI masih didalam koridor kekuasaan sipil dimana kepolisian menjadi pusat koordinasi dalam penggunaan kekuatan TNI bersama masyarakat sipil lainnya dalam sebuah lembaga penyelesaian konflik yang dinamakan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial.






BAB I

I.1. Latar Belakang
Ketika pertama kali Republik Indonesia berdiri, potensi konflik banyak disebabkan oleh besarnya perbedaan ideologi dan politik diantara masyarakat. Informasi yang terbatas menjadi salah satu sebab yang memperparah konflik politik di Indonesia. Namun sejak pergantian rezin orde lama ke Orde Baru, konflik-konflik politik yang terjadi cendrung dapat diredam dengan pemerintahan yang otoriter oleh Suharto. Pendekatan penyelesaian keamanan yang cendrung milteristik, bersifat top down dan cendrung mengutamakan stabilitas keamanan dengan segera, memang mampu dengan cepat dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan masyarakat yang mungkin dapat berujung kepada konflik sosial. Namun hal tersebut tidak dapat menyelesaikan secara tuntas dan dapat muncul kembali sewaktu-waktu ketika kontrol pemerintah melemah. Menurut Tamrin Amal Tamagola, Indonesia tidak pernah sepi dari ledakan-ledakan konflik komunal sejak tahun 1950 dalam masa orde lama dan juga era orde baru dengan meletusnya konflik etnis di Sanggau Ledo, Kalimantan Barat. Konflik terakhir di Sampit, Kalimantan Tengah, adalah yang keenam belas kalinya. Bahkan, konflik berbasis agama juga terjadi zaman Orde Baru, yaitu pertikaian bernuansa agama di Jawa, seperti peristiwa Situbondo, Tasikmalaya, Pekalongan, konflik antarumat beragama secara terbatas di Halmahera Utara yang sudah terjadi sejak tahun 1960-an[1].
Penyelesaian konflik sosial dizaman Orde Baru yang lebih mementingkan kekuatan militeristik dan cendrung Top Down, menciptakan masyarakat yang tidak mandiri dalam menyelesaikan permasalahannya secara dewasa. Hal tersebut terlihat ketika dominasi pemerintah dalam menjaga stabilitas keamanan mulai berkurang seperti yang terjadi diawal reformasi hingga saat ini. Menilik data BNPB, terdapat 94 kasus konflik sosial yang terjadi di Indonesia selama kurun waktu 1998 hingga tahun 2011, dengan jumlah korban meninggal kurang lebih mencapai 5994 jiwa. Jika kita melihat data tersebut, ternyata kasus konflik sosial yang berujung kepada kekerasan dan memakan korban paling besar berada pada rentang waktu awal reformasi hingga saat ini.
Transisi politik di era reformasi membuka peluang terjadinya sistem pemerintahan yang terdesentralisasi dan proses libralisasi demokrasi yang terlalu luas tanpa dibarengi oleh kemampuan masyarakat untuk memahami dengan lebih baik proses yang terjadi. Banyak kelompok-kelompok masyarakat yang menuntut partisipasi politik lebih dan cendrung menggunakan kekuatan masa. Maasaki, Okamoto, dkk dalam buku Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi melihat runtuhnya pemerintahan otoriter tidak hanya menurunkan tingkat kestabilan politik, meningkatkan tingkat kriminalitas, tetapi juga membuka lebar pandora’s box dan berbagai komponen masyarakat menuntut keadilan yang ditafsirkan oleh dirinya sendiri yang didasari pada etnis, agama, adat, politik, ekonomi, klas, dsb. Tuntutan tersebut dilakukan secara berkelompok dan dengan memanfaatkan instrumen kekerasan untuk menebar ancaman terhadap kelompok lain yang dianggap bersebrangan ideologi atau kepentingan[2].
Pada kasus konflik-konflik yang muncul setelah kejatuhan rezim Orde Baru, transisi Indonesia setidaknya terdiri dari tiga perubahan besar[3]. Pertama, adalah transisi dari suatu sistem politik dan pemerintahan yang otokritik menuju sistem yang demokratis. Kedua, adalah transisi dari sistem ekonomi yang bersifat kapitalisme perkoncoan dan patron-klien menuju sistem ekonomi pasar yang berdasarkan pada suatu aturan main yang jelas. ketiga, adalah transisi dari sistem politik dan ekonomi yang sentralistik menuju kesistem yang desentralisasi. Proses transisi ini dilatari oleh terjadinya krisis ekonomi keuangan yang sedang melanda Asia pada waktu itu. Faktor-faktor tersebutlah yang kemudian memicu krisis multidimensional di Indonesia diakhir abad ke-20. Kombinasi krisis yang tengah terjadi kala itu, menjadi pemantik yang potensial untuk meledaknya krisis-krisis sosial yang menuju kepada konflik sosial yang lebih luas di masyarakat.




 Tabel 1.1. Lima Daerah/Provinsi tempat terjadinya Konflik sosial yang menimbulkan korban jiwa cukup besar[4]

Provinsi
Tanggal
 Jumlah Kejadian
 Meninggal
1
MALUKU/MALUKU UTARA
19/01/1999 - 29/11/2011
14
3150 jiwa
2
ACEH
21/3/1999 - 31/3/2004
6
2279 jiwa
3
DKI JAKARTA
13/5/1998 - 29/9/2010
6
295 jiwa
4
KALIMANTAN
1/4/1999 - 18/2/2011
6
172 jiwa
5
SULAWESI TENGAH
3/8/2002 - 22/1/2007
11
34 jiwa
Sumber data: BNPB berbagai tahun
            Indonesia menjadi semakin rentan terhadap munculnya konflik-konflik horizontal ditengah-tengah masyarakat, namun cara penanganan yang selama ini dilakukan masih belum dilaksanakan secara komprehensif dan integratif, temasuk peraturan undang-undang yang digunakan sebagai payung hukum penyelesaian konflik. Perundang-undangan yang digunakan masih bersifat parsial dan hanya berbentuk peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah seperti dalam bentuk Instruksi Presiden. Dalam Naskah Akademik RUU tentang Penanganan Konflik Sosial, terdapat kajian mengenai peraturan yang selama ini digunakan oleh pemerintah terkait penanganan dan penyelesaian konflik-konflik yang terjadi dimasyarakat yang dirasa masih bersifat parsial dan tidak integratif, penjelasan tersebut yaitu[5]:
1.      Beberapa undang-undang yang terkait dengan penanganan konflik mengedepankan ego sektoral, sehingga dalam implementasinya masing-masing departemen, dan pemerintah daerah berjalan sendiri-sendiri. Sehingga tidak menggambarkan suatu manajemen konflik yang terkoordinasi dan integratif.
2.      Undang-undang yang ada di samping bersifat sektoral, belum menetapkan  secara jelas dan komprehensif mengenai tindakan-tindakan serta tahap-tahap dalam penanganan konflik, baik dalam rangka upaya pencegahan (preventif), maupun penanganan pada saat konflik, dan sesudah konflik (recovery). Karakter yang muncul dalam setiap peraturan tersebut adalah tindakan yang bersifat reaktif, sehingga belum merupakan suatu kebijakan yang sistematis dan terukur.
3.      Sebagian besar peraturan yang ada bersifat operasional, tanpa satu payung hukum yang kuat. Langkah-langkah yang diambil hanya didasarkan pada kebijakan lembaga eksekutif (pemerintah), baik Pemerintah Pusat maupun Daerah. Akibat dari pengaturan yang demikian, maka dalam  pelaksanaannya ada keraguan masing-masing institusi karena setiap institusi mengacu kepada undang-undang yang berbeda. Kondisi ini menggambarkan suatu peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan, tidak konsisten/harmonis/sinkron, baik secara vertikal  maupun horisontal.
4.      Dari perspektif kelembagaan (struktur) DPR dan DPRD belum memberikan kontribusi yang kuat dalam penanganan konflik melalui bentuk regulasi yang menjadi kewenangannya, maupun melalui kebijakan anggaran melalui sistem APBN dan ABPD. Sebagian peraturan dikeluarkan dalam keputusan Presiden, Gubernur, dan Bupati/Wali Kota. Sementara pada tahap proses penegakan hukum, kapasitas anggota POLRI, Intelijen Negara dan Jaksa dalam melacak, menemukan para pelaku atau aktor intelektual tindakan  kerusuhan belum optimal.
5.      Walaupun Peraturan Menteri tidak disebutkan secara tegas dalam hierarki peraturan perundang-undangan, terutama dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun dalam prakteknya terdapat banyak peraturan menteri yang terkait dengan penanganan konflik. Banyaknya produk hukum penanganan konflik dalam bentuk peraturan menteri, merupakan konsekuensi dari  pendekatan penanganan konflik yang bersifat sektoral. Padahal dalam penyelenggaraan pemerintahan, peraturan menteri sering menimbulkan masalah karena peraturan menteri yang satu dengan menteri yang lainnya tidak sejalan, bahkan bertentangan dan mendapat resistensi yang kuat dari daerah, karena tidak tercantumnya peraturan menteri dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dan akibat dari hal tersebut, bahkan ada daerah yang menganggap bahwa peraturan daerah lebih tinggi dari peraturan menteri, walaupun sesungguhnya tidaklah demikian.
6.      Ketika dalam tahap saat terjadi konflik (khususnya pada kegiatan penghentian konflik kekerasan), undang-undang yang ada saat ini masih belum jelas mengatur tentang tugas, tanggungjawab dan kewenangan dua institusi pertahanan dan keamanan negara yaitu TNI dan POLRI dalam penanganan konflik. Oleh karena itu, salah satu materi penting dalam RUU Penanganan Konflik Sosial adalah pengaturan mengenai  pengerahan tugas perbantuan TNI kepada POLRI dalam penghentian konflik kekerasan, institusi negara yang berhak menyatakan (declare) bahwa diperlukan peran TNI dalam membantu tugas POLRI dalam ranah keamanan negara,  aturan yang jelas tentang skala besaran konflik.
Berdasarkan hal tersebut, DPR RI melihat adanya kebutuhan mendesak untuk menangani konflik dengan membuat undang-undang yang lebih komprehensif seperti Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana diawal tahun 2005 dan kemudian disahkan pada tahun 2007. Dalam undang-undang tersebut konflik sosial dimasukkan sebagai bagian dari jenis bencana. Namun perspektif dari undang-undang tersebut lebih menitik beratkan kepada penanggulangan bencana alam dibandingkan penanganan konflik sosial yang sering merugikan masyarakat. Sehingga dirasa ada sebuah pemahaman yang keliru mengenai konflik dalam UU tentang Penanganan Bencana.

I.2. Tujuan Pembentukan RUU Tentang Penanganan Konflik Sosial
Berdasarkan pemikiran di atas, maka dirasakan perlunya dibentuk sebuah Rancangan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial sebagai cara agar lebih komprehensif menangani dan menyelesaikan konflik yang terjadi maupun yang akan terjadi dimasyarakat dalam suatu payung hukum tersendiri. DPR RI berinisiatif mengajukan usulan pembentukan RUU tentang Penanganan Konflik Sosial yang diharapkan dapat menjadi panduan pemerintah dan masyarakat dalam mencegah, menangani dan menyelesaikan konflik yang dapat berujung kepada tindak kekerasan. Dari hasil Laporan Singkat Pansus RUU tentang Konflik Sosial, Tujuan utama dari pembentukan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial adalah untuk memberikan landasan hukum yang kuat mengenai tahap-tahap atau mekanisme penanganan konflik sosial serta mengatur secara tegas tugas dan tanggung jawab dari semua pihak dan institusi dalam menangani konflik sosial dalam suatu system penyelesaian konflik yang komprehensif, integrative, dan efektif bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang aman, tenteram, damai,dan sejahtera[6].
Inisiatif DPR RI dalam mengusulkan pembentukan RUU tentang Penanganan Konflik Sosial didasarkan pada beberapa argumen, yaitu argumentasi  filosofis, argumentasi sosiologis, dan argumentasi yuridis. Keterangan Pengusul Rancangan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial yang dikeluarkan Badan Legislatif DPR RI pada tanggal 18 Mei 2011 menjelaskan argumentasi-argumentasi tersebut[7] :
1.      Argumentasi filosofis berkaitan dengan pertama, jaminan tetap eksisnya cita-cita pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, tanpa diganggu akibat perbedaan pendapat atau konflik yang terjadi di antarkelompok dan golongan. Kedua, tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa, agama dan budaya dan seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk memberikan jaminan rasa aman dan bebas dari rasa takut dalam rangka terwujudnya kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketiga, tanggungjawab negara  memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi melalui upaya penciptaan suasana yang aman, tentram, damai dan sejahtera lahir maupun batin sebagai wujud hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya.
2.      Argumentasi Sosiologis dari Pembentukan Undang-Undang Penanganan Konflik adalah,  Pertama, Negara Republik Indonesia dengan keanekaragam suku bangsa, agama dan budaya yang masih diwarnai ketimpangan pembangunan, ketidakadilan dan kesenjangan sosial, ekonomi, politik, kemiskinan berpotensi untuk melahirkan konflik-konflik di tengah masyarakat. Kedua, Tanah dan kekayaan sumber daya alam serta daya dukung lingkungan yang semakin terbatas dapat menimbulkan konflik, baik karena masalah kepemilikan, maupun karena kelemahanan dalam sistem pengelolaannya yang tidak memperhatikan kepentingan masyarakat setempat. Ketiga, Konflik menyebabkan hilangnya rasa aman dan menciptakan rasa takut masyarakat, serta kerusakan lingkungan, kerusakan pranata sosial, kerugian harta benda, korban jiwa dan trauma psikologis (dendam, kebencian, perasaan permusuhan), melebarnya jarak segresi antar para pihak yang berkonflik, sehingga dapat menghambat terwujudnya kesejahteraan umum. Keempat, Penanganan konflik dapat dilakukan secara komprehensif, integratif, efektif, efisien, akuntabel dan transparan serta tepat sasaran dengan mendasarkan pada pendekatan dialogis dan cara damai berdasarkan landasan hukum yang memadai.
3.      Sedangkan argumentasi yuridis dari Pembentukan Undang-Undang Penanganan Konflik  Sosial bahwa peraturan perundang-undangan di bidang penanganan konflik sudah tidak sesuai dengan perkembangan sistem ketatanegaraan, bersifat sektoral, reaktif, serta sudah tidak memadai lagi sebagai landasan hukum penanganan konflik yang komprehensif dan integratif.

I.3. Pro-kontra terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial
            Atas dasar inisiatif DPR RI dengan menimbang keadaan Indonesia yang rawan konflik, maka DPR RI bersama Pemerintah siap untuk melakukan pembahasan dengan membentuk Pansus RUU tentang Penanganan Konflik Sosial. Namun, dalam proses pembahasan terdapat perbedaan pendapat ditengah masyarakat terhadap pembentukan RUU ini. Sejumlah penggiat HAM menilai RUU tentang Penanganan Konflik Sosial banyak memuat pasal-pasal bermasalah. Sosiolog UI Tamrin Amal Tamagola juga melihat bahwa rancangan undang-undang ini adalah undang-undang yang hanya efektif jika telah terjadi konflik sehingga telah jatuh korban terlebih dahulu. Menurut nya lagi, bahwa alamiahnya konflik tidak dapat dituntaskan sama sekali, yang dapat dilakukan adalah mengurangi konflik agar mudharatnya bisa dihindari dan ditekan seminimal mungkin dan manfaatnya dikembangkan semaksimal mungkin[8]. Imparsial juga menolak pembentukan RUU ini dengan alasan, setidaknya ada sekitar 20 Pasal bermasalah didalam RUU Penanganan Konflik Sosial. Imparsial menilai bahwa RUU ini bias sekuritisasi karena dengan mudahnya Pemerintah Daerah (Pemda) dapat melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penanganan konflik sosial. Dalam praktiknya, tidak jarang pemerintah dan agamawan juga enggan mengakui konflik bermotif agama. Konflik tersebut sering dianggap konflik sosial biasa dan tak ada hubungan dengan agama. Agama sering dianggap penyebab sekunder atau agama hanya dijadikan kamuflase konflik yang sebenarnya, seperti konflik perebutan sumber daya ekonomi dan politik[9].
            Ketua Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan dalam Rapat Dengar Pendapat yang diadakan pada tanggal 21 September 2011 melihat bahwa Draft RUU Penanganan Konflik Sosial masih belum sempurna, seperti definisi konflik, sumber-sumber konflik dan adanya beberapa pasal yang overlaping dengan undang-undang lainnya. Definisi konflik sosial, Kontras melihat, tidak terlalu spesifik karena masih mencakup beberapa jenis konflik. Untuk itu sebaiknya definisi dari konflik didalam RUU tersebut difokuskan kepada konflik-konflik yang lebih cendrung mengarah kepada konflik SARA[10]. Selain itu didalam RUU ini, proses penanganan konflik masih belum terlihat proses penyelesaian yang komprehensif dengan memenuhi unsur-unsur pencegahan, penanganan konflik dan pasca konflik.
Namun argumen-argumen terhadap pandangan pesimis terhadap RUU tentang Penanganan Konflik Sosial dapat dijelaskan dengan memperlihatkan mengenai isi dari RUU tentang Penanganan Konflik Sosial yang berisi mekanisme dan cara pencegahan hingga penyelesaian konflik sosial secara konprehensif dan integratif serta melibatkan banyak pihak termasuk masyarakat yang berkonflik. RUU ini dapat memberikan landasan hukum yang kuat mengenai tahap-tahap atau mekanisme penanganan konflik sosial serta mengatur secara tegas tugas dan tanggung jawab dari semua pihak dan institusi dalam menangani konflik sosial dalam suatu sistem penyelesaian konflik yang komprehensif, integratif, dan efektif bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang aman, tentram, damai, dan sejahtera[11]. Dari penjelasan tersebut, RUU tentang Penanganan Konflik Sosial membangun payung hukum dan mekanisme penanganan konflik, mulai dari pencegahan dengan melibatkan masyarakat di daerah rawan konflik, pemerintah daerah, dan pihak Kepolisian sebagai ujung tombak keamanan didaerah. Pelibatan setiap elemen masyarakat pusat dan daerah untuk turut bertanggung jawab dalam pencegahan, penanganan dan penyelesaian konflik merupakan suatu bentuk komprehensif penanganan konflik yang didorong dalam RUU ini. Hal tersebut juga sebagai cara penguatan masyarakat untuk berkontribusi menyelesaikan konflik mereka sendiri.
            Hasil pembahasan draft RUU tentang Penanganan Konflik Sosial pada tanggal 1 Maret 2012, pasal 13 terkait pembahasan mengenai penghentian konflik dapat dilakukan: a. Penghentian kekerasan fisik; b. Penetapan status keadaan konflik; c. Tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban; dan/ atau; d. Pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI.  Sedangkan dalam pasal 14 berbunyi : 1. Penghentian kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a dilakukan di bawah koordinasi POLRI     ; 2. POLRI dalam menghentikan kekerasan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan/atau tokoh adat; 3. POLRI dalam menghentikan kekerasan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat 2, dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Pembahasan pasal 13 dan 14, memperlihatkan bahwa terkait dengan penghentian kekerasan dimana POLRI menjadi garda terdepan dalam menghentikan kekerasan fisik jika konflik sosial terjadi dan berujung kepada kekerasan. Selain itu POLRI juga turut melibatkan tokoh masyarakat, agama ataupun tokoh adat. Sedangkan pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI dalam penghentian konflik sosial harus melalui keputusan bersama forum Koordinasi Pimpinan Daerah baik untuk konflik dengan skala kabupaten/Kota dan Provinsi (Pasal 32 ayat 1 dan 2 RUU tentang Penanganan Konflik Sosial). Konflik skala nasional, Presiden berwenang untuk mengerahkan TNI setelah berkonsultasi dengan Pimpinan DPR RI (pasal 32 ayat 3). Selanjutnya pada Pasal 33 berbunyi: Pelaksanaan pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dikoordinasikan dan dikendalikan oleh POLRI. Hal ini dijelaskan didalam Naskah Akademik RUU tentang Penanganan Konflik Sosial, dimana RUU ini setelah menjadi Undang-Undang hanya akan dibatasi hingga pada keadaan darurat sipil sehingga koordinasi dan kendali penanganan konflik dalam keadaan konflik tetap berada pada pihak sipil termasul POLRI[12].  Pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI dalam penanganan konflik sosial bukan menjadi alasan untuk menolak RUU tentang Penanganan Konflik Sosial dikarenakan penggunaan kekuatan TNI masih berada dalam koordinasi POLRI dan Forum Koordinasi Daerah, kecuali konflik sosial yang terjadi mengarah kepada keadaan darurat militer.

BAB II
II.1. Hukum Progresif
Sebelum terjadinya revolusi Prancis, para raja sering menjatuhkan hukuman kepada rakyatnya hanya atas dasar perkataan raja tanpa adanya dasar hukum yang jelas sama sekali. Ketika paham positifisme mulai merebak didataran Eropa, masyarakat mulai melihat mengenai kesamaan hak antara raja dan rakyat sebagai cara untuk mengontrol kekuasaan raja yang tidak terbatas. Puncak dari kritisisme terhadap kekuasaan raja adalah ketika terjadinya revolusi Perancis.
Napoleon Bonaparte mulai memikirkan mengenai kepastian hukum dengan melihat bentuk kodifikasi yang dilakukan dizaman Kaisar Yustisianus, Napoleon kemudian melakukan pengaturan pola prilaku masyarakat dengan menetapkan norma-norma kedalam hukum tertulis. Pemilihan bentuk hukum tertulis itu dilakukan karena didasarkan pada keyakinan bahwa hanya dengan bentuk hukum tertulislah maka segala macam norma yang mengatur masyarakat dapat dirujuk dan dilihat dengan jelas dan pasti sehingga nantinya diharapkan dapat menjamin kepastian hukum. Maka sejak saat itu berkembanglah apa yang dinamakan dengan aliran Legisme, yaitu paham yang mengaitkan hukum dengan undang-undang, bahkan secara strict menyebutkan tidak ada sumber hukum selain undang-undang[13]. Perkembangan teknologi dan ekonomi yang mengarah kepada kapitalistik pada abad ke-18 di Eropa, sangat membutuhkan topangan berupa kepastian hukum dalam menjalankan kegiatan ekonomi. Sehingga aturan hukum tertulis kembali berevolusi menjadi peraturan tertulis yang lebih terukur dan pasti. Menurut E. Sumarsono positivisme hukum berkeinginan menjadikan hukum sepenuhnya otonom dan menyusun dirinya sendiri sebagai sebuah ilmu pengetahuan hukum yang lengkap berdasarkan atas semua sistem normatif yang berlaku dalam masyarakat pada umumnya. Kondisi ini memberikan kewenagan bagi Negara (penguasa) untuk membentuk hukum yang dapat dipaksakan kepada seluruh warga negara.  Ketika hal ini terjadi, hukum tidak lagi berbentuk hukum yang interaksional, namun telah berubah menjadi bentuk hukum positifistik atau menurut Roberto M. Unger merupakan tipe hukum birokratis[14].
Ketika konsep hukum positifistik kemudian diadopsi oleh negara dalam bentuk konstitusi dan undang-undang. Negara memiliki kekuasaan untuk memaksakan hukum tertulis terhadap masyarakatnya. Maka ketika itu kekuasaan negara menjadi cendrung untuk menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan. Kekuasaan negara cendrung dikooptasi oleh kekuatan-kekuatan ekonomi sehingga hukum negara cendrung bias ketika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan ini. Contoh ini dapat kita lihat didalam Undang-Undang Migas, Undang-Undang Minerba dan Investasi. Ketika Undang-Undang ini telah tertulis, negara wajib menjalankan aturan yang ada walaupun hal tersebut mengurangi rasa keadilan dari masyarakat (contoh konflik-konflik kasus pertambangan dimana pihak kepolisian memiliki tugas melindungi obyek-obyek fital negara termasuk daerah pertambangan dan investasi asing, walaupun harus berhadap-hadapan dengan masyarakat setempat). Sedangkan disisi lain, masyarakat lokal yang terimbas dari adanya proyek pertambangan maupun perkebunan tidak memiliki akses terhadap hukum yang baik untuk menyuarakan hak-hak nya. Walau ada pun, masyarakat lokal terkadang tidak dapat merasakan rasa keadilan dari hasil keputusan lembaga-lembaga hukum negara yang ada. Sehingga ini tentu saja menjadi salah satu alasan terjadinya konflik sosial dimasyarakat.
Menurut Satjipto Rahardjo, ketika hukum itu tertulis atau menjadi dokumen tertulis, maka perhatian bergeser kepada pelik-pelik penggunaannya sebagai sebuah dokumen tertulis. Apabila semula berhukum itu berkaitan dengan masalah keadilan atau pencarian keadilan, maka sekarang kita dihadapkan kepada teks, pembacaan teks, dan lain-lain[15]. Banyak dari rezim hukum positifis tidak mampu untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial ditengarai disebabkan oleh dua faktor. Pertama, bangunan sistem hukum beserta doktrin-doktrin yang menopangnya memang tidak memungkinkan hukum melakukan perubahan sosial atau menghadirkan keadilan substantif. Kondisi ini disebabkan oleh faktor Kedua yakni tercemarnya institusi-institusi hukum karena bekerja sebagai alat kekuasaan sehingga menyebabkan sulitnya menghadirkan tertib hukum seperti yang dijanjikan oleh penganjur positivisme hukum[16].
Kasus-kasus kerusuhan masal yang terjadi di Indonesia selama ini tidak pernah tuntas diselesaikan dengan proses hukum positif. Penutasan kasus kerusuhan di muka pengadilan dengan menjatuhkan hukuman pidana terkadang malah menimbulkan keonaran, kebencian dan balas dendam berkepanjangan. Tentu saja hal ini juga dapat menjadi sumber untuk memunculkan konflik baru. Selain itu pada kasus-kasus konflik besar (seperti peristiwa konflik di maluku) yang mengikutsertakan masa yang besar dan mengakibatkan korban jiwa yang cukup banyak, terdapat kerumitan dalam penyelesaian konflik jika diajukan diajukan dimuka pengadilan. Dalam kasus konflik di Maluku, hingga saat ini belum ada satupun pihak yang dapat dijadikan tersangka, sehingga proses penyelesaian konflik tersebut melalui jalur hukum pun tidak pernah tuntas hingga saat ini. Namun disisi lain konflik yang terjadi dapat telah diselesaikan bukan melalui mekanisme hukum yang berlaku, namun melalui proses mediasi terhadap kedua kelompok yang bertikai.
Contoh lain dari penyelesaian lainnya adalah kasus konflik horizontal di kepulauan Kei. Dalam kasus tersebut pihak kepolisian mengedepankan pertimbangan kepentingan hukum dan keadaan yang dilematis yaitu dengan menggunakan perundingan yang mencerminkan keadilan masyarakat hukum adat di kepulauan Kei.
Hingga kini banyak kasus-kasus konflik yang berujung pada kekerasan maupun kasus-kasus kerusuhan yang masih belum dapat terselesaikan melalui jalur hukum positif yang berlaku di Indonesia. walaupun ada, hal tersebut tidak jarang tidak dapat memberikan rasa keadilan baik bagi para korban maupun pelaku, sehingga proses penyekesaian kasus-kasus secara formal masih belum mampu untuk melakukan penyelesaian terhadap kasus-kasus yang saat ini terjadi karena kekakuan hukum formal yang ada.

II.2. Tujuan Penggunaan Hukum Progresif dalam RUU tentang Penanganan Konflik Sosial
Berangkat dari uraian diatas, diperlukan sebuah bentuk hukum yang lebih maju dalam proses penanganan dan penyelesaian konflik yang terjadi dan mungkin akan terjadi di Indonesia. Bentuk hukum progresif saat ini menjadi sebuah pilihan dalam menyelesaiakan kasus-kasus konflik yang terjadi. Konsep mengenai penyelesaian konflik diluar pengadilan baik melalui hukum adat/sosial atau pun melalui mediasi adalah macam bentuk dari tipe hukum progresif. Konsep hukum progrsif berititik tolak pada pandangan kemanusiaan, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik memiliki kasih sayang kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting bagi membangun cara berhukum di dalam masyarakat[17].
Berfikir secara progresif berarti harus berani keluar dari mainstream pemikiran absolutisme hukum, kemudian menempatkan hukum dalam persoalan kemanusiaan. Bekerja berdasarkan pola pikir atau paradigma hukum progresif akan melihat faktor utama dalam hukum itu adalah manusia, sedangkan paradigma hukum yang positivisme meyakini kebenaran hukum atas manusia. Manusia boleh dimarjinalkan asalkan hukum tegak. Sebaliknya paradigma hukum progresif berfikir bahwa justru hukumlah yang harus dimarjinalkan untuk mendukung proses eksistensi kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan[18]. Konsep hukum progresif melihat hukum akan selalu berubah sesuai dengan kondisi sosial manusia menurut karakteristiknya sendiri seperti diuraikan oleh Satjipto: pertama, Hukum adalah untuk manusia. Artinya manusia adalah titik sentral dalam perubahan atau perputaran hukum. Kedua, hukum progresif menolak mempertahankan keadaan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo memberi efek yang sama seperti pada waktu orang berpendapat, bahwa hukum adalah tolak ukur untuk semuanya dan manusia adalah untuk hukum (seperti konsep hukum positifistik, normatif dan legalistik). Ketiga, bahwa perdaban hukum tertulis akan memunculkan sekalian kaibat dan risiko, maka cara kita berhukum sebaiknya juga mengantisipasi tentang bagaimana mengatasi hambatan-hambatan dalam menggunakan hukum tertulis tersebut.
Keempat, hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan prilaku manusia dalam hukum. Peranan manusia merupakan konsekuensi terhadap pengakuan bahwa sebaiknya kita tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan. Kelima, bahwa hukum progresif adalah cara berhukum yang selalu gelisah untuk membangun diri, sehingga berkualitas untuk melayani dan membawa rakyat kepada kesejahteraan dan kebahagiaan. Ideal tersebut dilakukan dengan aktivitas yang berkesinambungan antara merobohkan hukum yang mengganjal dan menghambat perkembangan untuk membangun yang lebih baik.
RUU tentang Penanganan Konflik Sosial telah mengadopsi konsep-konsep dari proses pencegahan, penanganan dan penyelesaian konflik dengan menggunakan bentuk hukum progresif. Hal tersebut terlihat dari bagaimana masyarakat lokal, adat/sosial menyelesaikan konfliknya sendiri secara damai melalui musyawarah mufakat dan hasil-hasil dari musyawarah tersebut bersifat mengikat diantara kedua pihak yang berkonflik. Penyelesaian konflik dengan cara ini diharapkan dapat memberikan rasa keadilan bagi setiap kelompok masyarakat yang bertikai. Bentuk proses penyelesaian konflik ini mengedepankan manusia dalam hal ini kelompok masyarakat adat/sosial, dan agama untuk berhukum sesuai dengan karakteristik masyarakatnya. Masyarakat diajak untuk menemukan solusi bersama secara damai untuk penyelesaian konflik mereka. Sehingga masyarakat sipil, adat dan pemerintah daerah ditempatkan sebagai orang-orang yang berhukum dengan prinsip-prinsip yang berlaku di daerah dan adat mereka sendiri, sehingga penyelesaian konflik tidak kehilangan makna dan diharapkan dapat tuntas hingga akarnya dengan damai dan tanpa mengurangi rasa keadilan diantara pihak-pihak yang berkonflik.
II. 3. Pasal-Pasal Penting didalam RUU tentang Penanganan Konflik Sosial
Beberapa pasal penting didalam RUU tentang Penanganan Konflik Sosial memperlihatkan bahwa konsep-konsep bentuk/tipe hukum progresif digunakan untuk menyelesaikan pencegahan, penanganan dan penyelesaian konflik sosial. Seperti yang telah diuraikan diatas, mengikutsertakan masyarakat, tokoh adat/sosial dan agama dalam proses penanganan konflik melalui jalan musyawarah mufakat dengan damai dapat menjadi alternatif pemecahan terhadap konflik sosial. Selain itu mekanisme adat dan sosial juga digunakan sebagai frame utama penyelesaian konflik dimasyarakat tanpa harus melalui jalur pengadilan. Hal tersebut dapat dilihat didalam asas RUU yaitu  Kemanusian dan hak asasi manusia ; kebangsaan; kekeluargaan; bhinneka tunggal ika; keadilan dan kesetaraan gender; ketertiban dan kepastian hukum; keberlanjutan; kearifan lokal; tanggung jawab negara; partisipatif; imparsialitas dan non diskriminasi. Beberapa pasal didalam RUU ini yang memperlihatkan pengadopsian konsep-konsep progresifitas dalam penanganan konflik sosial diantaranya dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Pasal-Pasal Penting didalam RUU tentang Penanganan Konflik Sosial
BAB
KLUSTER
PASAL
BAB II
Asas, Tujuan dan Ruang Lingkup

3, 4, dan 6
BAB III
Pencegahan Konflik
Bagian Kesatu
Umum
7 (ayat 1 dan 2)
Bagian Kedua
Memelihara Kondisi Damai
8
Bagian Ketiga
Mengembangkan Penyelesaian Perselisihan Secara Damai
9 (1 s.d 3)
Bagian Keempat
Meredam Potensi Konflik
10 (huruf a,c, d, f, dan g)
Bagian Kelima
Mengembangkan Sistem Peringatan Dini
11, dan 12
BAB IV
Penghentian Konflik
Bagian Kedua
Penhentian Kekerasan Fisik
4 (ayat 2)
Bagian Ketiga
Penetapan Status Keadaan Konflik
17, 19, 25 dan 26
Bagian Kelima
Pengerahan dan Penggunaan Kekuatan TNI
32, 33 dan 34
Bab V
Pemulihan Pasca Konflik
Bagian Kedua
Rekonsiliasi
36
Bagian Ketiga
Rehabilitasi
37
BAB VI Kelembagaan dan Mekanisme Penyelesaian Konflik
Bagian Kesatu
Umum
39
Bagian Kedua
Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial
40
Bagian Ketiga
Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
41, 42, 44, 46 (ayat 3 dan 4), 46, 47 dan 48
BAB VII Peranserta Masyarakat

51
BAB VIII Pendanaan
Bagian Kesatu
Sumber Pendanaan
52 (ayat 2 s.d 4)





BAB III
III.1. Penguatan Masyarakat Sipil
Peran masyarakat sipil dalam proses pencegahan, penanganan dan penyelesaian konflik adalah bertujuan untuk pendewasaan masyaraka sipil dalam memahami permasalahan di komunitas mereka sendiri. Harapannya adalah agar masyarakat dapat secara sadar mampu memiliki prilaku hukumnya sendiri dalam menangani konflik diantara mereka. Penggunaan mekanisme adat/sosial dan agama dalam proses penyelesaian konflik melalui jalan musyawarah secara damai merupakan cara terbaik masyarakat dalam mengelola konflik mereka. Masyarakat-lah yang lebih mengetahui mengenai akar permasalah yang terjadi didalam konflik itu sendiri. Pola-pola penyelesaian secara demikian merupakan bentuk penerapan hukum progresif dimana salah satu bentuknya adalah keadilan restoratif.
III. 2. Restorative Justice dalam penyelesaian Konflik
Proses penyelesaian sengketa diantara masyarakat melalui jalur diluar pengadilan merupakan bentuk-bentuk dari sebuah restorative justice model. Penyelesaian diluar pengadilan seperti ini juga dikenal dengan istilah mediasi penal/mediasi pidana yang merupakan bagian dari alternatif penyelesaian diluar pengadilan. Menurut Muladi yang dikutip oleh Lidya Suryani Widayati, karakteristik dari mediasi pidana adalah[19]:
1.      Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik.
2.      Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggung jawaban dan kewajiban pada masa depan.
3.      Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi.
4.      Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama.
5.      Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil.
6.      Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial.
7.      Masyarakat merupakan fasilitator didalam proses restoratif.
8.      Peran korban dan pelaku tindak pidanan diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidanan didorong untuk bertanggung jawab.
9.      Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu merumuskan yang terbaik.
10.  Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis.
11.  Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.
Mediasi Penal/Pidana bertolak dari ide dan pronsip kerja sebagai berikut:
1.      Penanganan konflik : Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasari pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.
2.      Berorientasi pada proses: Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu: menyadarkan pelaku tindak pidanan akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut dan sebagainya.
3.      Proses informal: Mediasi penal/pidana merupakan suatu proses yang informal , tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat.
4.      Ada partisipatif aktif dan otonom para pihak : Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih sebagai subjekyang mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.
Masyarakat Indonesia dalam prakteknya sering melakukan penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui musyawarah mufakat, dan merupakan bagian dari hukum adat dan kearifan lokal masyarakat. Diberbagai daerah di Indonesia, masyarakat juga telah mengenal lembaga mediasi penal antara lain di Sumatera Barat, Aceh, dan hukum adat Lampung. Bahkan di Aceh (NAD) sudah dituangkan dalam Perda No. 7/2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat yang antara lain intinya mengatur sebagai berikut: Sengketa diselesaikan terlebih dahulu secara damai melalui musyawarah adat (pasal 13), perdamaian mengikat para pihak dan yang tidak mengindahkan keputusan adat, dikenakan sanksi adat (Pasal 14), apabila para pihak tidak puas terhadap putusan adat dapat mengajukan perkaranya ke aparat penegak hukum. Keputusan adat dapat dijadikan pertimbangan oleh aparat hukum (Pasal 15)[20].
Selain itu dibeberapa daerah juga dikenal penyelesaian sengketa konflik melalui cara diluar pengadilan, semisal adat bakar batu untuk mendamaikan konflik yang terjadi diantara suku-suku di Papua, dan juga denda kerbau kepada orang-orang yang dianggap bersalah dikalangan masyarakat adat Dayak seperti yang terjadi kepada kasus Tamrin Amal Tamagola yang diselesaikan diluar jalur pengadilan, dan konflik antara suku Dayak dan Bugis di Nunukan Kalimantan Timur.
Undang-undang lain yang mengakomodir konsep mediasi penal misalnya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang memuat ketentuan yang memungkinkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui mediasi. Didalam undang-undang tersebut pasal 76 ayat (1) Undang-Undang ini menentukan mengenai kewenangan Komnas HAM antara lain untuk melakukan perdamaian kedua belah pihak dan menyelesaikan perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli. Selanjutnya perdamaian yang dihasilkan melalui mediasi merupakan kesepakatan secara tertulis dan ditandatangani oleh pihak dan dikukuhkan oleh mediator (Komnas HAM). Sedangkan di pasal 96 ayat (3) mengatur bahwa keputusan mediasi mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah.
Draft RUU KUHP tahun 2010, turut mengakomodir konsep penyelesai pidanan diluar pengadilan yang terdapat pada pasal 145 huruf d, yang menjelaskan kewenangan menuntut gugur, antara lain jika ada penyelesaian diluar proses.  Pasal tersebut menghapus hak penuntutan perkara pidanan yang telah diselesaikan diluar pengadilan memberikan alternatif untuk menata dengan lebih baik mengenai penyelesaian pidana[21].

III. 3. Asas-Asas dalam Undang-Undang Pengelolaan Konflik Sosial
Landasan pembentukan UU tentang Penanganan Konflik Sosial adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, namun secara spesifik landasan tersebut diuraikan kembali menjadi 11 asas yang menjadi spirit pembentukan undang-undang ini. Asas-asas yang tertuang dalam RUU PK menjadi spirit atau “roh” dari berbagai ketentuan dalam kegiatan penanganan konflik ini. Oleh karena itu, asas-asas ini kemudian terejahwantakan dalam rumusan pasal-pasal yang menjadi acuan dari pelaksanaan penanganan konflik di Indonesia. Adapun asas-asas penting yang menjadi landasan dari penanganan konflik sosial di Indonesia adalah[22]:
1)      Kemanusian dan hak asasi manusi;
Yang dimaksud dengan “asas kemanusian“ adalah bahwa penanganan konflik sosial harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
2)      Kebangsaan;
Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan“ adalah bahwa penanganan konflik sosial harus mencerminkan sifat dan watak bangsaIndonesia yang pluralistik dengan tetap memelihara prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
3)      Kekeluargaan;
Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan “ adalah bahwa penanganan konflik sosial harus mencerminkan mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
4)      Bhinneka Tunggal Ika;
Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika“ adalah bahwa penanganan konflik sosial harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
5)      Keadilan dan kesetaraan gender;
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa penanganan konflik sosial harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa terkecuali.
6)      Ketertiban dan kepastian hukum;
Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum“ adalah bahwa penanganan konflik sosial harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
7)      Keberlanjutan
Yang dimaksud dengan “asas keberlanjutan“ adalah bahwa penanganan konflik sosial harus dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan untuk menciptakan suasana tenteram dan damai.
8)      Kearifan lokal.
Yang dimaksud dengan “asas kearifan lokal“ adalah bahwa penanganan konflik sosial harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dan dihormati di dalam masyarakat.
9)      Tanggungjawab negara
Yang dimaksud dengan “asas tanggung jawab negara“ adalah bahwa penanganan konflik sosial merupakan tanggung jawab seluruh komponen negara baik pemerintah maupun masyarakat.
10)  Partisipatif.
Yang dimaksud dengan “asas partisipatif“ adalah bahwa penanganan konflik sosial melibatkan masyarakat dalam keseluruhan proses penangan konflik mulai dari perencanaan, pembiayaan, dan pengawasan.
11)  Imparsialitas dan non diskriminasi
Yang dimaksud dengan “asas imparsialitas” adalah berpegang teguh pada norma dengan tidak berpihak pada pihak yang berkepentingan.

            Pemerintah pusat maupun daerah memiliki peran aktif dalam menangani konflik, baik pencegahan, penanganan dan penyelesaian serta melindungi dan merecoveri korban akibat dari konflik. Peran pemerintah baik pusat dan daerah dalam hal pencegahan konflik adalah dengan meredam konflik (Bab III, Bagian keempat, pasal 10), dimana cara-cara meredam konflik oleh pemerintah dan pemerintah daerah adalah melalui[23]:
a.        melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang sensitif konflik;
b.        menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik;
c.         melakukan program-program perdamaian di daerah potensi konflik;
d.        mengintensifkan  dialog antar kelompok masyarakat;
e.        menegakkan hukum tanpa diskriminasi;
f.          melestarikan nilai budaya dan kearifan lokal; dan
g.        menyelenggarakan musyawarah dengan kelompok masyarakat setempat untuk menjajaki peluang membangun kemitraan dengan pelaku usaha.
Poin penting pada pasal 10 ini adalah pada poin f dan g, dimana setiap kegiatan ekonomi yang direncanakan akan dilakukan didaerah-daerah harus dapat mengikutsertakan masyarakat sebagai bagian dari proses kegiatan ekonomi dan tidak melanggar nilai-nilai budaya dan kearifan lokal setempat.
Peran aktif pemerintah dan pemerintah daerah dalam pencegahan juga terlihat pada pasal 1 1dan 12 yang membahas pengembangan peringatan dini. Pada pasal 11 ayat (1) Untuk mencegah konflik pada daerah yang diidentifikasikan sebagai daerah potensi konflik atau untuk mencegah perluasan konflik pada daerah yang sedang terjadi konflik, pemerintah dan Pemerintah Daerah mengembangkan sistem peringatan dini; ayat (2): Sistem peringatan dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyampaian informasi kepada masyarakat mengenai potensi konflik atau konflik yang terjadi di daerah lain; ayat (3): Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengembangkan sistem peringatan dini melalui media komunikasi dan informasi[24].
Sedangkan dipasal 12, pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan peringatan dini melalui a. pemetaan wilayah potensi konflik; b. penyampaian data dan informasi mengenai konflik secara cepat, tepat, tegas, dan tidak menyesatkan; c. pengembangan penelitian dan pendidikan dalam rangka penguatan sistem peringatan dini; d. pemanfaatan modal sosial masyarakat; e. peningkatan dan pemanfaatan fungsi intelijen berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan[25].
Terkait dengan penanganan konflik yang terjadi dan telah berujung kepada tindak kekerasan, pemerintah dan pemerintah daerah segera menghentikan konflik yang terjadi melalui penghentian kekerasan fisik, penetapan status keadaan konflik, tindakan darurat penyelamatan korban dan atau pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI (pasal 13). Pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI lebih lanjut dijelaskan pada Bab IV, bagian kelima pasal 32, 33 dan 34. Dimana pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI dilakukan melalui persetujuan forum koordinasi pemerintah daerah baik di tingkat Kabupaten dan Provinsi. Sedangkan pengerahan TNI untuk konflik dengan skala nasional, presiden berwenang mengerahkan kekuatan TNI setelah berkonsultasi dengan Pimpinan DPR[26]. Pada pasal 33 menjelaskan: pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada pasal 32 dikoordinasikan dan dikendalikan oleh POLRI. sedangkan pasal 34 menyatakan berakhirnya penggunaan kekuatan TNI adalah ketika telah dilakukan pencabutan status keadaan konflik atau berakhirnya jangka waktu status keadaan konflik[27].
Mekanisme penyelesaian konflik didalam RUU tentang Penanganan Konflik Sosial, dimasukkan kedalam Bab VI Kelembagaan dan Mekanisme Penyelesaian Konflik. Pada Bab ini penyelesaian konflik melibatkan lembaga-lembaga adat, atau sosial dan lembaga yang dibentuk pemerintah berupa Satuan Tugas Penyelesaian Konflik. Satuan tugas ini terdiri dari lembaga-lembaga pemerintah dan pemerintah daerah (tergantung dari skala konflik), dan juga lembaga-lembaga adat dan sosial, dimana unsur masyarakat terdiri dari tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, pengiat perdamaian, dan wakil dari pihak yang berkonflik[28]. Selain itu pembentukan satuan tugas tersebut juga mengharuskan adanya keterwakilan perempuan sebanyak 30% dari total anggota[29]. Tujuan utama dari pematokan partisipatif perempuan sebesar 30% didalam satuan tugas penyelesaian konflik adalah guna menjaga proses mediasi konflik tetap berjalan damai dan yang paling utama adalah menjamin hak-hak perlindungan perempuan dan anak-anak selama proses penyelesaian konflik. Selain itu dengan keterlibatan perempuan diharapkan proses penghentian konflik dapat berjalan dengan netral dan memberikan solusi yang adil kepada setiap kelompok yang bertikai.




BAB IV
Proses Pembahasan RUU tentang Konflik Sosial
RUU tentang Penanganan Konflik Sosial mulai dibahas di tingkat Pansus pada bulan September 2011, dimana sejak awal pembahasan baik pemerintah dan DPR RI mengemukakan pendapat mereka mengenai pembentukan RUU ini. Proses pembahasan di tingkat Pansus juga melibatkan partisipasi masyarakat, lembaga agama, sosial dan LSM untuk mendapatkan masukan terhadap RUU.
            Pembahasan selanjutnya adalah pada tingkat Panja. Pada proses di tingkat Panja, Pembahasan RUU ini juga lebih bersifat terbuka dan masyarakat dapat memantau perkembangan terakhir dari proses pembahasan. Hal tersebut terlihat dari releas yang dibuat pimpinan Panja kepada media masa, misalnya pada poin-poin pembahasan mengenai Asas didalam RUU, Penetapan Status Keadaan Konflik, Perbantuan TNI, Peran Serta Masyarakat, Penghentian Kekerasan Fisik, Tindakan Darurat Penyelamatan Korban, Kelembagaan dan Pembiayaan
            Selama proses Panja, pembahasan yang dirasa sangat krusial adalah ketika RUU ini memasukkan konsep penyelesaian konflik diluar pengadilan. Pihak pemerintah selama ini masih melihat konsep negara hukum dimana tidak pidanan kekerasan hanya dapat diselesaikan di pengadilan. Poin tersebut terdapat pada pasal 9 ayat (3) dimana hasil penyelesaian perselisihan dengan mekanisme penyelesaian secara damai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikat bagi para pihak. Pemerintah melihat ayat ini bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum yang dianut Indonesia, namun secara realitas terdapat banyak sekali kasus konflik kekerasan yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban tapi tidak dapat diselesaikan di dalam pengadilan. Panja pun melihat perjanjian damai dengan menggunakan mekanisme adat/sosial dan agama yang mengikat pihak-pihak yang berkonflik dapat menjadi sebuah alternatif solusi penyelesaian.  Dalam proses Panja tersebut baik pihak DPR RI dan Pemerintah membuka diri dalam proses pembahasan sehingga terdapat kesepahaman dalam menentukan setiap pasal-pasal nya.
Mekanisme Kluster
            Draf RUU tentang Penanganan Konflik Sosial dibuat dengan mengelompokkan pada poin-poin tema yang sama atau mengklusterkan sehingga memudahkan dalam pembahasan. Krangka pembahasan draf RUU tersebut dapat dilihat pada hasil pembahasan Panja RUU tentang Penanganan Konflik Sosial tanggal 1 Maret 2012 sebagai berikut:
Tabel 3. Kluster Pembahasan Panja RUU tentang Penanganan Konflik Sosial
Bab

Bagian
Pasal
BAB I
Ketentuan Umum

1
BAB II
Asas, Tujuan dan Ruang Lingkup

2,3,4,5, 6
BAB III
Pencegahan Konflik
Bagian Kesatu
Ketentuan Umum
7
Bagian Kedua
Memelihara Kondisi Damai
8
Bagian Ketiga
Mengembangkan Penyelesaian Perselisihan Secara Damai
9
Bagian Keempat
Meredam Potensi Konflik
10
Bagian Kelima
Mengembangkan Sistem Peringatan Dini
11, dan 12
BAB IV
Penghentian Konflik
Bagian Kesatu
Umum
13
Bagian Kedua
Penghentian Kekerasan Fisik
14
Bagian Ketiga
Penetapan Keadaan Konflik
15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30,
Bagian Keempat
Tindakan Darurat Penyelamatan dan Perlindungan Korban
31,
Bagian Kelima
Pengerahan dan Penggunaan Kekuatan TNI
32, 33, 34
BAB V
Pemulihan Pasca Konflik
Bagian Kesatu
Umum
35
Bagian Kedua
Rekonsiliasi
36
Bagian Ketiga
Rehabilitasi

37
Bagian Keempat
Rekonstruksi
38
BAB VI
Kelembagaan dan Mekanisme Penyelesaian Konflik
Bagian Kesatu
Umum
39
Bagian Kedua
Pranat Adat dan/atau Pranata Sosial
40,
Bagian Ketiga
Paragraf Satu
Umum
41
Paragraf Kedua
Tugas dan Fungsi Satuan Tugas Penyelesaian Konflik sosial
42, 43
Paragraf Tiga
Pembentukan dan Penetapan Satuan TugasPenyelesaian Konflik Sosial
44, 45
Pargraf Empat
Keanggotaan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
46,47, 48, 49, 50
BAB VII
Peran Serta Masyarakat

51
BAB VIII
Pendanaan
Bagian Kesatu
Sumber Pendanaan
52, 53
BAB IX
Ketentuan Penutup

54, 55, 56

Mekanisme pembahasan didalam Pansus dan Panja, dilakukan penyisiran per bab RUU yang terdiri dari beberapa bagian dan pasal-pasal. Pembahasan tidak akan meloncat ke pembahasan pasala-pasal lainnya sebelum permasalahan di Bab-Bab pertama selesai dibahas. Kemudian jika pun ada permasalahan yang belum atau masih harus di bahas akan dimasukkan kedalam agenda panja selanjutnya untuk dibahas pertama. Teknik pembahasan dengan menggunakan mekanisme kluster dapat mengefektifkan waktu dan pembahasan permasalahan terhadap pasal-pasal menjadi lebih fokus dan terarah.
Akuntabilitas Proses Pansus dan Panja
            Proses pembahasan RUU tentang Konflik Sosial di tingkat Pansus dan Panja menyepakati bahwa pembahasan adalah bersifat terbuka dan dapat dipantau oleh masyarakat dan pemerhati lainnya. Selain itu, akuntabilitas Panja juga terlihat dari laporan-laporan kunjungan kerja keluar negeri dan proses-proses konsinyering.
            Selama Pansus dan RUU tentang Konflik Sosial, kunjungan luar negeri diagendakan untuk mengunjungi negara-negara seperti Swedia dan India. Negara-negara ini menjadi tujuan kunjungan dikarenakan keberhasilan mereka dalam menangani konflik sosial dan menerapakan undang-undang yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Laporan Kunjungan Ke Swedia delegasi Panja mengagendakan sembilan (9) pertemuan dengan pejabat pemerintah Swedia. Hasil pertemuan tersebut[30] :
1.             Swedia memiliki tingkat heterogenitas penduduk yang cukup tinggi, terutama setelah tahun 1990an dan  memiliki potensi konflik antara kelompok minoritas suku asli dengan mayoritas, serta konflik yang disebabkan oleh agenda sosial dan politik baik pada level nasional atay negara  Swedia sendiri maupun kawasan Eropa seluruhnya.
2.             Swedia tidak memiliki undang-undang khusus mengenai penanganan konflik sosial, tetapi ada undang-undang yang terkait dengan pananganan konflik  sosial seperti Jaminan Konstitusi mengenai perlindungan terhadap HAM, Undang-Undang tentang Anti Diskriminasi, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang tentang Ketertiban Umum, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang tentang Pers.
3.             Swedia sangat menekankan upaya preventif atau pencegahan konflik. Upaya-upaya penanganan konflik pada saat terjadinya konflik dilaksanakan oleh polisi, dan sejak tahun 1931  tanpa sedikit pun campurtangan militer lagi.
4.             Perlindungan terhadap kepentingan individu dan kelompok merupakan inti dari upaya menciptakan perdamaian di Swedia.
Dalam upaya menjaga stabilitas negerinya, pemerintah Swedia memiliki empat pilar pencegahan konflik yaitu[31]:
    Pertama, kebijakan pada bidang pendidikan dan pasar kerja. 
    Kedua, memperkuat peraturan perundang-undangan di bidang anti diskriminasi berlandasakan perlindungan terrhadap HAM.
    Ketiga, kebijakan membangun rasa memiliki Swedia  (developing the sense of belonging who live in Sweden).
    Keempat, kebijakan yang secara aktif dan sungguh-sungguh  melindungi individu dari  dari tindakan kekerasan oleh kelompok lainnya, misalnya dari mayoritas kepada minoritas Swedia membangun pemikiran, bahwa tidak ada yang abadi, sebab kelompok minoritas saat ini, bisa menjadi mayoritas di masa depan, sehingga bisa saling membalas.
Hasil dari kunjungan tersebut membuahkan beberapa rekomendasi yang penting bagi pembahasan RUU tantang Konflik Sosial yaitu[32]:
Rekomendasi pertama: Swedia tidak memiliki Undang-Undang khusus mengenai penanganan konflik sosial, namun keputusan DPR membentuk Undang-Undang dapat dibenarkan dilihat dari latar belakang serta komplikasi persoalan hukum dan penegakan hukum di Indonesia serta latar belakang masyarakat Indonesia dan Swedia yang sangat berbeda (Jumlah penduduk, tingkat kepatuhan terhadap hukum, pendidikan) sehingga masih diperlukan suatu pendekatan hukum yang lebih kuat, imperatif,  dan komprehensif yang tidak saja dititipkan pada Undang-undang yang bersifat sektoral untuk mempertegas aspek penanganan konflik sosial dalam beberapa Undang-Undang sektoral yang terkait.
Rekomendasi kedua: Upaya-upaya dalam tahap  preventif perlu diperkaya atau dipertegas dengan kegiatan seperti kebijakan penjelgahan konflik di Swedia (terdapat asas-asas penting yang perlu  diperkuat dalam RUU PKS seperti asas kekeluargaan, toleransi, konsensus, perlindungan terhadap hak-hak individu  yang sesungguhnya juga mengakar dalam budaya banngsa Indonesia, kurikulum pendidikan kewarganegaraan dan perdamaian.
Rekomendasi ketiga: 1, Dalam tahap penghentian konflik mohon dipertimbangkan untuk  tidak melibatkan TNI.; 2. Perlu mempertegas prinsip desentralisasi penanganan konflik sosial dengan memperkuat peran pemerintah dan polisi daerah dalam penyelesaian konflik sosial.; 3. Perlu memperkuat nilai-nilai atau perspektif HAM dan perlindungan kepentingan individu dalam RUU PKS. Misalnya ditambahkan dalam asas-asas penangangan konflik sosial.
Proses partisipatif lainnya dalam pembahasan RUU tentang Konflik Sosial ini adalah dipraktekkannya prinsip-prinsip musyawarah diantara DPR RI dan Pemerintah. Selama proses tersebut mekanisme voting yang biasa terjadi dalam pengambilan keputusan tidak pernah dilaksanakan hal juga mencerminkan proses penyamaan pendapat tanpa harus menang dan kalah. Peran aktif juga ditunjukkan oleh Tenaga Ahli dan legal drafter pihak pemerintah dan DPR RI, dimana sebelum didakan rapat pembahasan, para staf Pansus/Panja dan Pemerintah terlebih dahulu terlibat pembahasan materi (workshop maupun rapat bersama) terkait dengan redaksional, penempatan hingga materi pasal-pasal sehingga hal ini dapat mempermudah pembahasan lanjutan yang dilakukan anggota DPR RI dan Pemerintah.
BAB V
Penutup
Sejak dimulainya Panja RUU tentang Penanganan Konflik Sosila pada tanggal 25 Januari 2012, Panja telah menyelesaikan pembahasan RUU ini dalam waktu satu bulan lebih (rapat Panja terakhir 1 Maret 2012). Cepatnya pembahasan dikarenakan rapat-rapat menggunakan sistem terbuka dan mekanisme kluster pasal-pasal. Namun pada rapat terakhir ada beberapa masalah yaitu mengenai bantuan asing jika terjadi konflik sosial. Pemerintah menjelaskan bahwa bantuan asing yang masuk ke Indonesia yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan sosial menjadi tanggung jawab Kementrian Luar Negeri dan Kementrian Dalam Negeri sebagai lembaga yang mengskrining bantuan tersebut.  Perdebatan yang ada di antara anggota Panja adalah ditakutkan adanya dana-dana asing yang masuk dengan alasan bantuan sosial terhadap korban konflik sosial dapat digunakan untuk memperkeruh konflik. Hasil rapat mengenai bantuan asing tersebut ditunda untuk dibahas pada rapat Pansus mendatang.
      Seperti yang telah diuraikan proses Panja RUU yang cepat juga di dukung oleh inisiatif DPR RI dan Pemerintah Legal Drafter kedua lembaga) dalam melakukan pembahasan pasal-pasal sebelum masuk kedalam rapat Panja. Selain itu keterbukaan pihak pemerintah dan DPR RI dalam membahas hal-hal krusial seperti memasukkan konsep penyelesaian diluar pengadilan, perbantuan TNI dan lain-lain membuat Panja menjadi lebih produktif dan progres dalam proses nya.
Tantangan dalam pelaksanaan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial
Pelaksanaan dilapangan terhadap UU tentang Penanganan Konflik Sosial  tidak lah semuda yang ada diatas kertas, untuk itu diperlukan pemahaman mendalam mengenai substansi pasal-pasal di dalam undang-undang ini oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan aparat hukum. Beberapa tantangan dalam pelaksanaan undang-undang ini dilapangan:
1.      Pihak  Pemerintah, dimana Kementrian Dalam Negeri sebagai leading sektor pelaksana UU tentang Penanganan Konflik Sosial, dan juga Pemerintah Daerah sebagai ujung tombak pelaksana aturan didalam undang-undang ini haruslah memiliki kemampuan dalam melaksanakan sosialisasi secara jelas dan mudah dimengerti oleh masyarakat luas, terutama didaerah-daerah rawan konflik.
2.      Permasalahan lainnya adalah tenggat waktu pembuatan peraturan pelaksana oleh pemerintah yang memakan waktu 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan sebagai pedoman teknis bagi pemerintah dan pemerintah daerah dalam melaksanakan aturan Undang-Undang tentang Penangan Konflik Sosial di lapangan. Kecepatan pemerintah dalam menyelesaikan aturan pelaksana menjadi penting dikarenakan kita tidak dapat memprediksi kapan dan dimana konflik sosial akan muncul. Dengan adanya aturan pelaksana, diharapkan Pemerintah, Pemerintah daerah dan penegak hukum dapat dengan segera memitigasi untuk mencegah konflik yang akan muncul dan juga dapat segera menyelesaikan konflik secara damai melalui lembaga musyawarah.
3.      Pihak aparat hukum, tokoh politik dan pemerintah daerah juga seharusnya dapat memahami secara mendalam aturan didalam RUU ini, terutama sekali mengenai konsep penyelesaian konflik sosial diluar pengadilan dengan cara musyawarah mufakat yang menggunakan lembaga adat dan/atau lembaga sosial dan agama serta melihat nilai-nilai kearifan lokal sebagai pertimbangan dalam penyelesaian konflik sosial yang terjadi di masyarakat. Selain itu, pemahaman aparat hukum, pimpinan daerah dan tokoh politik terhadap konsep penyelesaian diluar pengadilan menjadi dasar untuk memediasi penyelesaian konflik yang terjadi dimasyarakat.











Daftar Pustaka

Buku:
Isra, Prof. Dr. Saldi, dkk. Laporan Penelitian : Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi: dari berpikir Hukum tekstual ke Hukum Progresif. Padang: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia bekerjasama dengan PUSAKO Fakultas Hukum Universitas Andalas. 2010.
Masaaki, Okamoto, dan Abdul Rozaki, Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi. Yogyakarta: IRE Press,  2006.
Rahardjo, Satjipto. Penegakan Hukum Progresif.Jakarta: KOMPAS, 2010.
Widayati, Lidya Suryani, dkk.  Fungsi Hukum dalam Penyelesaian Sengketa: Penyelesaian Perkara Melalui Mediasi Penal. Jakarta: P3DI Sekretariat Jenderal DPR RI. 2011.

Jurnal/Makalah/Laporan Singkat:
Draft Rancangan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial. DPR RI, 1 Maret 2012, DPR RI, .

Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia. Lampu Merah Kebebasan Beragama. Jakarta:  The Wahid Institute. 2011.

Laporan Singkat Rapat Kerja ke-I,  RUU tentang Penanganan Konflik Sosial. PANSUS RUU tentang Penanganan Konflik Sosial, DPR RI, 14 September 2011.

Laporan Singkat RDPU RUU tentang Penanganan Konflik Sosial. PANSUS RUU tentang Penanganan Konflik Sosial, DPR RI, 21 September 2011.

Laporan Singkat Kunjungan Pansus RUU tentang Penanganan Konflik Sosial ke Swedia, PANSUS RUU tentang Penanganan Konflik Sosial, DPR RI 3-9 Desember 2011.

Naskah Akademik  Rancangan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial , Badan Legislatif, DPR RI, 18 Mei 2011.

Simarmata, Rikardo. Socio-Legal Studies dan Gerakan Pembaharuan Hukum. Digest law, Society & Development, Volume I, Desember 2006-Maret 2007.

Tadjoedin , Mohammad  Zulfan. Anatomi Kekerasan Sosial dalam Konteks Transisi : Kasus Indonesia 1990-2001. Working paper:02/01-I. Jakarta: UNSFIR, 2002.




Internet:

Tamrin A Tamagola: Menghilangkan Konflik Sama Sekali Tidak Bisa, Jakarta: www.kompas.com, 10/2/2012. Diunduh pada tanggal 1/3/2012.

Imam Taufik: Relasi Negara dan Masyarakat dalam Diskursus Konflik di Indonesia, http://www.wmc-iainws.com/detail_artikel.php?id=9 .Diunduh pada tanggal 1/3/2012

www.bnpb.go.id  diunduh pada 20 Pebruari 2012



[1] Imam Taufik: Relasi Negara dan Masyarakat dalam Diskursus Konflik di Indonesia, http://www.wmc-iainws.com/detail_artikel.php?id=9 pada
[2] Masaaki, Okamoto, dan Abdul Rozaki, Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi. Yogyakarta: IRE Press,  2006.
[3] Tadjoedin , Mohammad  Zulfan. Anatomi Kekerasan Sosial dalam Konteks Transisi : Kasus Indonesia 1990-2001. Working paper:02/01-I. Jakarta: UNSFIR, 2002.
[4] www.bnpb.go.id  diunduh pada 20 Pebruari 2012
[5] Naskah Akademik  Rancangan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial  18 Mei 2011
[6] Laporan Singkat Rapat Kerja ke-I,  RUU tentang Penanganan Konflik Sosial. PANSUS RUU tentang Penanganan Konflik Sosial, DPR RI, 14 September 2011
[7]Naskah Akademik  Rancangan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial . Op.Cit,. hal 102
[8] Tamagola, Tamrin A. Menghilangkan Konflik Sama Sekali Tidak Bisa, Jakarta: www.kompas.com, 10/2/2012. Diunduh pada tanggal 1/3/2012.
[9] Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia . Lampu Merah Kebebasan Beragama. Jakarta:  The Wahid Institute. 2011.
[10] Laporan Singkat RDPU RUU tentang Penanganan Konflik Sosial. DPR RI, 21 September 2011.
[11] Laporan Singkat Raapat Kerja ke-I,  RUU tentang Penanganan Konflik Sosial. DPR RI, PKS 14 September 2011.
[12] Naskah Akademik  Rancangan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial  op.cit., hal 75

[13] Isra, Prof. Dr. Saldi, dkk. Laporan Penelitian : Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi: dari berpikir Hukum tekstual ke Hukum Progresif. Padang: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia bekerjasama dengan PUSAKO Fakultas Hukum Universitas Andalas. 2010
[14] ibid
[15] Rahardjo, Satjipto. Penegakan Hukum Progresif.Jakarta: KOMPAS, 2010.
[16] Simarmata, Rikardo. Socio-Legal Studies dan Gerakan Pembaharuan Hukum. Digest law, Society & Development, Volume I, Desember 2006-Maret 2007.
[17] Isra, Prof. Dr. Saldi, dkk, Op. Cit., Hal. 44
[18] Isra, Prof. Dr. Saldi, dkk. Ibid., Hal. 45
[19] Widayati, Lidya Suryani, dkk.  Fungsi Hukum dalam Penyelesaian Sengketa: Penyelesaian Perkara Melalui Mediasi Penal. Jakarta: P3DI Sekretariat Jenderal DPR RI. 2011
[20] Widayati, Lidya Suryani, dkk. Ibid,. Hal. 110
[21] Widayati, Lidya Suryani, dkk. Ibid,. Hal. 114
[22] Draft Rancangan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial  tanggal 1 Maret 2012
[23] Draft Rancangan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial  tanggal 1 Maret 2012

[24] Draft Rancangan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial  tanggal 1 Maret 2012, pasal 11
[25] Ibid., Pasal 12
[26] Ibid., Pasal 32, dan 33
[27] Ibid., Pasal 34
[28] Draft Rancangan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial  tanggal 1 Maret 2012. Pasal. 46, 47 dan 48.
[29] Ibid.
[30] Laporan Singkat Kunjungan Pansus RUU tentang Penanganan Konflik Sosial 3-9 Desember 2011
[31] Laporan Singkat Kunjungan Pansus RUU tentang Penanganan Konflik Sosial 3-9 Desember 2011
[32] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar