Oleh: Satria Kusuma Diyuda
Pendahuluan
Pajak merupakan sebuah
instrumen penting dalam penganggaran negara,
karena pajak merupakan pos pendapatan yang utama dari pemasukan negara. Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara pasal 11, ayat (3) “Pendapatan negara terdiri atas Pajak,
penerimaan bukan pajak, dan hibah”. Dan merupakan hak negara untuk menarik
pajak seperti yang tercantum dalam pasal 2 huruf a, menjelaskan bahwa “Hak negara untuk memungut pajak,
mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman”. Pentingnya pos
pajak dapat terlihat dari persentase penerimaan pajak terhadap pos pendapatan
lainnya, seperti yang terdapat dalam Undang-undang nomor 47 Tahun 2009 tentang
APBN 2010, menetapkan bahwa penerimaan pajak untuk anggaran pendapatan dan
belanja negara adalah sebesar Rp. 742,7 triliun, atau 78% dari total pendapatan
negara yang berasal Pajak, pendapatan bukan pajak dan hibah. Sedangkan di tahun
2011 di pemerintah menetapkan pendapatan pajak dengan persentase 77% dari total
pendapatan negara tahun 2011.
Karena itu, sebuah negara
dapat berjalan dengan baik jika pemegang mandat negara yaitu lembaga eksekutif,
Legislatif dan yudikatif dapat bekerja dengan baik dengan dukungan dari
rakyat-nya dengan kesadaran membayar pajak, selain dukungan politis tentunya.
Tabel I, Penerimaan
Pemerintah 2000-2011
(dalam milliar
rupiah)
Tahun
|
Pajak
|
Bukan Pajak
|
2000
|
115.913
|
89.422
|
2005
|
347.031
|
146.888
|
2006
|
409.203
|
226.950
|
2007
|
440.989
|
215.120
|
2008
|
658.701
|
320.605
|
2009
|
652.122
|
219.518
|
2010
|
729.165
|
180.889
|
2011
|
850.226
|
254.646
|
Besarnya peran pajak dalam
kehidupan bernegara, mau tidak mau harus disertai dengan pengelolaan pajak yang
bersih dan transparan. Walaupun pemerintah sebagai pemilik hak anggaran dan bertugas
untuk mengumpulkan pajak dari rakyat, namun pemerintah juga memiliki kewajiban
untuk menjelaskan mengenai proses pengumpulan dan penggunaan pajak tersebut
secara transparan dan akutabel kepada rakyatnya.
Transparansi dan Akuntabilitas Penerimaan Pajak
Sebuah fakta yang unik dari
sistem perpajakan di Indonesia adalah bahwa BPK sebagai sebuah lembaga negara
yang bertanggung jawab terhadap audit negara pada kenyataannya tidak dapat
melakukan pemeriksaan pajak tanpa adanya ijin dari Menteri Keuangan, hal
tersebut dijelaskan dalam UU No. 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas UU
No. 6 Tahun 1983 dan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga UU No. 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pada kenyataannya
hampir tidak pernah ada ijin dari Menteri Keuangan kepada BPK untuk melakukan
Audit terhadap Ditjen Pajak. Sulitnya BPK untuk mendapatkan ijin dalam
mengaudit Ditjen Pajak menimbulkan sebuah keraguan akan kejujuran pengelolaan
pajak di negara ini. Keraguan tersebut diperparah lagi dengan kenyataan
buruknya sistem administrasi, data base, dan tidak adanya publikasi data
statistik mengenai perpajakan nasional yang dapat dilihat oleh masyarakat.
Kenyataan lain yang
memperlihatkan betapa tidak tersentuhnya Direktorat Pajak adalah adanya fungsi
Legislatif, Executif dan Yudikatif dalam satu lembaga, dimana Dirjen Pajak
dapat mengeluarkan peraturan tersendiri mengenai peraturan pajak (fungsi
legislatif), Dirjen Pajak juga memiliki wewenang terhadap penyelesaian
kasus-kasus sengketa pajak pada pengadilan pajak yang berada di bawah Dirjen
Pajak (fungsi yudikatif). Betapa besarnya kewenangan Dirjen Pajak membuat
banyaknya timbul kasus fraud maupun moral hazard dalam sistem
perpajakan Indonesia. Seperti kata sebuah pepatah kekuasaan cendrung untuk
korup, dan hal tersebutlah yang selama ini terjadi di Dirjen Pajak, dimana
banyak sekali kasus-kasus yang melibatkan wajib pajak maupun aparat pajak
(fiskus) sendiri dalam membocorkan penerimaan negara.
Fungsi kewenangan yang sangat
besar inilah yang sering kali membuat pegawai di Dirjen Pajak sering melakukan
tindakan penggelapan pajak atau bertindak untuk memenangkan perkara wajib pajak
dengan memenangkan para WP di pengadilan pajak. Contoh yang sangat krusial
adalah kasus yang terjadi pada Gayus Tambunan, diamana dia sebagai pegawai
pajak yang seharusnya mendapatkan bukti-bukti untuk memaksa para WP membayar
pajak, namun disisi lain diduga malah melakukan negosiasi sebaliknya yaitu membantu
kepentingan para WP dengan menegosiasikan keringan kasus pajak bahkan
meloloskan WP dari tuntutan kewajiban membayar pajak. Selain itu juga yang
tidak kalah pentingnya adalah peran para konsultan pajak, dimana saat ini 70%
konsultan pajak merupakan pensiunan pegawai pajak yang tidak pernah diawasi
maupun direview pekerjaannya (Nasution, Anwar: 2006). Akibatnya para konsultan
pajak ini membantu WP untuk menghitung secara pribadi pajak mereka dan
melakukan negosiasikan pembayaran pajak WP seringan mungkin. Pengawasan
konsultan pajak dengan cara melakukan verifikasi dengan ketat haruslah segera
dilakukan sebagai salah satu jalan untuk mengurangi fraud dan penghindar
kewajiban membayar pajak.
Kurangnya data mengenai wajib
pajak dan tidak data mengenai administrasi yang akurat mengenai pendapatan dan
kekayaan penduduk yang merupakan potensi dari penerimaan pajak, membuat
timbulnya distorsi sistem pemungutan pajak. Selain setiap orang dengan level
kekayaan dan pendapatan yang berbeda pun masih dapat membayar pajak dengan
nilai yang sama besar dikarenakan kekurang akuratan data yang ada. Sehingga
para wajib pajak secara sukarela menghitung sendiri tarif pajak yang akan
dibayarnya. Pola perhitungan secara sukarela ini, menjadi pintu terjadinya
penggelapan pajak. Tanpa adanya audit terhadap penerimaan pajak, pengumpulan
data kependudukan yang akurat terhadap pendapatan dan tingkat kekayaan penduduk
disertai penegakan hukum, mustahil penggelapan pajak dapat berhenti.
Kebocoran penerimaan pajak
Tahun 2009, Indonesia
menempati peringkat 111 dalam penilaian Corruption
Perception Index, dengan skor sebesar 2,8 memperlihatkan bahwa tingkat
korupsi di Indonesia termasuk terbesar di kawasan Asia. Dibandingkan dengan
Singapura (skor 9,2), Brunei Darusalam (skor 5,5), Malaysia (skro 4,5) dan Thailand (3,3),
Indonesia memperlihatkan hal yang memperihatinkan. Sebagai salah satu negara
besar dalam hal teritorial dan keberagaman ternyata tidak memberikan kebanggaan
yang sama besarnya terhadap cara-cara pengelolaan negara terutama sekali dalam
hal pengelolaan perpajakan di Indonesia.
Rasio pajak Indonesia
terhadap PDB nya ternyata masih kecil debandingkan negara-negara besar di
kawasan Asean dan Asia. Rasio pajak Indonesia selalu berada antara 13,5% hingga
14% dari PDB. Target 14% tersebut pun dikarenakan adanya desakan legislatif
untuk menaikkan rasio pajak. Kecilnya rasio pajak bukan dikarena sedikitnya
penduduk yang dapat menjadi potensi pembayar pajak, namun yang terjadi adalah
besarnya kebocoran dalam proses pemungutan pajak. Jika dibandingkan dengan
jumlah PDB Indonesia yang terus meningkat beberapa tahun belakangan, sangat
mengherankan jika nilai dari rasio pajak tidak terjadi peningkatan.
Estimasi yang diungkapkan
oleh Revrisond Baswir kepada Investor Daily Indonesia pada terbitan 4 Pebruari
2005, dimana ia mengatakan bahwa terjadi
sekitar 75% kebocoran pajak setiap tahunnya. Kebocoran tersebut terjadi ketika
proses pengumpulan pajak yaitu sebanyak 25% pajak hilang, 25% lagi ketika pajak
tersebut telah disetorkan kepada pemerintah dan sisa 25% lagi hilang dalam
proses pembiayaan APBN yang tidak jelas pertanggung jawabannya. Sedangkan menurut
mantan Direktur Jenderal Pajak Fuad Bawashir, kemungkinan kebocoran pajak di
Indonesia paling sedikit mencapai 50% dari jumlah total pajak yang seharusnya
dipungut oleh pemerintah. Hal ini dikemukakannya dalam acara Economic Challanges. Alasan mantan
Direktur Jenderal Pajak mengantakan demikian adalah dengan membandingkan kasus
kebocoran pajak di Amerika Serikat, dimana pemerintah Amerika yang memiliki
sistem administrasi yang sangat baik saja masih mengalami kebocoran sebesar 15%
tiap tahunnya. Jika jumlah kebocoran dari penerimaan pajak demikian besarnya,
maka rakyat akan sangat dirugikan. Dikarenakan kebocoran dari penerimaan pajak
ini, menyebabkan pemerintah dalam membiayai operasional negara melakukan
penambahan utang untuk membiayai anggaran belanjanya. Sehingga terjadi suatu
disinsentif tiga kali yang rasakan oleh rakyat banyak yaitu adanya kesejahteraan
rakyat yang hilang akibat pembayaran pajak, kedua rakyat dirugikan karena
hilangnya kesempatan (oppurtunity) untuk
dapat menikmati pembangunan yang
seharusnya di biayai oleh pajak mereka yang hilang, dan ketiga ditahun-tahun
kedepan masyarakat akan menanggung biaya kesempatan (oppurtunity cost) akibat hilangnya pajak tersebut dikarenakan pajak
yang mereka bayar di tahun mendatang harus dibayar untuk hutang dan bunga
sebagai pembiayaan defisit APBN yang seharusnya tidak terjadi. Sehingga jika
ditelaah lebih dalam, kebocoran pajak baik sengaja maupun tidak menyebabkan
sebuah disinsentif yang sangat besar bagi rakyat dalam hal pengurangan
kesejahteraan dan meningkatnya hutang rakyat yang seharusnya tidak mereka
tanggung.
Kebocoran pajak juga terjadi
karena lemahnya sistem pendataan dan kurangnya kemampuan aparat pajak (fiskus)
dalam memetakan dan menegosiasikan pembayaran pajak oleh wajib pajak. Artinya
dikarenakan alasan tidak adanya bukti pendapatan yang jelas dari para wajib
pajak, aparat pajak (fiskus) tidak dapat membuktikan nilai pajak pribadi maupun
perusahaan secara riil. Dan jika terjadi sengketa pajak, aparat kurang memiliki
kemampuan negosiasi yang memaksa para wajib pajak untuk membayarkan pajaknya
dan malahan negosiasi yang terjadi adalah bagaimana aparat pajak (fiskus) dapat
membantu wajib pajak untuk membayar lebih ringan dari yang seharusnya. Berdasarkan
data yang di ungkapkan dalam tulisan Agung Budilaksono, dengan judul “Paradigma
Tarif Pajak dan Basis Pajak dalam Pandangan Penerimaan Negara”, menyatakan
adanya pajak yang hilang karena aparat pajak (fiskus) tidak mampu untuk
mengakses sektor-sektor seperti perbankkan. Data tersebut mengungkapkan
perkiraan pendapatan negara yang hilang sebesar Rp. 674 triliun di sektor
perbankkan. Tabel II memperlihatkan potensial hilangnya pendapatan negara dari
sektor perbankkan.
Tabel II, Potensi
pajak yang hilang akibat keterbatasan akses perbankkan tahun 2005
(Rp. Triliun)
Sektor
|
Penghasilan
|
Potensial Loss
|
Deposito
|
840
|
250
|
lalulintas Devisa
|
810
|
243
|
Kredit Macet
|
600
|
180
|
Kartu Kredit
|
14
|
1,5
|
Total
|
2.264
|
674,5
|
Sumber: Ditjen Pajak,
Kementria Keuangan 2005 dalam Agung Budilaksono (2011)
Besarnya nilai potensial loss
pajak di tahun 2005 ini dikarenakan keterbatasan akses pegawai pajak dalam
menghimpun data-data perbankkan khususnya dana deposito, transaksi lalulintas
devisa, data kredit macet dan data-data kartu kredit yang di akibatkan oleh
peraturan yang tidak mencukupi. Untuk
itu dalam waktu dekat, diperlukan sekali koordinasi antara lembaga-lembaga
negara seperti PPATK, BI dan Kemenkeu untuk dapat membagi data potensi pajak di
sektor perbankkan. Selain itu program sigle
identity untuk penduduk Indonesia harus segera berjalan demi kebutuhan
administrasi negara agar tidak ada bias informasi dan hilangnya potensi pajak
yang diterima negara.
Selain itu beberapa kasus
pajak yang melibatkan perusahaan-perusahaan besar seperti kasus pajak Asian Agri
menunjukkan bahwa Dirjen Pajak tidak memiliki data pasti mengenai jumlah wajib
pajak dan nilai pajak mereka dengan pasti. Pada kasus penggelapan pajak Asian
Agri, terungkap bukan karena adanya data akurat mengenai nilai pajak Asian Agri
melainkan oleh staf keuangan Asian Agri sendiri yaitu Vincentius Amin Sutanto
yang mengaku telah membantu melakukan penggelapan pajak perusahaan tersebut. Ada
dugaan penggelapan pajak yang dilakukan oleh Asian Agri merugikan negara
sebesar Rp. 1,4 triliun.
Restitusi pajak fiktif sebagai celah bertambahnya kerugian negara
Pada panja pajak di Komisi
XI, yang dilaksanakan 18 Mei hingga 19 Mei 2010, dimana rapat tersebut
mengundang PT Permata Hijau Sawit dan Kanwil Pajak Sumatera Utara I, untuk
membahas kasus sengketa restitusi pajak. Kasus ini pertama kali di ungkap oleh
Menteri Keuangan kala itu, Sri Mulyani, dimana kasus ini di tengarai sebagai
restitusi fiktif. Tuntutan restitusi PT PHS, mengaku adanya kelebihan bayar
sebanyak Rp. 530 milliar. Berdasarkan prosedur, jika terjadi kelebihan bayar,
maka kantor pajak akan melakukan pengecekan kembali terhadap WP. Dari
pengecekan ulang di ketahui bahwa ternyata dalam kasus ini di temukan bukti
bahwa faktur pajak yang diterbitkan oleh suplier PT PHS, yaitu PT Putri Windu
Semesta diketahui bahwa PT Putri Windu Semesta tidak pernah dibayarkan ke kas
negara, artinya tidak ada kelebihan bayar pajak seperti yang di tuduh PT PHS. Selain itu dari pengecekan lapangan yang
dilakukan oleh pegawai pajak Kanwil I Sumatera Utara, ternyata ada beberapa
suplier PT PHS yang dicurigai juga fiktif. Sehingga jika PT PHS menggunakan
faktur pembayaran Dari kasus ini di
perkirakan negara dirugikan sebesar Rp.300 milliar. Selain itu ada beberapa
kasus serupa yang selama ini sering terjadi, seperti restitusui fiktif oleh PT
Wilmar pada tahun 2007 yang merugikan negara sebesar Rp. 800 milliar dan tahun
2009 sebesar Rp. 900 milliar yang hingga saat ini masih dalam proses
persidangan (http:// dprku.com).
Restitusi pajak juga menjadi
salah satu celah yang rawan bagi bertambahnya kerugian negara, selain karena
ada negosiasi ulang tentang pembayaran pajak antara WP dan aparat pajak
(fiskus). Selain itu hal ini juga dikarenakan adanya undang-undang KUP mengatur secara jelas, dalam peraturan teknis
atau pelaksanaaan di lapangan, lewat peraturan direktur jenderal (perdirjen),
sering diselewengkan. Karena perubahan peraturan Dirjen Pajak tersebut,
kemungkinan terjadinya penyelewengan juga besar oleh aparatur pajak sendiri. Akibatnya
ditahun 2010 saja, pemerintah harus mengembalikan kepada wajib pajak sebesar Rp.
40 triliun. Besarnya pengembalian ini menyebabkan pemerintah tidak dapat
mencapai target penerimaan pajak dan memperbesar defisit anggaran negara yang
pada akhirnya dibiayai oleh hutang. Kasus restitusi pajak juga merupakan bukti
bahwa perlunya ada pemisahan wewenang Eksekutif, dan Yudikatif dari Dirjen
Pajak disertai dengan pengetatan pengawasan terhadap Dirjen Pajak dan adanya
perubahan sistem perhitungan pajak yang seharusnya tidak dihitung sendiri oleh
wajib pajak.
Rekomendasi
Pembenahan sektor pajak merupakan sebuah
kebutuhan mendesak, pajak merupakan energi dari sebuah pengelolaan negara yang
kuat. Dengan pajak pemerintah dapat memberikan insentif untuk peningkatan
kesejahteraan rakyatnya, pajak juga sekaligus sebagai sebuah stimulus untuk
memeratakan perekonomian suatu negara. Untuk itu kebutuhan akan pembenahan
sektor perpajakan haruslah segera dapat terlaksana dengan cepat.
Melihat pola perpajakan di Indonesia dengan
konsep “withholding tax” dimana wajib
pajak ikut serta dalam perhitungan pajak, membuat sistem perpajakan di
Indonesia menjadi cukup rumit. Di beberapa negara maju pola withholding tax
hanya diperuntukkan pada pendapatan tetap dan pendapatan yang bersifat pasif,
namun di Indonesia yang terjadi adalah setiap jenis pendapatan dikenakan pajak
dengan pola withholding, sehingga menimbulkan sebuha kerumitan perhitungan
sekaligus menyediakan sebuah ruang untuk para oknum baik wajib pajak maupun aparat
pajak (fiskus) untuk melakukan fraud. Penyederhanan perhitungan dan pembayaran
pajak diperlukan sebagai pembenahan perpajakan nasional. Pendapatan pajak dari
usaha sebaiknya dilakukan dengan pendekatan pembayaran pajak langsung sedangkan
pendapatan pajak yang berasal dari pendapatan tetap seperti gaji, bunga, dan
pendapatan lain yang bersifat pasif dapat dikenakan withholding tax.
Selain perubahan pendekatan perhitungan
pembayaran pajak, yang tidak kalah penting adalah pendataan mengenai pendapatan
dan besarnya kekayaan pribadi masyarakat Indonesia melalui proyek single
identity. Hal ini bertujuan untuk memetakan besarnya potensi pajak masyarakat
dan mengurangi timbulnya kebocoran pajak.
Terakhir adalah kebutuhan untuk peningkatan
kinerja Dirjen pajak, dengan memisahkan wewenang pengadilan pajak dari Dirjen
Pajak disertai dengan penguatan pengawasan terhadap perpajakan nasional. Tentu
saja ini melibatkan berbagai macam lembaga negara seperti BPK, KPK, maupun
PPATK, sehingga terbangun sebuah sistem perpajakan yang transparan dan
akuntabel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar