Pendahuluan
Tujuan
dari subsidi BBM pada awalnya adalah
untuk mengurangi biaya distribusi barang akibat masih lambatnya pembangunan
infrastruktur jalan ketika orde baru berkuasa. Namun ketika kenaikan
pertumbuhan ekonomi dan bertambahnya jumlah penduduk kaya, tingginya subsidi
BBM menjadi pendorong kelompok kaya untuk memiliki lebih banyak kendaraan
bermotor. Sehingga pada saat ini terjadi kesalahan alokasi karena penikmat
subsidi ternyata lebih banyak dari kalangan kelas menengah. Disisi lain mulai
berkurangnya cadangan minyak bumi Indonesia serta fluktuasi harga
internasional, menyebabkan subsidi bbm menjadi beban bagi anggaran negara. Setelah
jatuhnya orde baru, pengurangan subsidi BBM menjadi isu yang selalu menjadi
alat politik bagi oposisi untuk menyerang pemerintahan. Atau menjadi alat untuk
menaikkan rating pemerintah di mata masyarakat jika pemerintah mengambil
kebijakan untuk menambah subsidi.
Permasalahan
yang dihadapi oleh pemerintahan baru Jokowi kedepan adalah besarnya defisit kas
negara di tahun 2014 akibat konsumsi BBM bersubsidi oleh masyarakat. Hal ini
juga akibat besarnya populasi penggunaan kendaraan bermotor di kota-kota besar
di Indonesia. Selain itu defisit kas negara juga disebabkan lambatnya realisasi
penerimaan pajak, sehingga memaksa pemerintah pada kuartal k-3 dan ke-4 2014
mencoba untuk memangkas pengeluaran belanja.
Defisit
Anggaran Negara
RAPBN
tahun 2015 ini secara substansial tidak banyak berbeda dari APBN tahun-tahun
sebelumnya. Pertama Defisit Anggaran yang selalu ditutup dengan utang dan akan
menambah beban pembayaran cicilan dan bunga utang yang rata-rata menyedot lebih
kurang 24% anggaran setiap tahun. Pertumbuhan ekonomi hanya bisa terjadi
apabila posisi anggaran adalah berimbang ( balanced budget, Lindauer,
1971:171). Dengan posisi alokasi anggaran yang banyak tersedot pada pengeluaran
rutin, tidak pada alokasi anggaran pembangunan (modal), maka dapat disimpulkan
bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia adalah sebagian ditopang
dari utang. Pada RAPBN 2015, pemerintahan SBY kenaikan belanja pemerintah
sebesar Rp. 2.000 trilliun dimana pendapatan negara berasal dari pajak adalah
sebesar Rp. 1.370 trilliun, pendapatan non pajak sebesar Rp. 388 trillin dan
pendapatan hibah sebesar Rp. 3 trilliun. Dengan jumlah pendapatan dalam negeri
dan hibah sebesar Rp. 1.762 trilliun maka terdapat defisit belanja negara
sebesar Rp. 257 trilliun atau 2,3% dari total PDB. Pemerintahan SBY memasukkan
anggaran defisit belanja negara akan ditutup melalui pembiayaan dalam negeri
dan luar negeri dengan hutang luar negeri sebesar Rp. 47 trilliun.
Beberapa
pengamat ekonomi melihat walaupun RAPBN 2015 merupakan baseline (hanya berupa
rencana yang digunakan untuk membiayai keperluan dasar pemerintahan), namun
dengan postur defisit yang cukup besar dan adanya aturan undang-undang yang
mematok pengeluaran negara, pemerintahan baru hanya memiliki keleluasaan
penggunaan anggaran belanja yang kecil untuk menjalankan program kerja mereka.
Menurut Faisal basri persentase konsumsi dari PDB sudah kecil, konsumsi
pemerintah hanya 9% dari PDB, 1/3 anggaran merupakan transfer daerah, 20% untuk
alokasi pendidikan, 5% utuk alokasi kesehatan, 1,5% dari PDB untuk pertahanan,
utang dan gaji. Sehingga sisa yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk pembangunan
hanya 15% dan akan semakin berkurang jika harga bbm naik, sehingga ini
mengurangi peran pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya.
Kebijakan
Pengurangan Subsidi Pemerintahan Baru
Tidak
ada cara lain bagi pemerintahan hasil pemilu 2014 untuk mengurangi subsidi BBM
dan membangun sistem subsidi langsung yang berfokus kepada penduduk miskin.
Menurut Faisal Basri, pemerintahan saat ini juga harus bertanggung jawab untuk
mengurangi subsidi sebelum pemerintahan baru berjalan. Jika kebijakan
pengurangan subsidi ini dibebankan kepada pemerintahan JKW-JK maka akan membuat
program-program pemerintahan mendatang tidak akan efektif dijalankan. Selain
itu pengurangan subsidi menjadi tanggung jawab pemerintahan SBY karena dimasa
lalu SBY telah melakukan kebijakan yang salah yaitu menambah subsidi BBM ketika
memenangkan pemilu 2009, sehingga dampak buruknya dirasakan saat ini. Faisal
Basri juga menyarankan pemerintahan saat ini dan akan datang harus membuat
kebijakan pengurangan subsidi dalam dua bertahap dengan pengurangan kisaran
harga subsidi BBM sebesar Rp. 1500 dan pada bulan Februari sebesar Rp. 1.000. Dengan
pengurangan subsidi secara bertahap ada kemungkinan inflasi akan naik sebesar
8%, hanya bersifat setahun namun efek jangka panjangnya beban anggaran pemerintah
tidak terbebani oleh subsidi dan dapat memiliki ruang fiskal untuk membangun
infrastruktur dan meningkatkan perekonomian kedepan dengan stimulus fiskal
kedalam perekonomian. Dengan menerapkan kebijakan pengurangan subsidi
setidaknya ada dua tujuan yang akan tercapai yaitu pertama, kebijakan ini harus
dapat menata industri energi dan menghilangkan mafia minyak yang selama ini
mengambil keuntungan dari subsidi. Kedua, dengan kebijakan pengurangan subsidi
pemerintah juga harus berupaya untuk mendorong secepat mungkin pembangunan
kilang minyak yang selama 30 tahun terbengkalai agar Indonesia tidak selalu
bergant ung kepada luar negeri.
Menteri
Keuangan Chatib Basri setuju jika pemerintahan mendatang mengabil kebijakan
untuk mengurangi subsidi BBM, namun alasan opsi pengurangan subsidi bbm tidak
di bahas dalam APBN 2015 karena Kementrian Keuangan beralasan kebijakan ini
harus diputuskan oleh pemerintahan mendatang, dan untuk itu RAPBN 2015 hanya
membahas anggaran untuk kegiatan pemerintah, sedangkan kebijakan substansial
lainnya menunggu pemerintahan baru.
Hal
yang sama juga disampaikan oleh KADIN yang mengusulkan pemerintahan baru untuk
dapat mengurangi subsidi bbm karena memang dinilai akan menghambat pembangunan
infrastruktur dan membuat biaya ekonomi semakin tinggi. Alokasi anggaran
subsidi saat ini bisa di tujukan untuk subsidi langsung untuk masyarakat miskin
yang selama ini benar-benar tidak pernah merasakan manfaat dari subsidi BBM
yang dijalankan pemerintah.
Strategi
JKW-JK menghadapi RAPBN 2015
JKW-JK
melihat postur RAPBN 2015 yang diajukan oleh pemerintahan SBY tidak sejalan
dengan kebijakan mereka sebagai pemenang pemilu 2015. Hal ini dikarenakan
terbatasnya anggaran yang tersedia yang dapat digunakan untuk menjalankan
program-program pemerintahan baru. Untuk itu JKW mencoba untuk membuka
komunikasi dengan pemerintahan SBY yang masih memiliki hak untuk mengajukan
APBN 2015. Peluang JKW-JK untuk merubah RAPBN 2015 adalah pada bulan september
sampai November 2014 dan pada RAPBNP 2015 pada pembahasan April 2015 mendatang
di Parlemen. Selain itu pula pemerintahan baru akan menghadapi masalah dengan
penggunaan anggaran tahun 2014 yang sedang berjalan akibat defisit yang besar
dan melambatnya penerimaan negara dari pajak hingga akhir tahun nanti.
Komunikasi JKW dan SBY untuk membahas anggaran 2014 dan RAPBN 2015 kemarin
telah dilangsungkngan di Bali dimana JKW mencoba mendesak SBY untuk memberikan
ruang fiskal yang lebar pada pemerintahan baru dengan mengurangi subsidi BBM.
JKW mendesak SBY untuk mengambil kebijakan pengurangan subsidi sebelum
pemerintahan baru berjalan pada oktober 2014.
Namun
setelah pertemuan SBY-JKW di Bali, sepertinya tidak ada kesepakan untuk mengurangi
subsidi BBM sebelum pergantian pemerintahan, sehingga kebijakan pengurangan
subsidi akan ditanggung oleh pemerintahan JKW kedepan. Ada kemungkinan
pemerintahan JKW akan menghadapi kekurangan anggaran pengeluaran dari oktober
2014 hingga April 2015 karena kemungkinan terjadi lonjakan defisit pengeluaran
akibat beban konsumsi BBM. Selain itu jika SBY tidak mengambil kebijakan
pengurangan subsidi pada bulan Spetember ini, maka pemerintahan JKW-JK akan
berjalan tidak efektif pada akhir 2014.
Tantangan
lain yang dihadapi oleh pemerintahan baru adalah, penolakan dari koalisi
oposisi yang di pimpin oleh Gerindra terkait pembahasan RAPBN 2015 di Parlemen.
Jika dilihat kekuatan koalisi oposisi saat ini maka kekuatan partai pendukung
Jokowi di parlemen terdiri dari PDI-P, PKB, NASDEM, PKPI dan Hanura yang
memiliki jumlah kursi 207, atau sebesar 37%. Sedangkan koalisi oposisi yang
terdiri dari Gerindra, PAN, PPP, Demokrat, PKS, dan Golkar memiliki jumlah
kursi mayoritas sebanyak 353 kursi atau 63% dari total kursi. Keadaan ini akan
menyulitkan bagi pemerintah untuk meloloskan kebijakan Jokowi-Jk pada RAPBN
2015. Satu-satunya kesempatan bagi pemerintahan JKW-JK untuk dapat merubah
kebijakan anggaran mereka di parlemen adalah dengan mencoba menarik anggota
koalisi Merah Putih untuk bergabung dengan pemerintahan JKW-JK. Namun strategi
ini juga mendapat hadangan kuat dari para anggota koalisi JKW-JK maupun dari
para relawan pendukung JKW-JK. Anggota partai koalisi JKW-JK terlihat enggan
untuk menambah jumlah anggota koalisi dikarenakan mereka selama ini adalah
pihak yang bekerja keras memenangkan JKW-JK untuk menjadi presiden sehingga
seharusnya mereka adalah pihak yang berhak untuk menempati posisi penting
dipemerintahan.
Janji JKW-JK untuk tidak menjalankan politik
bagi kursi menteri kepada partai-partai juga menjadi isu utama yang dipegang
oleh para relawan dan rakyat yang selama ini berharap pemerintahan JKW-JK
berjalan bersih dan bebas dari kepentingan partai. Kedua permasalahan inilah
yang menjadi kendala bagi pemerintahan JKW-JK kedapan untuk dapat merubah APBN
2015 dan menjalankan semua program yang telah direncanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar