NB: Tulisan ini dibuat pada tanggal 9 April 2014, namun baru dapat dipublikasi pada 24/11/2014
Pemilu 2014 merupakan pemilu yang menentukan bagi masa
depan Indonesia untuk lima atau mungkin 10 tahun mendatang. Selain itu pemilu
kali ini juga merupakan pemilu yang menentukan regenerasi kepemimpinan muda.
Walaupun pada sisi legislatif hampir 90% Caleg merupakan anggota DPR RI lama
namun untuk calon Presiden Indonesia memiliki banyak calon muda yang siap
menuju RI 1.
Bagi partai-partai penguasa, pemilu kali ini merupakan
pertempuran untuk mempertahankan kebijakan dan kekuasaan mereka yang 10 tahun
sudah berjalan. Sedangkan bagi partai-partai oposisi dan baru, kesempatan 5
tahun ini menjadi momentum untuk mengambil posisi sebagai pengambil kebijakan
Indonesia kedepan. Namun pertarungan pemilu bukanlan pertarungan yang mudah,
bagi partai-partai oposisi, pemilu 2014 seperti sebuah hari besar keagamaan,
selama 10 tahun berpuasa akan kuasa dan bekerja menarik simpati, menelurkan ide
kebijakan dan sebagainya, saat ini menjadi saat pembuktian apakah sikap dan
strategi mereka selama 10 tahun bekerja diluar pemerintahan diterima oleh
masyarakat atau tidak.
Namun begitu dalam sejarahnya selama era reformasi
pola kekuasaan eksekutif maupun legislatif di Indonesia bukan merupakan suatu
kekuasaan yang kaku dimana selalu ada partai mayoritas pemenang yang menguasai
eksekutif maupun legislatif, bentuk politik Indonesia merupakan proses politik
negosiasi dan kompromi. Untuk itu hasil pemilu menjadi alat untuk menentukan
strategi bagi partai-partai apakah bergabung di pemerintahan dan koalisi di
parlemen atau mencoba bertahan sebagai oposisi. Pentingnya perolehan suara pada
pemilu legislatif dapat menjadi pertimbangan oleh partai-partai dalam
menentukan strategi mereka kedepan. Strategi tersebut dapat termasuk menentukan
Calon Presiden, Wakil Presiden ataupun posisi menteri-menteri jika bergabung dalam
kabinet koalisi nanti.
Pada pemilu 2004, Golkar menjadi partai yang memiliki
perolehan suara tersbesar disusul oleh PDI Perjuangan dan PKB. Posisi perolehan
suara pemilu legislatif ini kemudian dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh partai untuk
membnetuk sebuah koalisi untuk dapat memajukan calon presiden mereka. pada
pemilu 2004 hanya ada lima partai peserta pemilu yang dapat memajukan calon
mereka sebagai Kandidat Capres yaitu seperti PDIP, Golkar, Demokrat, PAN, dan PPP. Pada putaran pertama pemilu Presiden terdapat beberapa
gabungan partai yang mendukung beberapa calon presiden.
Persentase 10 Partai Pemenang Pemilu
Tahun 2004
Perolehan Kursi Parlemen 2004
Koalisi Partai dalam Pemilu Presiden 2004
Pada putaran kedua Pilpres, terdapat dua calon
presiden yang dapat mengikuti pemilihan selanjutnya, yaitu Megawati-HNW dan
SBY-JK. Dari hasil tersebut kemudian terbentuk kembali formasi koalisi
partai-partai pendukung yaitu:
Koalisi Partai dalam Pemilu 2004 Putaran II
Setelah
pemilu presiden DPR kemudian terbagi menjadi 3 faksi yang terdiri dari koalisi
kerakyatan terdiri dari partai-partai pendukung pemerintahan, sedangkan pada
sisi oposisi terdapat koalisi kebangsaan yang mendukung Megawati-Hasyim,
sedangkan PKB dan PAN mengambil sikap netral. Sekali lagi pola relasi politik
di Indonesia lebih didasarkan negosiasi hingga pada akhirnya koalisi oposisi
yang di bangun oleh PDIP kemudian runtuh.
Pasca Koalisi Kebangsaan setelah pemilu 2004
Pada Pemilu 2009
Pada pemilu 2009 pun, proses politik negosiasi dan
kompromi menjadi warna dalam penentuan koalisi. Pada awal pemilu Presiden
Golkar berkoalisi bersama Hanura medorong JK-Wiranto namun setelah SBY-Boediono
keluar sebagai pemenang Golkar tetap dapat dengan mudah masuk kedalam koalisi
pemerintahan yang dipimpin oleh SBY. Hal ini juga merupakan strategi dari
Partai Demokrat untuk menguasai parlemen dan mengurangi risiko penolakan dari
parlemen terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah seperti yang terjadi di priode
2004. Namun pada akhirnya priode 2009-2014 menjadi priode yang menggantung bagi
pemerintahan dimana banyak kasus-kasus korupsi seperti Century, Hambalang, dan
lainnya tidak pernah menjadi pintu untuk mengimpeach presiden namun hanya
menjadi alat negosiasi partai-partai didalam koalisi untuk mendapatkan
keuntungan satu sama lain.
Perolehan suaran dan
Kursi Pemilu 2009
HASIL PERHITUNGAN LSI
Dari data tersebut PDIP menjadi pemenang pemilu
legislatif namun masih sangat membutuhkan koalisi dengan partai lain untuk
mendukung pencalonan Jokowi sebagai calon presiden dan juga kemungkinan koalisi
di DPR RI dan Pemerintahan. Pada kenyataannya PDIP belum dapat memperoleh suara
mayoritas untuk dapat menjadi penentu di pemerintahan dan legislatif.
Dari posisi perolehan suara, kemungkinan ada dua
sekenario yang memungkinkan partai-partai membentuk koalisi untuk maju dalam
pemilu presiden nanti, yaitu jika partai-partai Islam memiliki keinginan untuk
membentuk kembali poros tengah untuk mengimbangi kutub calon presiden yang
menguat antara Jokowi, ARB dan Prabowo. Namun begitu dikarenakan minimnya
tokoh-tokoh pemersatu, kemungkinan terbentuknya poros tengah sangat kecil.
Berdasarkan hasil Quick Count dan figur calon presiden, terdapat dua tokoh yang
sangat dominan dalam pertarungan pilpres nanti. Tokoh-tokoh tersebut adalah
Joko Widodo dan Prabowo. Sedangkan figur-figur lain kemungkinan akan tenggelam
dalam pertarungan kedua figur ini. Kemungkinan akan terdapat dua skenario
kemungkinan koalisi yang akan terjadi kedepan
Skenario I Koalisi Partai Pilpres 2014
Pada skenario Pertama yaitu terdapat tiga kelompok
besar koalisi partai yang dimotori oleh PDIP, Golkar dan Gerindra. Pada koalisi
pertama komunikasi yang intens antara PDIP dan Nasdem jauh sebelum pemilu
legislatif menguatkan kemungkinan akan terbentuknya koalisi diantara kedua
partai tersebut. Sedangkan komunikasi yang dijalin oleh Jokowi dengan
mendatangi tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah saat menjelang pemilu legislatif
dirasa akan menarik partai-partai yang
secara historis terkait dengan kedua oraganisasi islam terbesar di
Indonesia tersebut seperti PKB dan PAN.
Skenario II Koalisi Partai Pilpres 2014
Sedangkan Koalisi Gerindra sendiri akan di isi oleh
Demokrat, PPP, PKS dan PBB. Hal ini di dasarkan dari komunikasi Partai Demokrat
dengan kedua koalisi besar sebelumnya, PDIP dan Golkar selama priode 2009-2014
tidak terlihat harmonis dan salaing menyerang, sehingga kecil ekmungkinan Partai
Demokrat akan masuk disalah satu koalisi tersebut. Sehingga yang paling
memungkinkan Demokrat akan bergabung dengan Gerindra. Adapun menggabungkan
tokoh-tokoh militer untuk maju sebagai Capres dan Cawapres bukan lah sebuah
masah yang menghambat, dan kemungkinan dapat menjadi pendorong kekuatan pada
koalisi ini. Selain itu jika PKS tergabung dalam koalisi ini kemungkinan besar
akan menjadi lawan yang tangguh bagi dua koalisi lainnya dikarenakan selama ini
hanya PKS yang memiliki kader-kader loyal yang mampu bergerak hingga level
bawah seperti halnya PDIP. Prabowo juga kemungkinan telah melirik PPP untuk
ditarik kedalam koalisinya. Indikasi tersebut terlihat dari hadirnya Suryadarma
Ali yang menhadiri kampanye Gerindra pada 23 Maret lalu.
Sekenario kedua adalah jika hanya terdapat dua tokoh
saja yang maju pada Pilpres 2014, yaitu Jokowi dan Prabowo, hal di karenakan
ada kemungkinan elektabilitas ARB lebih rendah dibanding kedua figur tersebut,
sehingga ada kemungkinan internal Golkar dan ARB mencoba untuk membangun
komunikasi intensif untuk masuk ke dalam koalisi PDIP maupun Gerindra. Selain
itu masih adanya dasar memilih berdasarkan sentimen etnik yang membagi calon
presiden dari Jawa dan luar jawa masih ada saat ini dan tentu saja dapat menjadi
penghalang bagi ARB untuk maju menjadi Capres Golkar.
Walaupun terdapat sejarah gelap antara Golkar dan PDIP
selama masa orde baru, namun saat ini hal terbut tidak lagi menjadi halangan
selain Golkar telah bertransformasi menjadi partai yang terbuka dan tidak
terlalu ada friksi tajam selama 10 tahun terakhir dan pernah menjadi koalis
bersama pada tahun 2004, sehingga kemungkinan besar Golkar akan masuk dalam
koalisi untuk mendukung Jokowi. Kemungkinan pada skenario kedua ini, target
Golkar pada 2014 ini adalah menguasai parlemen dan tetap mendapatkan posisi
pada pemerintahan mendatang. Alasan kuat Golkar dapat masuk dalam koalisi PDIP
untuk mendukung Jokowi adalah secara rasional Jokowi memiliki magnet kuat untuk
keluar menjadi pemenang dalam pemiliu nanti.
Golkar akan kecil kemungkinan untuk masuk kedalam
koalisi Gerindra yang mengusung Prabowo sebagai Presiden, selain kemungkinan
terdapat partai Demokrat dimana antara Golkar dan Demokrat selama ini tidak
memiliki komunikasi yang baik di dalam setgab juga pada koalisi ini banyak
terdapat mantan kader-kader Golkar yang berasal dari faksi militer dimana dulu
menjadi saingan kuat dari kader-kader Golkar yang berasal dari faksi sipil yang
saat ini menguasai Golkar setelah reformasi.
Skenario
Cawpres
Selama ini pola pasangan Capres-Cawapres pada pemilu
Indonesia adalah sipil-militer, Jawa dan luar Jawa. Sipil-Militer (atau
Militer-Sipil) menjadi pola penting dari calon Capres-Cawapres, kepemimpinan
tokoh militer baik Capres maupun Cawapres, dianggap dapat membawa kestabilan
keamanan di Indonesia ditengah kerentanan disintegrasi yang dapat terjadi di
Indonesia. Sehingga kepemimpinan militer dapat dianggap sebagai garansi dalam
menjaga keamanan Indonesia dari intervensi luar maupun dalam negeri. Sedangkan
kempemimpinan sipil berasal dari tokoh-tokoh yang dianggap mewakili mayoritas
kelompok masyakat Indonesia seperti tokoh-tokoh agama, ataupun ekonomi yang
mampu meningkatkan kestabilan ekonomi dan politik di Indonesia. sedangkan pola
Capres-Cawapres berdasarkan pembagian etnik Jawa dan luar jawa selama ini
menjadi satu pertimbangan partai-partai dalam mencalonkan Capres mereka. hal
ini dapat terlihat pada hasil pemilu 1999, 2004 dan 2009. Namun pada 2009 pola
tersebut di patahkan oleh Pencapresan SBY-Boediono dimana keduanya berasal dari
Jawa.
Kemungkinan pada pemilu Presiden 2014 ini juga akan
terjadi hal yang sama dimana terdapat calon yang berasal dari latar belakang
yang sama seperti Militer-Militer maupun Jawa-Jawa. Kombinasi antara sipil
militer terutama sekali purnawirawan angkatan darat menjadi kombinasi yang kuat
untuk pemerintahan mendatang karena militer (yang diwakili para purnawirawan)
masih memegang peranan penting dan dianggap sebagai partai peserta pemilu
ke-14.
Kombinasi Pasangan Capres dan Cawapres
Skenario I
Pada skenario selanjutnya dimana jika ARB tidak maju
menjadi Capres maka pilihan cawapres bagi Jokowi dan Prabowo tidak akan berubah
jauh dari skenario pertama, namun ada kemungkinan Jokowi bisa berduet bersama
ARB sebagai Capres dan Cawapres.Hal ini sebagai bentuk koalisi solid antara
PDIP dan Golkar baik di Pemerintahan maupun di DPR. Jika koalisi ini terbentuk,
akan memperkuat suara mereka di Parlemen dengan kemungkinan 57% lebih suara di
DPR dapat dikuasai dan juga mempermudah kebijakan-kebijakan yang akan ditelurkan
oleh presiden jika Jokowi memenangkan pemilu. Namun sekali lagi proses
pemerintahan dan politik di Indonesia memang tidak secara kaku dijalankan semua
masih didasarkan oleh negosiasi dan kompromi, sehingga tidak terdapat sebuah
koalisi yang benar-benar terkristal dan kaku itulah politik Indonesia yang
sangat dinamis.
Kombinasi Pasangan Capres dan Cawapres
Skenario II
Tidak ada komentar:
Posting Komentar