Pendahuluan
Keberagaman Indonesia baik dari sisi
etnisitas, agama kultur masyarakat, selama ini menjadi sebuah identitas dan
karakter dari masyarakat Indonesia. Sejak dahlu Indonesia telah menjadi
pertemuan perdagangan antar benua. Sejak zaman Sriwijaya, Indonesia menjadi
pusat pengajaran agama Budha yang terbesar. Selain pusat pendidikan agama
Budha, Sriwijaya juga menjadi sebuah kerajaan maritim yang kuat dengan
berkembangnya perdagangan dengan India maupun China. Sejak keruntuhan
Sriwijaya, posisi sebagai kerajaan penguasa di Nusantara beralih kepada
Majapahit. Majapahit merupakan sebuah kerajaan maritim dan agraris yang
terletak di Jawa Timur. Masyarakat pelautnya telah melakukan perdangan dari
ujung timur Indonesia hingga pesisir timur Afrika. Sebagai kerajaan besar,
Majapahit menjadi salah satu pusat perdagangan terbesar di Asia sehingga tentu saja, Majapahit memiliki masyarakat yang
majemuk baik dalam hal agama maupun etnis. Sejak berdirinya, para raja
kerajanaan Majapahit dipercaya sebagai seorang titisan dari Budha, Siwa dan
Wisnu. Kebiasaan ini telah ada sejak berdirinya kerajaan Singasari, dimana raja
untuk menyatukan masyarakatnya yang beragam kepercayaan berinisiatif untuk
memegang dua agama yang berbeda. hal ini bertujuan mengharmoniskan kehidupan
masyarakatnya yang pada waktu itu terdiri dari para pemeluk Budha dan Hindu.
Raja-raja Majaphit turut melakukan hal yang sama, dan hal ini, selain merupakan
salah satu tujuan politik para raja untuk mempersatukan rakyatnya juga berguna
untuk mengajarkan akan toleransi kehidupan beragama.
Dengan semakin berkembangnya perdagangan,
orang-orang yang tinggal di kerajaan Majapahit dan menjadi rakyat kerajaan
menjadi lebih beragam. Pada tahun 1200-an masehi diketahui bahwa kawasan
pesisir utara Jawa Timur telah banyak di tinggali oleh komunitas muslim yang
berasal dari Arab, Parsi, dan India.
Perkembangan komunitas Muslim sebagai dampak penyebaran Islam di Asia yang
menjadi mitra perdagangan dengan kerajaan Majapahit. Dengan perkembangan ini,
maka masyarakat lokal yang tinggal di daerah pesisir utara Jawa Timur mulai
untuk mengenal dan mengganti agamanya menjadi Islam. Pengaruh ini pun didukung
oleh kalangan kerajaan Majapahit dan ditunjukkan dengan banyaknya keluarga
kerajaan yang turut menganut Islam. Kita dapat melihat bahwa toleransi beragama
di kerajaan-kerajaan tertua di Indonesia sudah tumbuh jauh sebelum adanya
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mencerminkan bahwa toleransi beragama
merupakan sebuah warisan nenek moyang kita yang telah lama ada di tanah air
ini. Sebuah bukti bagaimana toleransi antar agama berlangsung di kerajaan
Majapahit dapat dilihat melalui karya sastra, kakawinan Sutasoma, dari seorang
Mpu di kerajaan Majapahit, yang menceriterakan bagaimana keadaan toleransi yang
berkembang di zaman Majapahit dulu, dengan kalimatnya yang terkenal “Bhineka Tunggal Ika”.
Motto Bhineka Tunggal Ika dalam alam Indonesia
moderen saat ini masih relevan, terlebih lagi saat ini kemajemukan masyarakat
Indonesia telah melebihi beberapa abad yang lalu. Bayangkan saja saat ini kita
memiliki beragam etnis dan ras masyarakat yang tinggal di Indonesia. terlebih
lagi beragamnya kebudayaan dan juga tentunya agama dan kepercayaan masyarakat.
Para founding father Indonesia moderen telah membahas hal tersebut sejak
sebelum Indonesia belum merdeka. Ir. Sukarno dalam pidatonya di sidang BPUPKI,
mengungkapkan bahwa falasafah Indonesia telah ada sejak lama dan hadir dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat. Dia mengusulkan dasar negara baru yang akan
dibentuk yang terdiri dari rumusan Pancasila, yang terdiri dari: 1. Kebangsaan
Indonesia; 2. Internationalisme atau peri kemanusiaan; 3. Mufakat atau
demokrasi; 4. Kesejahteraan sosial; dan 5. ketuhanan yang berkebudayaan. Dari
lima sila yang diusulkan dapat di sederhanakan menjadi tri sila yang terdiri
dari: (1) Socio nasionalisme; (2) Socio demokrasi; dan (3) Ketuhanan.
Ketiga sila ini dapat disederhanakan lagi menjadi “gotong royong”.
Selain usulan Ir. Soekarno, sebelumnya M.
Yamin juga turut mengusulkan mengenai dasar negara yang terdiri dari : 1. Peri
Kebangsaan; 2. Peri Kemanusiaan; 3. Peri Ketuhanan; 4. Peri Kerakyatan; 5.
Kesejahteraan Rakyat. Akhir dari perdebatan panjang ini adalah disetujuinya
Pancasila menjadi falsafah bangsa oleh para founding
father Indonesia yang juga terdiri dari beragam latar belakang tokoh-tokoh
agama dan politik tersebut. Sehingga format Pancasila menjadi : 1. Ketuhanan
yang Maha Esa; 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan; 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. kemudian
Pancasila sebagai falsafah negara dimasukkan dalam pembukaan konstitusi negara
yaitu Undang-Undang Dasar 1945, sebagai hukum tertinggi yang ada di Indonesia.
Filosofi
dan Konsensus Bangsa Indonesia
Pancasila sebagai falsafah negara menjadi
sebuah kesepakatan bersama, memberikan penjelasan yang gamblang mengenai tujuan
hidup bangsa Indonesia. Lima sila dalam Pancasila menjadi dasar
filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal
bernegara, yaitu: (i) Melindungi segenap dan seluruh tumpah dara Indonesia;
(ii) meningkatkan kesejahteraan umum; (iii) Mencerdaskan kehidupan bangsa; (iv)
ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang
abadi dan keadilan sosial (Asshiddiqie, Jimly). Selain kesepakatan mengenai
Pancasila sebagai falsafah negara, kesepakatan selanjutnya adalah basis
pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Prof. Dr. Jimly
Asshidiqie menyatakan kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat
prinsipil, karena dalam setiap negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun
yang hendak dilakukan dalam konteks penyelenggaraan negara haruslah didasarkan
atas rule of the game yang ditentukan bersama. Selanjutnya kesepakatan
ketiga adalah (1) mengenai bangunan oragan negara dan prosedur-prosedur yang
mengatur kekuasaannya; (2) hubungan-hubungan antar organ negara itu antar satu
sama lain; dan (3) hubungan antar organ-organ negara itu dengan warga negara.
Dengan kesepakatan-kesepakatan ini maka konstitusi negara dapat dirumuskan
dengan baik.
Pancasila memiliki peranan sebagai dasar
filosofi dan alat pemersatu bagi bangsa, artinya dari kemajemukan masyarakat
Indonesia, Pancasila menjadi tujuan dan dasar hubungan antar masyarakat dan
negara. Pancasila sendiri menjamin kehidupan setiap warganegara Indonesia baik
itu hak-hak individu maupun hak-hak berkelompok dan bermasyarakat. Pancasil
sebagai sebuah filosofi/ ideologi negara lebih bersifat fleksibel namun tidak
libral dan tidak cendrung kiri. Pancasila lebih pada menampilkan kekuatan genuin dari rakyat Indonesia yang
majemuk untuk bergotong royong mencapai sebuah tujuan bersama seperti yang
telah diungkapkan diatas. Sehingga Pancasila mengakui kemajemukan rakyat
Indonesia dalam sebuah bingkai Bhineka Tunggal Ika, dan Undang-Undang Dasar
1945 sebagai sebuah konsensus bersama yang mengatur tata kehidupan tersebut di
alam Negara Republik Indonesia.
Sebagai sebuah konstitusi, Undang-Undang Dasar
1945, menjadi pegangan tertinggi bangsa Indonesia dalam memutuskan segala
sesuatu yang harus didasarkan pada hukum. Untuk itu, Undang-Undang Dasar 1945
menjadi sebuah konsesus bersama oleh bangsa Indonesia untuk mematuhinya. Tanpa
ada konsensus bersama diantara bangsa Indonesia, maka sebuah konstitusi tidak
memiliki arti yang besar, karena tidak menjadi sebuah kewajiban untuk taat dan
patuh terhadap konsensus bersama tersebut.
Tantangan
terhadap kemajemukan Indonesia
Sejak tumbangnya Orde baru, Indonesia telah
menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di Dunia, hal ini tidak lepas dari
semakin kian terbukanya sistem perpolitikan Indonesia yang berbarengan dengan
meningkatnya kebebasan pers nasional. Kebebasan demokrasi yang terjadi,
membangkitkan kembali aspirasi partai-partai yang bersifat keagamaan. hal
tersebut ditandai dengan banyaknya partai-partai agama (baik Islam maupun
Kristen) yang mengikuti pemilu 1999. Seiring dengan bangkitnya partai-partai
yang beraliran agama, dimasyarakat juga berkembang organisasi-organisasi
keagamaan Islam 100. Organisasi masa yang mengatasnamakan agama
diawali dengan terbentuknya Front Pembela Islam di tahun 1998 dan diikuti
dengan terbentuknya Gerakan Islam Reformis (GARIS) di Cianjur, Tholiban di
Tasikmalaya, Majelis Mujahidin Indonesia di Yogyakarta dan banyak lagi
organisasi-organisasi lainnya. Perkembangan ini merupakan dampak dari peluang
dari keterbukaan politik Indonesia yang selama Orde Baru memberikan tekanan
terhadap aspirasi di kalangan kelompok Islam.
Radikalisme dari kelompok-kelompok Islam di
Indonesia telah memiliki akar sejarah yang panjang sejak zaman pra kemerdekaan
dan kemerdekaan. Namun tumbangnya orde baru memberikan peluang kepada kelompok
maupun tokoh-tokoh Islam radikal untuk kembali kepermukaan. Situasi politik,
ekonomi dan sosial Indonesia, dan internasional juga banyak memberikan pengaruh
terhadap proses radikalisme kepada organisasi-organisasi Islam yang terbentuk
di kalangan masyarakat. Krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia sejak
tahun 1998, membuat masyarakat yang merasa tidak memiliki keberuntungan ekonomi
melirik organisasi-organisasi Islam radikal sebagai salah satu jalan keluar.
Masyarakat kalangan bawah melihat bahwa organisasi-organisasi Islam radikal
memberikan sebuah arti simbolik yang menarik perhatian mereka, dengan
memberikan sebuah ajaran yang lebih praktis dan tidak terlalu susah dijalankan.
Keadaan sosial masyarakat yang timpang antara
masyarakat menengah atas dan masyarakat menegah kebawah sebagai akibat dari
efek demonstratif yang kelebihan, menimbulkan sebuah keirian hati. Ketidak
pekaan kalangan kaya terhadap masyarakat yang berkekurangan membuat masyarakat
bawah melihat ada sebuah ketidak adilan sosial dan ekonomi di negara ini. Selain
itu ketidak mampuan pemerintah untuk memeratakan pendapatan dan kesempatan
meningkatkan kesejahteraan, kasus-kasus korupsi dan hukum yang tidak pernah
selesai, juga turut memberikan
keterasingan kalangan bawah terhadap perubahan yang terjadi. Sehingga mereka
melihat bahwa dengan bergabung kedalam organisasi-organisasi radikal, merupakan
sebuah jalan untuk melakukan perubahan sistem di masyarakat agar kembali kepada
nilai-nilai islam yang adil.
Bentuk nyata dari proses radikalisme terjadi
ketika banyaknya konflik yang timbul didaerah dan menggunakan agama sebagai
alasannya, walaupun awal permasalahan sebenarnya merupakan konflik politik
daerah ataupun konflik-konflik antar kelompok preman. Namun berkembang menjadi
sebuah konflik besar dan sangat disayangkan menjadi sebuah konflik agama.
Kebebasan pers yang memberikan kesempatan masyarakat untuk melihat secara
langsung konflik yang terjadi, memahami konflik yang terjadi dengan cara yang
berbeda. Timbul sentimen-sentimen anti agama lain dikalangan masyarakat yang
kebetulan daerahnya tidak menjadi ajang konflik. Selain itu, ketidak berdayaan
pemerintah dalam menyelesaikan konflik memberikan kesan kepada masyarakat bahwa
pemerintah tidak dapat diharapkan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
Organisasi-organisasi radikal melakukan mobilisasi untuk memberikan bantuan
kepada saudara seagama yang menjadi korban konflik. Sehingga malah semakin
memperparah konflik yang terjadi di maluku dan Sulawesi Tengah.
Radakalisme organisasi-organisasi
kemasyarakatan yang mengusung nama Islam juga tidak lepas dari ketidak
seimbangan politik Internasional yang terjadi di era 1999 hingga tahun 2000-an.
Konflik Israel-Palestina, penyerangan Amerika terhadap Irak dan Afganistan
setelah 11 November 2001, turut membangkitkan radikalisme yang terjadi di tanah
air. Dan yang terparah terjadinya beberapa kali serangan teroris di Indonesia
yang didanai oleh pihak Islam radikal di luar negeri. Dan lagi-lagi pemerintah
membutuhkan waktu cukup lama untuk menyelesaikan kasus ini.
Kasus
kekerasan terhadap kelompok minoritas
Akibat-akibat
dari radikalisasi yang terjadi dalam kelompok-kelompok organisasi Islam, saat
ini telah memberikan hasil yang buruk terhadap perkembangan toleransi antar
umat beragama di Indonesia. Timbulnya kasus-kasus penyerangan terhadap kelompok
minoritas atau kelompok yang dianggap sesat semakin sering terjadi beberapa
tahun belakangan ini. Mulai dari kasus-kasus penyegelan beberapa gereja HKBP di
Bekasi, Gereja PGI di perumahan Yasmin, Bogor, maupun penyerangan terhadap
jamah Ahamadiyah telah memberikan gamabaran mengenai meningkatnya aktivitas
organisasi radikal di Indonesia. Kasus paling parah terjadi di Pandeglang
Banten, dimana kasus penyerangan FPI terhadap jamaah Ahmadiyah yang
mengakibatkan tiga orang meninggal dunia, beberapa rumah dan kendaraan rusak
berat.
Kasus
kekerasan terhadap kelompok minoritas ternyata bukan hanya dilakukan oleh
organisasi-organanisasi radikal Islam, tetapi juga secara sadar atau tidak,
banyak aparat pemerintah baik daerah dan pusat maupun aparat keamanan turut
terlibat dalam kekerasan terhadap kelompok agama minoritas. Laporan yang
dirilis oleh Wahid Institut menggambarkan bentuk pelanggaran yang dilakukan
oleh aparat pemerintah seperti pembiaran perusakan rumah ibadah, pelarangan
beribadah oleh aparat keamanan atau pihak terkait terhadap kelompok agama dan
kepercayaan sebanyak 22%. Pelarangan kegiatan beribadah atau ekspresi keyakinan
dari kelompok agama atau kepercayaan, sebanyak 8%. Pelarangan/pembatasan rumah
ibadah sebanyak 30%. Pelarangan atau pemaksaan keyakinan sebanyak 40%.
Berdasarkan
Aksi-aksi
anarkis yang sering terjadi terhadap kelompok minoritas, menjadi sebuah bukti
ancaman terhadap toleransi beragama dimasyarakat. Para korban biasanya banyak
mengalami kerugian seperti kehilangan rumah tinggal, tidak memiliki hak untuk
melakukan ritual agamanya, kehiliangan nyawa, bahkan yang paling ironis adalah
kehilangan hak sebagai warga negara di negaranya sendiri. Hal ini terjadi pada
korban Ahamdiyah Lombok, dimana setalh terjadi perusakan, para jemaah ini
mengalami sebuah pengusiran dari tanah mereka sendiri, kesulitana mendapat
mendapat hak-hak sipil seperti KTP. Tidak memiliki KTP berarti para jamaah
Ahmadiyah tidak memiliki kesempatan untuk mengakses fasilitas pemerintah
seperti kesehatan, dan pelayanan dasar lainnya. Namun yang mengherankan adalah
kurangnya perhatian pemerintah daerah dalam menyelesaikan pertikaian dan
memberikan hak-hak dasar mereka sebagai warga negara.
Timbulnya
perda-perda syariah
Tantangan terhadap kemajemukan masyarakat,
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, juga datang dari positivisme
hukum-hukum Islam kedalam perundang-undangan dan peraturan-peraturan daerah.
Tabel 1
Karakteristik Implementasi Syariat
dalam Hukum Nasional
|
Bidang/
masalah yang diatur
|
Jenis
Perundang-undangan
|
1.
|
Hukum
Keluarga (Perkawinan, Perceraian, dan Warisan)
|
·
Undang-Undang
No. 1/1974 Tentang Perkawinan
·
Undang-Undanga
No. 7/1989 tentang Peradialan Agama.
·
Inpres
No. 1/ 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
|
2.
|
Hukum
Ekonomi dan Keuangan
|
·
Undang-Undang
No. 7/1992 tentang Perbankan yang diamandemen oleh Undang-Undang No. 10/ 1998
·
Undang-Undang
No. 38/ 1999 tentang pengelolaan Zakat
·
Undang-Undang
No. 41/ 2004 tentang wakaf
|
3.
|
Hukum
Pidana
|
·
Perda-perda
yang bernuasa Syariat dibeberapa daerah (pelacuran, perjudian, minuman keras,
dan pengaturan moralitas publik)
|
4.
|
Praktik
Ritual Keagamaan
|
·
Undang-undang
penyelenggaraan Haji
|
5.
|
Simbol-simbol
keagamaan
|
·
Perda-perda
yang bernuansa syariat di beberapa daerah (busana muslim, dll)
|
sumber : Setara, Desember 2010
Tabel 1, memperlihatkan mengenai bahasan utama
dari masalah-masalah syariat Islam yang masuk kedalam perundang-undangan
nasional. undang-undang maupun perda syariat sering dijadikan sebuah legitimasi
baik pemerintah maupun kelompok organisasi Radikal untuk melakukan tindakan
intoleransi. Sebagai contoh, perda anti maksiat yang banyak di jumpai di
beberapa daerah di Jawa Barat, sering menimbulkan aksi dan kekerasan sepihak
oleh organisasi-organisasi Radikal dengan melakukan aksi sweeping terhadap para
pedagang kecil maupun tempat-tempat hiburan malam. Yang anehnya adalah para
kelompok organisasi radikal ini sama sekali tidak memiliki hak dalam melakukan
aksi tersebut.
Dampak
yang sangat terasa akibat dari aksi sepihak tersebut adalah banyak masyarakat
yang kehilangan mata pencaharian karena kerusakan dari tempat usaha mereka.
Tentu saja, sekali lagi tindakan-tindakan kekerasan ini melanggar hak-hak dan
kesempatan masyarakat dalam mencari kebutuhan hidupnya. Sedangkan aparat
keamanan yang memiliki mandat mengatur ketertiban umum, malah diam seribu kata
tanpa adanya tindakan hukum terhadap aksi-aksi kekerasan tersebut.
Proses
radikalisasi organisasi Islam hingga tindakan aksi main hakim dan seringnya
para kelompok radikal mengambil alih peran aparat keamanan memperlihatkan
adanya ancaman terhadap falsafah Pancasila yang menjunjung keberagaman. Selain
itu aksi-aksi ini mencerminkan adanya pelanggaran terhadap konsensus bersama
yaitu Undang-Undang Dasar 1945, karena melanggar hak-hak warganegara lainnya
tanpa melalui proses hukum yang jelas. Ancaman terhadap Pancasila dan
Konstitusi negara juga disebabkan karena tidak tegasnya pemerintah dalam
menindak aksi-aksi jalanan tersebut, dan adanya pembiaran berkembangnya
kelompok-kelompok radikal intoleran dimasyarakat. Jika hal ini terus berlanjut,
maka ancaman terhadap integrasi bangsa akan semakin besar dan potensial sekali
dapat meruntuhkan pemerintah dan negara.
Perlindungan
terhadap kebebasan beragama oleh konstitusi
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 merupakan
kostitusi Negara yang dijadikan sebagai peraturan tertinggi dalam menjalankan
kehidupan bernegara di Republik Indonesia. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, terlihat jelas bahwa tujuan dari bangsa Indoensia adalah “...kedaulatan rakyat yang berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia
dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia.” Hal ini menyiratkan bahwa konstitusi Negara Indonesia
mengakui adanya hak asasi warga negara dalam mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi Rakyat Indonesia. Terkait dengan kebebasan beragama, pasal 28 (e) dan 29
Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan hak dan jaminan warga negara dalam memilih
dan melaksanakan agamanya. Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 yang berbunyi : (1)”Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memlilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali”, (2)”Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya” sedangkan pasal 29 ayat 1 dan 2 Undang-Undang 1945 juga
menjelaskan: “(1) Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”. Selain pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945,
undang-undang yang berkait dengan hak masyarakat untuk beragama terdapat dalam
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 22 yang
menyatakan : “(1) Setiap orang bebas
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.” Sedangkan tanggung jawab dalam melindungi, mamajukan dan penegakan
hak asasi manusia menjadi tugas negara khususnya pemerintah. Pernyataan ini
terdapat dalam pasal 8 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Pasal-pasal
dalam Undang-Undang Dasar 1945 maupun pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 39
tahun 1999, memberikan penjelasan yang amat gamblang mengenai hak beragama yang
merupakan sebuah pilihan individu, dan negara hanya sebagai fasilitator dalam
menyediakan sarana keberlangsungan hak warga negara untuk memilih agama dan
menjalankan agamanya. Namun, beberapa peraturan yang lebih rendah dari
Undang-Undang Dasar 1945, maupun Undang-Undang yang telah berlaku, malah
menyimpang jauh dari kaidah aturan yang lebih tinggi mengenai hak beragama.
Seperti SKB tiga menteri yang membatasi hak beragama dari jemaah Ahamdiyah
dalam melakukan aktivitas peribadatan mereka. Isi SKB tiga menteri adalah
sebagai berikut : (1) Memberi peringatan dan memerintahkan untuk semua warga
negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang
menyimpang sesuai dengan UU No. 1 PNPS 1965. (2) Memberi peringatan dan memerintahkan bagi
seluruh penganut, pengurus jemaat Ahamdiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut
agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan
penafsiran agama Islam pada umumnya. (3) Memberi peringatan dan memerintahkan
kepada anggota atau pengurus Jamaah Ahmadiyah yang tidak mengindahkan
peringatan tersebut dapat dikenai sangsi sesuai peraturan perundangan. (4)
Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara
kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum
terhadap penganut JAI. (5) Memberi peringatan dan memerintahkan kepada semua
warga yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah dapat dikenakan sanksi
sesuai aturan yang berlaku. (6) Memerintahkan setiap pemerintah daerah agar
melakukan pembinaan terhadap keputusan ini. (7) Keputusan ini berlaku sejak
ditetapkan, 09 Juni 2008.
Seperti yang telah di kemukakan diatas ternyata
SKB 3 Menteri malah menambah persoalan terhadap diskriminasi Jamaah Ahamdiyah.
Selain itu surat keputusan bersama ini mencerminkan intervensi pemerintah
terhadap hak warga negara dalam beragama, dimana seharusnya pemerintah
melindungi keberlangsungan agama-agama yang dianut oleh setiap warga negara
Indonesia. Surat keputusan tersebut juga melibatkan pemerintah daerah yang juga
semakin memperuncing permasalahan, seperti lahirnya Peraturan Gubernur di
beberapa Provinsi yang melarang aktivitas Jamaah Ahamdiyah. Sekali lagi baik
pemerintah pusat maupun daerah memperlihatkan intervensi pemerintah terhadap
hak yang paling individu dari warga negara yaitu beragama melalui pelarangan
aktivitas beragama. Kebijakan pemerintah tersebut menjadi sebuah pelanggaran terhadap
HAM dan konsensus bersama Negara Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar
1945 sekaligus filosofi negara yaitu Pancasila. Pemerintah sendiri memiliki hak
untuk melakukan sebuah intervensi dan pembatasan bagi agama maupun kepercayaan,
tetapi hal ini terbatas pada ruang-ruang tertentu saja. Ruang-ruang tersebut
mencakup lima elemen yaitu : hal yang berkaitan dengan keselamatan masyarakat;
hal yang berkaitan dengan ketertiban umum; hal berkaitan dengan kesehatan
masyarakat; hal yang berkaitan dengan etik dan moral masyarakat; dan hal yang
berkaitan dengan perlindungan terhadap kebebasan mendasar orang lain. Secara
terperinci dapat di jelaskan sebagai berikut:
1.
Restriction
For The Protection of Public Safety (Pembatasan
untuk Melindungi Keselamatan Masyarakat). Dibenarkan pembatasan dan larangan
terhadap ajaran agama yang membahayakan keselamatan pemeluknya. Contohnya,
ajaran agama yang ekstrim, misalnya menyuruh untuk bunuh diri, baik secara
individu maupun secara massal. Atau ajaran agama yang melarang penganutnya
memakai helm pelindung kepala dalam berkendaraan.
2. Restriction For The Protection of Public Order (Pembatasan untuk Melindungi Ketertiban Masyarakat). Pembatasan kebebasan
memanifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum atau masyarakat.
Di antaranya, aturan tentang keharusan mendaftar ke badan hukum bagi organisasi
keagamaan masyarakat; keharusan mendapatkan ijin untuk melakukan rapat umum;
keharusan mendirikan tempat ibadat hanya pada lokasi yang diperuntukkan untuk
umum; dan aturan pembatasan kebebasan menjalankan agama bagi nara pidana.
- Restriction For The Protection of Public Health (Pembatasan untuk Melindungi Kesehatan Masyarakat). Pembatasan yang diijinkan berkaitan dengan kesehatan publik dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemi atau penyakit lainnya. Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, Pemerintah dapat mewajibkan petani yang bekerja secara harian untuk menjadi anggota askes guna mencegah penularan penyakit berbahaya, seperti TBC. Bagaimana pemerintah harus bersikap seandainya ada ajaran agama tertentu yang melarang vaksinasi, transfusi darah, melarang penggunaan infus dan seterusnya. Demikian pula, misalnya larangan terhadap ajaran agama yang mengharuskan penganutnya berpuasa sepanjang masa karena dikhawatirkan akan mengancam kesehatan mereka.
- Restriction For The Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi Moral Masyarakat). Misalnya, melarang implementasi ajaran agama yang menyuruh penganutnya bertelanjang bulat ketika melakukan ritual.
- Restriction For The Protection of The Fundamental Rigths and Freedom of Others (Pembatasan untuk melindungi kebebasan dasar dan kebebasan orang lain).
(1) Proselytism (Penyebaran Agama): Dengan adanya hukuman terhadap tindakan proselytism,
pemerintah dapat mencampuri kebebasan seseorang di dalam memanifestasikan agama
mereka melalui aktivitas-aktivitas misionaris di dalam rangka melindungi agar
kebebasan beragama orang lain tidak terganggu atau dikonversikan.
(2) Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari
agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain,
khususnya hak untuk hidup, hak kebebasan dari kekerasan, melarang perbudakan,
kekejaman dan juga eksploitasi hak-hak kaum minoritas.
Kesimpulan
Sejarah
Indonesia menggambarkan kemajemukan kebudayaan masyarakat, etnis dan agama yang
telah ada selama berabad-abad. Sejak kemerdekaan Indonesia, kemajemukan ini
menjadi pilar dasar berdirinya bangsa Indonesia dan hal ini di tetapkan melalui
sebuah filosofi dasar (filosofische
grondslag) yaitu Pancasila yang telah di sepakati bersama.
Selain itu juga terdapat aturan dasar atau konsensus bersama yang mengatur tata
hidup bangsa Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 menjadi pokok utama kesepakatan bangsa Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia yang majemuk.
Timbulnya gerakan-gerakan dan
organisasi-organisasi radikal yang mengatasnamakan agama dan cendrung bersikap
intoleran terhadap warga negara lain yang kebetulan berbeda agama, membuat
terganggunya kehidupan masyarakat majemuk
menjadi terancam. Tindakan-tindakan yang diambil oleh gerakan-gerakan maupun
organisasi-organisasi radikal sangat bertentangan dengan konsensus bersama dan
terus terang melanggar hak-hak warga negara lainnya dalam menjalankan agama dan
peribadatan mereka di negara tercinta ini.
Lemahnya pemerintah dalam menjamin hal pokok
yaitu keamanan bagi setiap warga negara yang menjalankan ibadahnya juga turut
memperparah kasus-kasus intoleransi yang terjadi. Ini sangat merugikan
kehidupan berbangsa dan bernegara karena mengancam kemajemukan masyarakat
Indonesia yang selama ini terkenal dengan warisan sikap toleransinya yang tinggi.
Pemerintah harus segera mengambil sebuah
tindakan untuk meredam aksi-aksi provokatif dan tindakan anarkis yang menyalahi
aturan hukum yang berlaku di Indonesia guna menjamin berjalannya hak-hak dasar
dari setiap warga negara dalam menjalankan ibadahnya dan juga menjamin tetap
bertahannya kemajemukan masyarakat Indonesia. Penyediaan jaminan keamanan yang
mendasar kepada warga negara, dan kelompok minoritas menjadi sebuah faktor
penting yang dapat menjamin berlangsungnya kehidupan bernegara di Indonesia yang
majemuk ini. Selain itu, pembatasan kepada kelompok-kelompok yang bertindak
anarkis dengan mengatasnamakan agama, harus segera dilaksanakan sehingga
tercipta tertib hukum sesuai konstitusi dan falsafah pancasila. Tidak ada
kelompok yang lebih kuat dari sebuah negara, dan negara sebagai sebuah
pelaksana Undang-Undang harus dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada
warganegaranya.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie,
Jimly, 2005. Ideologi, pancasila, dan Konstitusi. (www.jimly.com/pemikiran/makalah, diunduh tanggal 3 Maret 2011).
Dari
www.wikipedia.org, Kakawinan Sutasoma, Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Kakawin_Sutasoma (diakses tanggal 3 Maret 2011).
Dari
www.wikipedia.org, kedatangan dan Penyebaran Agama Islam di Nusntara. http://id.wikipedia.org/wiki/Penyebaran_agama_islam_di_nusantara (diakses tanggal 3 Maret 2011).
Dari
www.wikipedia.org, Majapahit, (http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit#Kebudayaan, diakses tanggal 3 Maret 2011).
Dari
www.wikipedia.org, Sriwijaya, (http://id.wikipedia.org/wiki/Sriwijaya,
diakses tanggal 3 Maret 2011).
Hasani,
Ismail, 2010, Radikalisme Agama di jabodetabek dan jawa Barat : Implikasi
Terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan. Jakarta. Publikasi Setara
Institut.
Republik
Indonesia, 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI. (http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45, diakses tanggal 3 Maret 2011).
Republik
Indonesia,1999.Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Jakarta.(http://legislasi.mahkamahagung.go.id/docs/UU/1999/UU%20NO%2039%20TH%201999.pdf, diunduh tanggal 3 Maret 2011).
Republik Indonesia, 2008, Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahamdiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat , (http://pormadi.wordpress.com/2008/06/13/skb-ahmadiyah-peringatan-dan-perintah-kepada-penganut-anggota-danatau/ , diunduh tanggal 7 Maret 2011)
Soekarno,
1945, Pidato Sukarno di hadapan sidang BPUPKI: Lahirnya Pancasila. (http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id/speeches_clipping/, diakses tanggal 3 Maret 2011).
Sentot,
Mochamad, 2010, Jaminan Kebebasan Beragama Dalam Revisi KUHP. (http://mochamad-sentot.blogspot.com/2010/03/analisa-ruu-kamnas.html, diakses tanggal 3 Maret 2011).
Wahid,
Abdurahman, 2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di
Indonesia. Jakarta. The Wahid Institut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar