Selasa, 09 Oktober 2012

Ancaman Radikalisme Islam terhadap Kemajemukan Negara Kesatuan Republik Indonesia



Pendahuluan
Keberagaman Indonesia baik dari sisi etnisitas, agama kultur masyarakat, selama ini menjadi sebuah identitas dan karakter dari masyarakat Indonesia. Sejak dahlu Indonesia telah menjadi pertemuan perdagangan antar benua. Sejak zaman Sriwijaya, Indonesia menjadi pusat pengajaran agama Budha yang terbesar. Selain pusat pendidikan agama Budha, Sriwijaya juga menjadi sebuah kerajaan maritim yang kuat dengan berkembangnya perdagangan dengan India maupun China. Sejak keruntuhan Sriwijaya, posisi sebagai kerajaan penguasa di Nusantara beralih kepada Majapahit. Majapahit merupakan sebuah kerajaan maritim dan agraris yang terletak di Jawa Timur. Masyarakat pelautnya telah melakukan perdangan dari ujung timur Indonesia hingga pesisir timur Afrika. Sebagai kerajaan besar, Majapahit menjadi salah satu pusat perdagangan terbesar di Asia sehingga  tentu saja, Majapahit memiliki masyarakat yang majemuk baik dalam hal agama maupun etnis. Sejak berdirinya, para raja kerajanaan Majapahit dipercaya sebagai seorang titisan dari Budha, Siwa dan Wisnu. Kebiasaan ini telah ada sejak berdirinya kerajaan Singasari, dimana raja untuk menyatukan masyarakatnya yang beragam kepercayaan berinisiatif untuk memegang dua agama yang berbeda. hal ini bertujuan mengharmoniskan kehidupan masyarakatnya yang pada waktu itu terdiri dari para pemeluk Budha dan Hindu. Raja-raja Majaphit turut melakukan hal yang sama, dan hal ini, selain merupakan salah satu tujuan politik para raja untuk mempersatukan rakyatnya juga berguna untuk mengajarkan akan toleransi kehidupan beragama.
Dengan semakin berkembangnya perdagangan, orang-orang yang tinggal di kerajaan Majapahit dan menjadi rakyat kerajaan menjadi lebih beragam. Pada tahun 1200-an masehi diketahui bahwa kawasan pesisir utara Jawa Timur telah banyak di tinggali oleh komunitas muslim yang berasal dari Arab, Parsi, dan  India. Perkembangan komunitas Muslim sebagai dampak penyebaran Islam di Asia yang menjadi mitra perdagangan dengan kerajaan Majapahit. Dengan perkembangan ini, maka masyarakat lokal yang tinggal di daerah pesisir utara Jawa Timur mulai untuk mengenal dan mengganti agamanya menjadi Islam. Pengaruh ini pun didukung oleh kalangan kerajaan Majapahit dan ditunjukkan dengan banyaknya keluarga kerajaan yang turut menganut Islam. Kita dapat melihat bahwa toleransi beragama di kerajaan-kerajaan tertua di Indonesia sudah tumbuh jauh sebelum adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mencerminkan bahwa toleransi beragama merupakan sebuah warisan nenek moyang kita yang telah lama ada di tanah air ini. Sebuah bukti bagaimana toleransi antar agama berlangsung di kerajaan Majapahit dapat dilihat melalui karya sastra, kakawinan Sutasoma, dari seorang Mpu di kerajaan Majapahit, yang menceriterakan bagaimana keadaan toleransi yang berkembang di zaman Majapahit dulu, dengan kalimatnya yang terkenal “Bhineka Tunggal Ika”.
Motto Bhineka Tunggal Ika dalam alam Indonesia moderen saat ini masih relevan, terlebih lagi saat ini kemajemukan masyarakat Indonesia telah melebihi beberapa abad yang lalu. Bayangkan saja saat ini kita memiliki beragam etnis dan ras masyarakat yang tinggal di Indonesia. terlebih lagi beragamnya kebudayaan dan juga tentunya agama dan kepercayaan masyarakat. Para founding father Indonesia moderen telah membahas hal tersebut sejak sebelum Indonesia belum merdeka. Ir. Sukarno dalam pidatonya di sidang BPUPKI, mengungkapkan bahwa falasafah Indonesia telah ada sejak lama dan hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Dia mengusulkan dasar negara baru yang akan dibentuk yang terdiri dari rumusan Pancasila, yang terdiri dari: 1. Kebangsaan Indonesia; 2. Internationalisme atau peri kemanusiaan; 3. Mufakat atau demokrasi; 4. Kesejahteraan sosial; dan 5. ketuhanan yang berkebudayaan. Dari lima sila yang diusulkan dapat di sederhanakan menjadi tri sila yang terdiri dari: (1) Socio nasionalisme; (2) Socio demokrasi; dan (3) Ketuhanan. Ketiga sila ini dapat disederhanakan lagi menjadi “gotong royong”.
Selain usulan Ir. Soekarno, sebelumnya M. Yamin juga turut mengusulkan mengenai dasar negara yang terdiri dari : 1. Peri Kebangsaan; 2. Peri Kemanusiaan; 3. Peri Ketuhanan; 4. Peri Kerakyatan; 5. Kesejahteraan Rakyat. Akhir dari perdebatan panjang ini adalah disetujuinya Pancasila menjadi falsafah bangsa oleh para founding father Indonesia yang juga terdiri dari beragam latar belakang tokoh-tokoh agama dan politik tersebut. Sehingga format Pancasila menjadi : 1. Ketuhanan yang Maha Esa; 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. kemudian Pancasila sebagai falsafah negara dimasukkan dalam pembukaan konstitusi negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945, sebagai hukum tertinggi yang ada di Indonesia.
Filosofi dan Konsensus Bangsa Indonesia
Pancasila sebagai falsafah negara menjadi sebuah kesepakatan bersama, memberikan penjelasan yang gamblang mengenai tujuan hidup bangsa Indonesia. Lima sila dalam Pancasila menjadi dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal bernegara, yaitu: (i) Melindungi segenap dan seluruh tumpah dara Indonesia; (ii) meningkatkan kesejahteraan umum; (iii) Mencerdaskan kehidupan bangsa; (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi dan keadilan sosial (Asshiddiqie, Jimly). Selain kesepakatan mengenai Pancasila sebagai falsafah negara, kesepakatan selanjutnya adalah basis pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Prof. Dr. Jimly Asshidiqie menyatakan kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks pe­nyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule of the game yang ditentukan bersama. Selanjutnya kesepakatan ketiga adalah (1) mengenai bangunan oragan negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya; (2) hubungan-hubungan antar organ negara itu antar satu sama lain; dan (3) hubungan antar organ-organ negara itu dengan warga negara. Dengan kesepakatan-kesepakatan ini maka konstitusi negara dapat dirumuskan dengan baik.
Pancasila memiliki peranan sebagai dasar filosofi dan alat pemersatu bagi bangsa, artinya dari kemajemukan masyarakat Indonesia, Pancasila menjadi tujuan dan dasar hubungan antar masyarakat dan negara. Pancasila sendiri menjamin kehidupan setiap warganegara Indonesia baik itu hak-hak individu maupun hak-hak berkelompok dan bermasyarakat. Pancasil sebagai sebuah filosofi/ ideologi negara lebih bersifat fleksibel namun tidak libral dan tidak cendrung kiri. Pancasila lebih pada menampilkan kekuatan genuin dari rakyat Indonesia yang majemuk untuk bergotong royong mencapai sebuah tujuan bersama seperti yang telah diungkapkan diatas. Sehingga Pancasila mengakui kemajemukan rakyat Indonesia dalam sebuah bingkai Bhineka Tunggal Ika, dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sebuah konsensus bersama yang mengatur tata kehidupan tersebut di alam Negara Republik Indonesia.
Sebagai sebuah konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945, menjadi pegangan tertinggi bangsa Indonesia dalam memutuskan segala sesuatu yang harus didasarkan pada hukum. Untuk itu, Undang-Undang Dasar 1945 menjadi sebuah konsesus bersama oleh bangsa Indonesia untuk mematuhinya. Tanpa ada konsensus bersama diantara bangsa Indonesia, maka sebuah konstitusi tidak memiliki arti yang besar, karena tidak menjadi sebuah kewajiban untuk taat dan patuh terhadap konsensus bersama tersebut.
Tantangan terhadap kemajemukan Indonesia
Sejak tumbangnya Orde baru, Indonesia telah menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di Dunia, hal ini tidak lepas dari semakin kian terbukanya sistem perpolitikan Indonesia yang berbarengan dengan meningkatnya kebebasan pers nasional. Kebebasan demokrasi yang terjadi, membangkitkan kembali aspirasi partai-partai yang bersifat keagamaan. hal tersebut ditandai dengan banyaknya partai-partai agama (baik Islam maupun Kristen) yang mengikuti pemilu 1999. Seiring dengan bangkitnya partai-partai yang beraliran agama, dimasyarakat juga berkembang organisasi-organisasi keagamaan Islam 100. Organisasi masa yang mengatasnamakan agama diawali dengan terbentuknya Front Pembela Islam di tahun 1998 dan diikuti dengan terbentuknya Gerakan Islam Reformis (GARIS) di Cianjur, Tholiban di Tasikmalaya, Majelis Mujahidin Indonesia di Yogyakarta dan banyak lagi organisasi-organisasi lainnya. Perkembangan ini merupakan dampak dari peluang dari keterbukaan politik Indonesia yang selama Orde Baru memberikan tekanan terhadap aspirasi di kalangan kelompok Islam.
Radikalisme dari kelompok-kelompok Islam di Indonesia telah memiliki akar sejarah yang panjang sejak zaman pra kemerdekaan dan kemerdekaan. Namun tumbangnya orde baru memberikan peluang kepada kelompok maupun tokoh-tokoh Islam radikal untuk kembali kepermukaan. Situasi politik, ekonomi dan sosial Indonesia, dan internasional juga banyak memberikan pengaruh terhadap proses radikalisme kepada organisasi-organisasi Islam yang terbentuk di kalangan masyarakat. Krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia sejak tahun 1998, membuat masyarakat yang merasa tidak memiliki keberuntungan ekonomi melirik organisasi-organisasi Islam radikal sebagai salah satu jalan keluar. Masyarakat kalangan bawah melihat bahwa organisasi-organisasi Islam radikal memberikan sebuah arti simbolik yang menarik perhatian mereka, dengan memberikan sebuah ajaran yang lebih praktis dan tidak terlalu susah dijalankan.
Keadaan sosial masyarakat yang timpang antara masyarakat menengah atas dan masyarakat menegah kebawah sebagai akibat dari efek demonstratif yang kelebihan, menimbulkan sebuah keirian hati. Ketidak pekaan kalangan kaya terhadap masyarakat yang berkekurangan membuat masyarakat bawah melihat ada sebuah ketidak adilan sosial dan ekonomi di negara ini. Selain itu ketidak mampuan pemerintah untuk memeratakan pendapatan dan kesempatan meningkatkan kesejahteraan, kasus-kasus korupsi dan hukum yang tidak pernah selesai,  juga turut memberikan keterasingan kalangan bawah terhadap perubahan yang terjadi. Sehingga mereka melihat bahwa dengan bergabung kedalam organisasi-organisasi radikal, merupakan sebuah jalan untuk melakukan perubahan sistem di masyarakat agar kembali kepada nilai-nilai islam yang adil.
Bentuk nyata dari proses radikalisme terjadi ketika banyaknya konflik yang timbul didaerah dan menggunakan agama sebagai alasannya, walaupun awal permasalahan sebenarnya merupakan konflik politik daerah ataupun konflik-konflik antar kelompok preman. Namun berkembang menjadi sebuah konflik besar dan sangat disayangkan menjadi sebuah konflik agama. Kebebasan pers yang memberikan kesempatan masyarakat untuk melihat secara langsung konflik yang terjadi, memahami konflik yang terjadi dengan cara yang berbeda. Timbul sentimen-sentimen anti agama lain dikalangan masyarakat yang kebetulan daerahnya tidak menjadi ajang konflik. Selain itu, ketidak berdayaan pemerintah dalam menyelesaikan konflik memberikan kesan kepada masyarakat bahwa pemerintah tidak dapat diharapkan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Organisasi-organisasi radikal melakukan mobilisasi untuk memberikan bantuan kepada saudara seagama yang menjadi korban konflik. Sehingga malah semakin memperparah konflik yang terjadi di maluku dan Sulawesi Tengah.
Radakalisme organisasi-organisasi kemasyarakatan yang mengusung nama Islam juga tidak lepas dari ketidak seimbangan politik Internasional yang terjadi di era 1999 hingga tahun 2000-an. Konflik Israel-Palestina, penyerangan Amerika terhadap Irak dan Afganistan setelah 11 November 2001, turut membangkitkan radikalisme yang terjadi di tanah air. Dan yang terparah terjadinya beberapa kali serangan teroris di Indonesia yang didanai oleh pihak Islam radikal di luar negeri. Dan lagi-lagi pemerintah membutuhkan waktu cukup lama untuk menyelesaikan kasus ini.
Kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas
            Akibat-akibat dari radikalisasi yang terjadi dalam kelompok-kelompok organisasi Islam, saat ini telah memberikan hasil yang buruk terhadap perkembangan toleransi antar umat beragama di Indonesia. Timbulnya kasus-kasus penyerangan terhadap kelompok minoritas atau kelompok yang dianggap sesat semakin sering terjadi beberapa tahun belakangan ini. Mulai dari kasus-kasus penyegelan beberapa gereja HKBP di Bekasi, Gereja PGI di perumahan Yasmin, Bogor, maupun penyerangan terhadap jamah Ahamadiyah telah memberikan gamabaran mengenai meningkatnya aktivitas organisasi radikal di Indonesia. Kasus paling parah terjadi di Pandeglang Banten, dimana kasus penyerangan FPI terhadap jamaah Ahmadiyah yang mengakibatkan tiga orang meninggal dunia, beberapa rumah dan kendaraan rusak berat.
            Kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas ternyata bukan hanya dilakukan oleh organisasi-organanisasi radikal Islam, tetapi juga secara sadar atau tidak, banyak aparat pemerintah baik daerah dan pusat maupun aparat keamanan turut terlibat dalam kekerasan terhadap kelompok agama minoritas. Laporan yang dirilis oleh Wahid Institut menggambarkan bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh aparat pemerintah seperti pembiaran perusakan rumah ibadah, pelarangan beribadah oleh aparat keamanan atau pihak terkait terhadap kelompok agama dan kepercayaan sebanyak 22%. Pelarangan kegiatan beribadah atau ekspresi keyakinan dari kelompok agama atau kepercayaan, sebanyak 8%. Pelarangan/pembatasan rumah ibadah sebanyak 30%. Pelarangan atau pemaksaan keyakinan sebanyak 40%. Berdasarkan
            Aksi-aksi anarkis yang sering terjadi terhadap kelompok minoritas, menjadi sebuah bukti ancaman terhadap toleransi beragama dimasyarakat. Para korban biasanya banyak mengalami kerugian seperti kehilangan rumah tinggal, tidak memiliki hak untuk melakukan ritual agamanya, kehiliangan nyawa, bahkan yang paling ironis adalah kehilangan hak sebagai warga negara di negaranya sendiri. Hal ini terjadi pada korban Ahamdiyah Lombok, dimana setalh terjadi perusakan, para jemaah ini mengalami sebuah pengusiran dari tanah mereka sendiri, kesulitana mendapat mendapat hak-hak sipil seperti KTP. Tidak memiliki KTP berarti para jamaah Ahmadiyah tidak memiliki kesempatan untuk mengakses fasilitas pemerintah seperti kesehatan, dan pelayanan dasar lainnya. Namun yang mengherankan adalah kurangnya perhatian pemerintah daerah dalam menyelesaikan pertikaian dan memberikan hak-hak dasar mereka sebagai warga negara. 
Timbulnya perda-perda syariah
Tantangan terhadap kemajemukan masyarakat, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, juga datang dari positivisme hukum-hukum Islam kedalam perundang-undangan dan peraturan-peraturan daerah.
Tabel 1
Karakteristik Implementasi Syariat dalam Hukum Nasional

Bidang/ masalah yang diatur
Jenis Perundang-undangan
1.
Hukum Keluarga (Perkawinan, Perceraian, dan Warisan)
·         Undang-Undang No. 1/1974 Tentang Perkawinan
·         Undang-Undanga No. 7/1989 tentang Peradialan Agama.
·         Inpres No. 1/ 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
2.
Hukum Ekonomi dan Keuangan
·         Undang-Undang No. 7/1992 tentang Perbankan yang diamandemen oleh Undang-Undang No. 10/ 1998
·         Undang-Undang No. 38/ 1999 tentang pengelolaan Zakat
·         Undang-Undang No. 41/ 2004 tentang wakaf
3.
Hukum Pidana
·         Perda-perda yang bernuasa Syariat dibeberapa daerah (pelacuran, perjudian, minuman keras, dan pengaturan moralitas publik)
4.
Praktik Ritual Keagamaan
·         Undang-undang penyelenggaraan Haji
5.
Simbol-simbol keagamaan
·         Perda-perda yang bernuansa syariat di beberapa daerah (busana muslim, dll)
sumber : Setara, Desember 2010
Tabel 1, memperlihatkan mengenai bahasan utama dari masalah-masalah syariat Islam yang masuk kedalam perundang-undangan nasional. undang-undang maupun perda syariat sering dijadikan sebuah legitimasi baik pemerintah maupun kelompok organisasi Radikal untuk melakukan tindakan intoleransi. Sebagai contoh, perda anti maksiat yang banyak di jumpai di beberapa daerah di Jawa Barat, sering menimbulkan aksi dan kekerasan sepihak oleh organisasi-organisasi Radikal dengan melakukan aksi sweeping terhadap para pedagang kecil maupun tempat-tempat hiburan malam. Yang anehnya adalah para kelompok organisasi radikal ini sama sekali tidak memiliki hak dalam melakukan aksi tersebut.
            Dampak yang sangat terasa akibat dari aksi sepihak tersebut adalah banyak masyarakat yang kehilangan mata pencaharian karena kerusakan dari tempat usaha mereka. Tentu saja, sekali lagi tindakan-tindakan kekerasan ini melanggar hak-hak dan kesempatan masyarakat dalam mencari kebutuhan hidupnya. Sedangkan aparat keamanan yang memiliki mandat mengatur ketertiban umum, malah diam seribu kata tanpa adanya tindakan hukum terhadap aksi-aksi kekerasan tersebut.
            Proses radikalisasi organisasi Islam hingga tindakan aksi main hakim dan seringnya para kelompok radikal mengambil alih peran aparat keamanan memperlihatkan adanya ancaman terhadap falsafah Pancasila yang menjunjung keberagaman. Selain itu aksi-aksi ini mencerminkan adanya pelanggaran terhadap konsensus bersama yaitu Undang-Undang Dasar 1945, karena melanggar hak-hak warganegara lainnya tanpa melalui proses hukum yang jelas. Ancaman terhadap Pancasila dan Konstitusi negara juga disebabkan karena tidak tegasnya pemerintah dalam menindak aksi-aksi jalanan tersebut, dan adanya pembiaran berkembangnya kelompok-kelompok radikal intoleran dimasyarakat. Jika hal ini terus berlanjut, maka ancaman terhadap integrasi bangsa akan semakin besar dan potensial sekali dapat meruntuhkan pemerintah dan negara.
Perlindungan terhadap kebebasan beragama oleh konstitusi
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 merupakan kostitusi Negara yang dijadikan sebagai peraturan tertinggi dalam menjalankan kehidupan bernegara di Republik Indonesia. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, terlihat jelas bahwa tujuan dari bangsa Indoensia adalah “...kedaulatan rakyat yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Hal ini menyiratkan bahwa konstitusi Negara Indonesia mengakui adanya hak asasi warga negara dalam mewujudkan suatu keadilan sosial bagi Rakyat Indonesia. Terkait dengan kebebasan beragama, pasal 28 (e) dan 29 Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan hak dan jaminan warga negara dalam memilih dan melaksanakan agamanya. Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 yang berbunyi : (1)”Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memlilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”, (2)”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya” sedangkan pasal 29 ayat 1 dan 2 Undang-Undang 1945 juga menjelaskan: “(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Selain pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, undang-undang yang berkait dengan hak masyarakat untuk beragama terdapat dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 22 yang menyatakan : “(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Sedangkan tanggung jawab dalam melindungi, mamajukan dan penegakan hak asasi manusia menjadi tugas negara khususnya pemerintah. Pernyataan ini terdapat dalam pasal 8 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 maupun pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999, memberikan penjelasan yang amat gamblang mengenai hak beragama yang merupakan sebuah pilihan individu, dan negara hanya sebagai fasilitator dalam menyediakan sarana keberlangsungan hak warga negara untuk memilih agama dan menjalankan agamanya. Namun, beberapa peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang Dasar 1945, maupun Undang-Undang yang telah berlaku, malah menyimpang jauh dari kaidah aturan yang lebih tinggi mengenai hak beragama. Seperti SKB tiga menteri yang membatasi hak beragama dari jemaah Ahamdiyah dalam melakukan aktivitas peribadatan mereka. Isi SKB tiga menteri adalah sebagai berikut : (1) Memberi peringatan dan memerintahkan untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai dengan UU No. 1 PNPS 1965. (2)  Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus jemaat Ahamdiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam pada umumnya. (3) Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus Jamaah Ahmadiyah yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenai sangsi sesuai peraturan perundangan. (4) Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI. (5) Memberi peringatan dan memerintahkan kepada semua warga yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku. (6) Memerintahkan setiap pemerintah daerah agar melakukan pembinaan terhadap keputusan ini. (7) Keputusan ini berlaku sejak ditetapkan, 09 Juni 2008.
Seperti yang telah di kemukakan diatas ternyata SKB 3 Menteri malah menambah persoalan terhadap diskriminasi Jamaah Ahamdiyah. Selain itu surat keputusan bersama ini mencerminkan intervensi pemerintah terhadap hak warga negara dalam beragama, dimana seharusnya pemerintah melindungi keberlangsungan agama-agama yang dianut oleh setiap warga negara Indonesia. Surat keputusan tersebut juga melibatkan pemerintah daerah yang juga semakin memperuncing permasalahan, seperti lahirnya Peraturan Gubernur di beberapa Provinsi yang melarang aktivitas Jamaah Ahamdiyah. Sekali lagi baik pemerintah pusat maupun daerah memperlihatkan intervensi pemerintah terhadap hak yang paling individu dari warga negara yaitu beragama melalui pelarangan aktivitas beragama. Kebijakan pemerintah tersebut menjadi sebuah pelanggaran terhadap HAM dan konsensus bersama Negara Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sekaligus filosofi negara yaitu Pancasila. Pemerintah sendiri memiliki hak untuk melakukan sebuah intervensi dan pembatasan bagi agama maupun kepercayaan, tetapi hal ini terbatas pada ruang-ruang tertentu saja. Ruang-ruang tersebut mencakup lima elemen yaitu : hal yang berkaitan dengan keselamatan masyarakat; hal yang berkaitan dengan ketertiban umum; hal berkaitan dengan kesehatan masyarakat; hal yang berkaitan dengan etik dan moral masyarakat; dan hal yang berkaitan dengan perlindungan terhadap kebebasan mendasar orang lain. Secara terperinci dapat di jelaskan sebagai berikut:
1.      Restriction For The Protection of Public Safety (Pembatasan untuk Melindungi Keselamatan Masyarakat). Dibenarkan pembatasan dan larangan terhadap ajaran agama yang membahayakan keselamatan pemeluknya. Contohnya, ajaran agama yang ekstrim, misalnya menyuruh untuk bunuh diri, baik secara individu maupun secara massal. Atau ajaran agama yang melarang penganutnya memakai helm pelindung kepala dalam berkendaraan.
2.      Restriction For The Protection of Public Order (Pembatasan untuk Melindungi Ketertiban Masyarakat). Pembatasan kebebasan memanifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum atau masyarakat. Di antaranya, aturan tentang keharusan mendaftar ke badan hukum bagi organisasi keagamaan masyarakat; keharusan mendapatkan ijin untuk melakukan rapat umum; keharusan mendirikan tempat ibadat hanya pada lokasi yang diperuntukkan untuk umum; dan aturan pembatasan kebebasan menjalankan agama bagi nara pidana.
  1. Restriction For The Protection of Public Health (Pembatasan untuk Melindungi Kesehatan Masyarakat). Pembatasan yang diijinkan berkaitan dengan kesehatan publik dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemi atau penyakit lainnya. Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, Pemerintah dapat mewajibkan petani yang bekerja secara harian untuk menjadi anggota askes guna mencegah penularan penyakit berbahaya, seperti TBC. Bagaimana pemerintah harus bersikap seandainya ada ajaran agama tertentu yang melarang vaksinasi, transfusi darah, melarang penggunaan infus dan seterusnya. Demikian pula, misalnya larangan terhadap ajaran agama yang mengharuskan penganutnya berpuasa sepanjang masa karena dikhawatirkan akan mengancam kesehatan mereka.
  1. Restriction For The Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi Moral Masyarakat). Misalnya, melarang implementasi ajaran agama yang menyuruh penganutnya bertelanjang bulat ketika melakukan ritual.
  1. Restriction For The Protection of The Fundamental Rigths and Freedom of Others (Pembatasan untuk melindungi kebebasan dasar dan kebebasan orang lain).
(1) Proselytism (Penyebaran Agama): Dengan adanya hukuman terhadap tindakan proselytism, pemerintah dapat mencampuri kebebasan seseorang di dalam memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas misionaris di dalam rangka melindungi agar kebebasan beragama orang lain tidak terganggu atau dikonversikan.
(2) Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain, khususnya hak untuk hidup, hak kebebasan dari kekerasan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga eksploitasi hak-hak kaum minoritas.
Kesimpulan
            Sejarah Indonesia menggambarkan kemajemukan kebudayaan masyarakat, etnis dan agama yang telah ada selama berabad-abad. Sejak kemerdekaan Indonesia, kemajemukan ini menjadi pilar dasar berdirinya bangsa Indonesia dan hal ini di tetapkan melalui sebuah filosofi dasar (filosofische grondslag) yaitu Pancasila yang telah di sepakati bersama. Selain itu juga terdapat aturan dasar atau konsensus bersama yang mengatur tata hidup bangsa Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi pokok utama kesepakatan bangsa Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia yang majemuk.
            Timbulnya gerakan-gerakan dan organisasi-organisasi radikal yang mengatasnamakan agama dan cendrung bersikap intoleran terhadap warga negara lain yang kebetulan berbeda agama, membuat terganggunya kehidupan masyarakat majemuk menjadi terancam. Tindakan-tindakan yang diambil oleh gerakan-gerakan maupun organisasi-organisasi radikal sangat bertentangan dengan konsensus bersama dan terus terang melanggar hak-hak warga negara lainnya dalam menjalankan agama dan peribadatan mereka di negara tercinta ini.
Lemahnya pemerintah dalam menjamin hal pokok yaitu keamanan bagi setiap warga negara yang menjalankan ibadahnya juga turut memperparah kasus-kasus intoleransi yang terjadi. Ini sangat merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara karena mengancam kemajemukan masyarakat Indonesia yang selama ini terkenal dengan warisan sikap toleransinya yang tinggi.
Pemerintah harus segera mengambil sebuah tindakan untuk meredam aksi-aksi provokatif dan tindakan anarkis yang menyalahi aturan hukum yang berlaku di Indonesia guna menjamin berjalannya hak-hak dasar dari setiap warga negara dalam menjalankan ibadahnya dan juga menjamin tetap bertahannya kemajemukan masyarakat Indonesia. Penyediaan jaminan keamanan yang mendasar kepada warga negara, dan kelompok minoritas menjadi sebuah faktor penting yang dapat menjamin berlangsungnya kehidupan bernegara di Indonesia yang majemuk ini. Selain itu, pembatasan kepada kelompok-kelompok yang bertindak anarkis dengan mengatasnamakan agama, harus segera dilaksanakan sehingga tercipta tertib hukum sesuai konstitusi dan falsafah pancasila. Tidak ada kelompok yang lebih kuat dari sebuah negara, dan negara sebagai sebuah pelaksana Undang-Undang harus dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada warganegaranya.

DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, 2005. Ideologi, pancasila, dan Konstitusi. (www.jimly.com/pemikiran/makalah, diunduh tanggal 3 Maret 2011).
Dari www.wikipedia.org, Kakawinan Sutasoma, Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Kakawin_Sutasoma (diakses tanggal 3 Maret 2011).
Dari www.wikipedia.org, kedatangan dan Penyebaran Agama Islam di Nusntara. http://id.wikipedia.org/wiki/Penyebaran_agama_islam_di_nusantara (diakses tanggal 3 Maret 2011).
Dari www.wikipedia.org, Majapahit, (http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit#Kebudayaan, diakses tanggal 3 Maret 2011).
Dari www.wikipedia.org, Sriwijaya, (http://id.wikipedia.org/wiki/Sriwijaya, diakses tanggal 3 Maret 2011).
Hasani, Ismail, 2010, Radikalisme Agama di jabodetabek dan jawa Barat : Implikasi Terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan. Jakarta. Publikasi Setara Institut.
Republik Indonesia, 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI. (http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45, diakses tanggal 3 Maret 2011).
Republik Indonesia,1999.Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Jakarta.(http://legislasi.mahkamahagung.go.id/docs/UU/1999/UU%20NO%2039%20TH%201999.pdf, diunduh tanggal 3 Maret 2011).

Republik Indonesia, 2008, Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahamdiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat , (http://pormadi.wordpress.com/2008/06/13/skb-ahmadiyah-peringatan-dan-perintah-kepada-penganut-anggota-danatau/ , diunduh tanggal 7 Maret 2011)

Soekarno, 1945, Pidato Sukarno di hadapan sidang BPUPKI: Lahirnya Pancasila. (http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id/speeches_clipping/, diakses tanggal 3 Maret 2011).
Sentot, Mochamad, 2010, Jaminan Kebebasan Beragama Dalam Revisi KUHP. (http://mochamad-sentot.blogspot.com/2010/03/analisa-ruu-kamnas.html, diakses tanggal 3 Maret 2011).
Wahid, Abdurahman, 2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta. The Wahid Institut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar