Senin, 08 Oktober 2012

Kualitas Semu Pertumbuhan Ekonomi Indonesia


Kualitas Semu Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Pidato Menteri Kuangan RI pada RAPBN 2011, mengemukakan ada enam indikator makro pertumbuhan ekonomi Indonesia diantaranya adalah IHSG, net capital inflow saham, ekspor impor, cadangan devisa, nilai tukar dan inflasi[1]. Ada sebuah optimisme melihat indikator perkonomian Indonesia, sehingga pada tahun 2012 banyak kalangan yang mengestimasi pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 6,7%. Namun kecermelangan ekonomi Indonesia jika diperdalam lebih jauh bukan-lah merupakan hasil kerja keras pemerintah, tetapi adalah sebuah efek dari kebingungan para pemilik modal untuk menyelamatkan dananya. Tingginya capital inflow yang masuk ke-Indonesia hanya memberikan efek yang kecil terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Beberapa indikator perekonomian yang dijadikan acuan kemajuan perekonomian Indonesia pada kenyataannya tidak mencerminkan kondisi riil ekonomi ditingkat masyarakat. Kita dapat melihat salah satu indikator ekonomi seperti IHSG, dimana indeks tersebut sangat fluktuatif akibat keluar masuknya dana asing ke Indonesia. Kenaikan IHSG tidak mencerminkan adanya pertambahan produksi ataupun investasi di Indonesia, hal tersebut hanya berimplikasi kepada nilai perusahaan-perusahaan yang sudah ada dan tidak memberikan tambahan produksi ataupun investasi baru. Dana yang masuk kesektor keuangan dan pasar modal tersebut juga hanya dinikmati oleh para pemilik perusahaan (pemegang saham) dan orang-orang yang bekerja di sektor tersebut yang berasal dari  menengah keatas, sedangkan masyarakat lainnya yang hidup dipedesaan dan masyarakat miskin perkotaan tidak pernah menikmati apalagi mengerti mengenai perubahan angka-angka tersebut. Walaupun banyak pengamat ekonomi yang optimis dengan ekonomi indonesia selama ini, namun ditingkatan mikro, kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya.
Jika melihat pembagian pendapatan domestik bruto tahun 2010 kepada seluruh penduduk Indonesia maka kita mendapatkan, 40% penduduk termiskin hanya mendapatkan 19,41 % PDB Indonesia[2], 40% penduduk dengan pendapatan menengah mendapatkan 37,45% PDB, dan 20% penduduk terkaya atau sekitar 47,4 juta orang penduduk kaya menguasai PDB Indonesia sebesar 43,14%. Selama lima tahun sejak 2006, ternyata terjadi kenaikan kesenjangan pendapatan diantara masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dengan kenaikan indeks gini dari 0,33 ditahun 2006 menjadi 0,38 ditahun 2010. Kenaikan pendapatan nasional yang tinggi pun tidak menjamin adanya pemerataan dan pengurangan tingkat kemiskinan di tengah-tengah masyarakat.

Tabel 1, Indikator Ekonomi Indonesia 2007-2010
Indikator
2007
2008
2009
2010
GDP Constan
            1.964.327,3
               2.082.456,1
            2.177.741,7
               2.310.689,8
Pertumbuhan
                      0,0635
                         0,0601
                      0,0458
                         0,0610
Inflasi
                           6,59
                           11,06
                           2,78
                             6,96
Nilai Ekspor Non Migas (ribua USD)
              92.598.084
              106.843.157
              98.441.113
              128.692.002
Nilai Impor Non Migas (ribu USD)
              71.599.315
                99.971.610
              77.039.384
              106.771.535
FDI (juta USD)
                        6.928
                           9.318
                        4.876
                         13.303
Kurs rupiah terhadap USD (Desember)
                        9.419
                         10.950
                        9.400
                           8.991
IHSG Desember to Desember
2.746
1.355
2.354
3.704
Sumber: diolah dari data BPS, dan BI berbagai tahun
Tidak salah jika Presiden KH Abdulrahman Wahid pun menilai bahwa saat ini pemerintah tidak memiliki orientasi dan arah pembangunan yang jelas[3]. Menurut Prof. Hendrawan Supratikno, penilaian Presiden KH. Abdulrahman Wahid mengenai pembangunan saat ini cendrung untuk menguntungkan golongan elit. yang kaya makin kaya dan yang melarat makin tertinggal. Aspek pemerataan diabaikan. Secara nominal ekonomi, banyak para analis kebijakan makro melihat bahwa standar kesejahteraan dilihat melalui tingkat pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Namun pertumbuhan ekonomi seperti apakah yang dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat sebuah negara itu harus dilihat? Salah satu jawaban mungkin adalah pertumbuhan ekonomi yang berkualitas yang dapat menurunkan tingkat kemiskinan, dan pengangguran dimasyarakat. Banyak kalangan ekonom mempercayai dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara tidak langsung akan menurukan tingkat kemiskinan masyarakat melalui efek menetes dalam perekonomian. Pada kenyataannya, hal tersebut tidak pernah terjadi. Sejak Indonesia didera oleh krisis keuangan 1998, dan tumbangnya rezim Suharto, banyak masyarakat yang menaruh harapan akan adanya kesamaan kesempatan untuk mendapatkan kesejahteraan, namun dengan melemahnya peran pemerintah, peran-peran ekonomi diambil alih oleh kekuatan-kekuatan pemilik modal yang mampu menguasai struktur pasar. Seperti melemahnya bulog dalam mengatur pasar bahan makanan pokok dimasyarakat, dan saat ini peran tersebut diambil alih oleh pedagang-pedagang besar yang menguasai sumber-sumber beras petani, maupun gula dan juga memiliki kekuatan untuk memasarkan beras dan gula di masyarakat. Jumlah pedagang besar yang berkecimpung dalam pasar ini tidak lah banyak dan dapat dihitung dengan jari, namun mereka menguasai struktur pasar pertanian sehingga mampu mengintervensi harga produk-produk pertanian dan pola struktur pasar yang bersifat kartel inilah yang membuat masyarakat petani mendapatkan pendapatan yang rendah dan masyarakat miskin kota kehilangan daya belinya dikarenakan harga-harga makanan yang mahal. Dimana kah peran pemerintah? Selama ini pemerintah tidak mampu untuk mengatur pasar dan membuka peluang untuk memperbanyak distributor-distributor baru, ataupun memberikan petani untuk dapat berproduksi dan menjual langsung hasil bumi mereka. Pemerintah menjadi lemah dalam mengatasi para kartel penguasa pasar bahan makanan ini.

Pertumbuhan Ekonomi
            Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas harus dapat mengurangi kemiskinan dan tingkat pengangguran dimasyarakat. Teori pertumbuhan yang dikemukakan oleh Solow, GDP tidak hanya di pengaruhi oleh input tenaga kerja dan modal namun juga dipengaruhi oleh input sumber daya alam seperti pertanian, dan barang tambang lainnya[4]. Sedangkan dalam teori pertumbuhan dengan memperluas model Solow dengan memasukkan human capital, selain kapital (K) dan efektifitas tenaga kerja (A)[5]. Secara sederhana model pertumbuhan endogen dapat dilihat sebagai berikut:


Y = K(t)α[A(t)H(t)] 1-α

Model ini merupakan perluasan dari model pertumbuhan Solow dimana H merupakan total produktifitas jasa yang disumbang oleh tenaga kerja, atau dapat dibilang kontribusi pekerja dari tingkat kemampuan yang berbeda terhadap produksi. Sedangkan H(t) merupakan fungsi dari :
H(t)= L(t)G(E)
 
Dimana L(t) merupakan jumlah tenaga kerja pada waktu t,  G merupakan fungsi dari lama pendidikan per pekerja, dan E menjelaskan tingkat pendidikan yang sama yang diterima oleh pekerja.
Perluasan model Solow diatas menunjukkan bahwa peningkatan output ekonomi, selain akumulasi dari kapital juga adanya kontribusi dari akumulasi jumlah tenaga kerja yang memiliki tingkat pendidikan dan keahlian dalam perekonomian. Sehingga kita dapat melihat untuk mendapatkan tingkat pertumbuhan yang cukup baik, maka seharusnya ada perhatian yang cukup terhadap tingkat pendidikan terhadap angkatan kerja. Salin itu dalam persamaan solow juga melihat bahwa adanya kebutuhan untuk melakukan investasi langsung yang dapat menambah barang-barang modal dalam produksi output dalam perekonomian Indonesia. pertambahan barang-barang modal ini dapat terjadi melalui investasi pemerintah, investasi swasta dan investasi luarnegeri secara langsung disektor riil.
Model lain pertumbuhan ekonomi yang dibangun oleh Kremer, yang disebut dengan Model of Endogenous Knowledge Accumalation, melihat variabel-variabel seperti teknologi, populasi dan pendapatan merupakan faktor yang mempengaruhi sejarah umat manusia. Kremer melihat bahwa dalam sejarah manusia pertumbuhan teknologi menjadi faktor utama pendorong peningkatan populasi umat manusia dibandingkan peningkantan pendapatan perorang[6].  Model formal Kremer:
Y = Tα[A(t)H(t)] 1-α

Dimana T merupakan stok tanah yang tetap jumlahnya, A merupakan teknologi dan L merupakan jumlah tenaga kerja. Dalam hal ini input kapital diacuhkan. Dari model ini terlihat bahwa peran pengembangan teknologi dan tenaga kerja yang menggunakan teknologi memberikan kontribusi terhadap pendapatan Y(t) dengan proporsi 1-. Perkembangan Teknologi yang didapat dengan mendorong peningkatan penelitian dan tentu saja pendidikan yang cukup bagi angkatan kerja akan mendorong pertambahan pendapatan yang lebih tinggi. Karena jika kita mengasumsikan stok tanah yang tetap maka tidak ada cara lain peningkatan output atau Y dengan meningkatkan teknologi dan skill angkatan kerja melalui pendidikan.

Dari dua model yang telah kita kemukakan diatas, kita dapat menilai bahwa seharusnya pemerintah membuat indikator yang lebih relevan dalam menilai kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia. PDB merupakan variabel hasil dari kegiatan ekonomi Indonesia, namun variabel input seharusnya menjadi tolak ukur pembangunan ekonomi Indonesia. variabel input adalah seperti, tingkat jumlah pengangguran, seberapa besar pendidikan yang berkualitas bagi masyarakat sehingga meningkatkan kemampuan angkatan kerja Indonesia, pengembangan penelitian yang mendorong produksi baru dan dapat digunakan oleh banyak masyarakat, dan produktifitas tanah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Balisacan (2003), yang melakukan studi mengenai pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Studi tersebut menemukan bahwa adanya hubungan kuat antara kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi, namun terdapat faktor lain yang membuat masayarakat miskin terpisah dari dampak pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Faktor tersebut adalah infrastruktur, sumberdaya manusia yang berkualitas, insentif harga pertanian, dan akses terhadap teknologi[7].
Sedangkan studi yang dilakukan oleh Suryahadi mengenai pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan et. All (2006), menemukan pertumbuhan pada sektor jasa dipedesaan menurunkan kemiskinan disemua sektor dipedesaan. Pertumbuhan sektor pertanian di pedesaan memberikan dampak yang cukup besar terhadap penurunan kemiskinan disektor pertanian pedesaan. Sehingga kebijakan cepat untuk menurunkan kemiskinan dipedesaan adalah dengan membangun sektor pertanian dipedesaan dan sektor jasa diperkotaan.
Dari ringkasan hasil penelitian yang dilakukan oleh Balisacan kita dapat melihat bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kebijakan pemerintas seharusnya ditargetkan untuk mencapai target-target pembangunan infrastruktur, pembangunan tingkat pendidikan, capaian terhadap penggunaan teknologi dan membenahi pasar disektor pertanian untuk meningkatkan insentif petani dan menstabilkan inflasi yang diakibatkan perubahan harga pangan. Seharusnya pemerintah membangun indikator-indikator baru perekonomian yang memasukkan variabel-variabel tersebut diatas dan bukan menekankan pada variabel semu seperti perubahan GDP, nilai tukar, dan Indeks saham. Sehingga indikator perekonomian seharusnya berisi Tingkat kemiskinan, jumlah pengangguran; jumlah infrastruktur yang telah dibangun; indeks pembangunan manusia, target pencapaian pendidikan; indeks jumlah teknologi yang dihasilkan dibidang pertanian, kelautan, pengolahan makanan, pertahanan, dll; inflasi, ekspor-impor, pemerataan kepemilikan aset dan akumulasi penggunaan kapital.

Ketidak merataan pertumbuhan Ekonomi
Kemiskinan merupakan suatu bentuk dari ketidak merataan pertumbuhan ekonomi. Seseorang dianggap miskin ketika pendaptan atau aksesnya terhadap barang dan jasa relatif rendah dibanding rata-rata orang lain dalam perekonomian tersebut. secara absolut, seseorang dinyatakan miskin apabila tingkat pendapatan atau standar hidupnya secara absolut berada dibawah tingkat subsiten. Tingkat subsiten merupakan batas garis kemiskinan[8] . Terbatasnya akses orang miskin terhadap barang dan jasa dapat terjadi karena kenaikan harga terhadap barang dan jasa akibat rendahnya infrastruktur distribusi, struktur pasar barang dan jasa yang kartelisasi ataupun semi monopoli sehingga membatasi masyarakat untuk mendapatkan output dalam perekonomian. Kenaikan harga-harga dikarenakan faktor-faktor tersebut mengurangi daya beli masyarakat sehingga masyarakat hanya mendapatkan barang-dan jasa dibawah batas subsiten. Kasus-kasus penguasaan pasar hanya kepada golongan tertentu banyak terjadi di Indonesia, sehingga hal seperti inilah yang membuat terjadinya ketidak seimbangan pemerataan pendapatan dan menimbulakn gap kesejahteraan yang cukup tinggi dimasyarakat. Dikebirinya kekuatan pemerintah dalam mengatur pasar tidak diikuti dengan peningkatan kekuatan badan-badan yang mengawasi persaingan bisnis, sehingga misal pasar bahan pokok di Indonesia malah dikuasai oleh para pemodal besar. Ketika pembukaan pasar terjadi, masyarakat bawah, baik petani, pedagang kecil, konsumen di paksa untuk bertarung bebas melawan para pemodal besar yang lambat laun menguasai pasar bahan makan pokok di Indonesia.
Tabel 2, Distribusi Pendapatan diantara Masyarakat Indonesia

2006
2007
2008
2009
2010
- 40 % penduduk dengan pendapatan terendah
19,75
19,1
19,56
21,22
19,41
- 40 % penduduk dengan pendapatan menengah
38,1
36,11
35,67
37,54
37,45
- 20 % penduduk dengan pendapatan tertinggi
42,15
44,79
44,77
41,24
43,14






Indeks Gini
0,33
0,36
0,35
0,37
0,38
Sumber: diolah dari data BPS
Ketidak merataan pendapatan diantara masyarakat di Indonesia dapat dilihat melalui Indeks Gini, dimana rasio berkisar antara 0 hingga 1, ketimpangan yang besar maka gini rasio akan mendekati 1 (satu) dan ketimpangan rendah maka gini rasio cendrung akan mendekati 0 (nol). Gini rasio Indonesia cendrung mengalami kenaikan sejak tahun 2006 hingga 2010. Hal ini menunjukkan selama lima tahun belakangan ini, perekonomian Indonesia mengalami ketidak merataan dan semakin tidak merata ditahun 2010. Dengan menggunakan ukuran bank Dunia, kategori kesenjangan rendah jika 40% penduduk miskin masih menikamati lebih dari 20% pendapatan domestik bruto[9], namun pada  tahun 2010 ternyata 40% penduduk miskin menikmati kurang dari 20% PDB Indonesia. Namun menurut prof Hendrawan (2011), data yang digunakan untuk menghitung indeks gini adalah menggunakan data pengeluaran konsumsi dan bukan data pendapatan yang memang tidak dimiliki oleh BPS. Sehingga angka-angkanya underestimate untuk mengukur ketimpangan. Jika dengan data pengeluaran saja terlihat keimpangan yang cukup besar dalam perekonomian Indonesia, maka dapat dipastikan jika menggunakan data pendapatan kita akan melihat ketimpangan pendapatan yang luar biasa didalam masyarakat Indonesia. sedangkan menurut Dr. Rizal Ramli, jika dilihat saat ini penjualan kendaraan bermotor meningkat pesat bukan karena adanya kenaikan daya beli masyarakat, namun yang terjadi adalah mempermudah tatacara pemberian kredit dimasyarakat. Jika dahulu harga motor berkisar Rp. 10 juta sampai dengan Rp. 13 juta, namun dengan uang muka sebesar Rp. 3.000.000. Saat ini masyarakat dengan mudah melakukan kredit motor hanya dengan uang muka yang lebih kecil[10] (garda). Sehingga dapat dilihat peningkatan konsumsi masyarakat dewasa ini lebih dikarenakan adanya kemudahan kredit konsumsi yang diberikan perbankkan ataupun lembaga keuangan kepada masyarakat. Jika dibiarkan lebih lanjut, akan menciptakan tingkat konsumsi semu dan akan mengalihkan beban konsumsi kepada tingkat risiko kredit macet yang kemungkinan dapat timbul di sektor perbankkan dan lembaga pembiayaan.
Tabel 3, Jumlah masyarakat miskin, batas garis kemiskinan dan lima Provinsi yang memiliki masyarakat miskin terbesar di Indonesia

Jumlah Penduduk Miskin
Total
Garsi Kemiskinan (Rp)

Kota
Desa

Kota
Desa
 Jumlah Tingkat Kemiskinan Di Indonesia
         11.097.800
   19.925.600
   31.023.400
   232.988
         192.354






Jawa Timur
           1.873.500
     3.655.800
     5.529.300
213.383
185.879
Jawa Tengah
           2.258.900
     3.110.200
     5.369.100
205606
179982
Jawa Barat
           2.350.500
     2.423.200
     4.773.700
212210
185335
Sumatera Utara
               689.000
         801.900
     1.490.900
247547
201810
Lampung
               301.700
     1.178.200
     1.479.900
236098
189954

Angkatan Kerja
Seperti yang telah dikemukakan diatas, akumulasi populasi penduduk merupakan sebuah aset bagi suatu negara untuk menambah kemajuan perekonomian sebuah negara, jika saja dimanage secara baik dan benar. Penduduk suatu negara dengan tingkan pendidikan yang tinggi dan ditambah dengan kemampuan mengembangkan teknologi menjadi sebuah prasyarat bagi suatu negara dalam mencapai kemakmuran. Berdasarkan data BPS persentase angkatan kerja yang bekerja adalah sebesar 93% ditahun 2011, dan hanya terdapat sekitar 8 juta orang yang menjadi pengangguran terbuka. Namun dari angkatan kerja yang dinyatakan bekerja memiliki pendidikan yang sangat minim SD dan kebanyakan bekerja di sektor informal seperti pertanian. Sehingga pekerja dengan pendidikan rendah sangat rawan untuk menjadi pengangguran kembali.         
Tabel 4, Penduduk Usia 15 tahun keatas Menurut Jenis Kegiatan Selama Seminggu yang Lalu (dalam juta), 2009-2011


2009
2010
2011

Februari
Agustus
Februari
Agustus
Februari
Penduduk usia diatas 15 tahun
168,26
169,32
171,02
172,07
170,661
Angkatan Kerja
113,74
113,83
116
116,53
119,4
Bekerja/Working
104,49
104,87
107,41
108,21
111,28
Pengangguran Terbuka
9,25
8,96
8,59
8,32
8,12






Bukan Angkatan Kerja
54,52
55,49
55,02
55,54
51,261
Pekerja Tak Penuh
31,36
31,57
32,8
33,27
34,19
Paruh Waktu
16,36
16,17
17,53
18,01
18,46
Setengah Penganggur
15,00
15,40
15,27
15,26
15,73

            Sumber: diolah dari data BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia
Pengangguran dalam suatu perekonomian memang dianggap menjadi sebuah hal yang given, karena tidak ada satupun sistem perekonomian disuatu negara yang tidak mengadung tingkat pengangguran. Namun seberapa besar tingkat pengangguran yang seharus nya dapat diterima ataupun jenis pengangguran seperti apa yang memang harus ada disebuah perekonomian? Pengangguran dapat dibilang jumlah angkatan kerja yang tidak diterima dipasar kerja pada waktu tertentu. BPS sendiri menghitung pengangguran terbuka sebagai perbandingan antara jumlah pencari kerja dengan jumlah angkatan kerja[11]. Sedangkan definisi bekerja menurut BPS adalah melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit 1 jam secara terus menerus dalam seminggu yang lalu (termasuk pekerja keluarga tanpa upah yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi).
Tabel 5, Usia 15 tahun keatas bekerja menurut lapangan usaha

2010
2011

Februari
Agustus
Februari

Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan
   26.593.072
   16.232.735
   26.173.138
   15.321.803
   25.881.434
   16.593.895
Pertambangan dan penggalian/Mining and quarrying
     1.056.495
         132.139
     1.104.949
         149.552
     1.208.056
         144.163
Industri pengolahan/Manufacturing industry
     7.360.527
     5.691.994
     7.826.231
     5.998.020
     7.965.235
     5.730.789
Listrik, gas dan air/Electricity, gas and water
         190.606
           17.888
         211.878
           22.192
         232.786
           24.484
Bangunan/Construction
     4.720.429
         124.260
     5.455.322
         137.575
     5.454.327
         136.757
Perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel
   10.655.295
   11.557.590
   11.400.719
   11.091.457
   11.478.854
   11.760.938
Angkutan, pergudangan dan komunikasi
     5.244.521
         573.159
     5.137.338
         481.684
     5.135.843
         449.281
Keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan
     1.150.790
         488.958
     1.228.141
         511.345
     1.455.258
         603.710
Jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan
     8.998.007
     6.617.107
     8.924.507
     7.031.916
     8.811.412
     8.214.522
Sumber: diolah dari data BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia
Dizaman orde baru setiap kenaikan PDB 1% akan mampu meneyerap sekitar 250 ribu-400 ribu pekerja dalam perekonomian, namun saat ini kenaikan 1% PDB hanya mampu menyerap aangkatan kerja sebanyak 50,000 orang saja[12]. Jika dilihat, perubahan pengangguran selama beberapa tahun terakhir, ternyata tidak ada perubahan berarti dalam pengurangan pengangguran. Selain itu ada sebuah kebiasaan di Indonesia, data pengangguran cendrung turun ketika musim tanam padi dimulai karena banyak tenaga kerja terserap untuk bekerja disektor pertanian. Hal ini juga ditunjukkan oleh besarnya sektor pertanian dalam menampung tenaga kerja di Indonesia. Selain itu jumlah angkatan yang bekerja pun terbanyak memiliki pendidikan minim, sehingga sangat rawan untuk keluar masuk pasar kerja. Tahun 2011 sekitar 28% pekerja merupakan lulusan SD dan hanya 7,96% yang berpendidikan universitas. Sedangkan sektor terbesar yang dapat menyerap tenaga kerja adalah pertanian dan kedua adalah sektor perdagangan. Seperti yang kita tau sektor pertanian dan perdagangan kebanyak merupakan sektor informal, dimana sektor pertanian lebih banyak meneyerap buruh tani yang pada dasarnya tidak memiliki standar pengupahan yang jelas dibandingkan dengan buruh industri. Sedangkan disektor perdagangan kebanyak tenaga kerja yang diserap bekerja sebagai penjaga toko dan lainnya yang dapat dibilang sebagai sektor UKM. Sehingga tenaga-kerja dikedua sektor ini sangat elastis karena kemungkinan keluar dan masuk sangatlah besar.
            Rendahnya kualitas angkatan kerja di Indonesia, tidak lepas dari kebijakan terhadap pendidikan yang belum memiliki tujuan jelas. Selama ini 20% APBN telah dialokasikan kesektor pendidikan, namun hingga saat ini efek dari shock APBN terhadap peningkatan kualitas masyarakat melalui pendidikan masih belum dapat dirasakan. Selama ini pun kebanyakan dana pendidikan hanya diperuntukkan untuk operasional dan masih belum pada peningkatan kualitas guru dan sarana pengajaran yang dibutuhkan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
UKM Sebagai Sektor Pendorong Ekonomi
Menteri UKM dan Koperasi Syarief Hasan mengatakan pada tahun 2009 nilai transakdi yang dilakukan oleh UKM sebesar Rp. 2.000 triliun[13], dengan perhitungan PDB nominal ditahun yang sama yaitu sebesar Rp. 5.603 triliun, maka sumbangan UKM terhadap PDB Indonesia adalah sebesar 36%, sedangkan ditahun 2006 sumbangan UKM terhadap PDB Indonesia mencapai 53%. Dimana transaksi UKM adalah sebesar Rp. 1.778,7 dengan perbandingan PDB Indonesia secara nominal sebesar Rp. 3.338,2 triliun[14]. Selama ini sektor UKM telah menyerap sebanyak 86,96% pasar tenaga kerja ditahun 2008, dengan peningkatan rata-rata pertahunnya sebesar 2,2%. Hal tersebut setara dengan 83 juta angkatan kerja[15]. Sektor-sektor UKM yang menjadi andalan bersal dari UKM yang bergerak di sektor Kerajinan, kelautan, dan pertanian[16]. Sedangkan Sektor konstruksi bangunan menjadi sektor didalam UKM yang memberikan kontribusi tertinggi ditahun 2006, diikuti oleh UKM yang bergerak disektor jasa-jasa dan UKM disektor pertambangan dan galian.
Tabel 6, Jumlah usah yang tidak berbadan hukum menurut sektor
(tidak termasuk sektor pertanian)

2000
2001
2002
2003
2004
Pertambangan dan Penggalian ; Listrik, Gas, dan Penyediaan air ; Konstruksi
         248.842
         287.657
         255.824
         253.146
         256.959
Industri Pengolahan
     2.598.704
     2.538.283
     2.728.700
     2.641.909
     2.671.660
Perdagangan Besar dan Eceran, Restoran dan Peneyediaan Akomodasi
     8.650.713
     8.450.211
     9.232.631
     9.228.487
   10.485.974
Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi
     1.855.149
     1.765.050
     1.926.668
     2.170.291
     2.307.423
Perantara Keuangan ; Real Estate,Usaha Persewaan dan Jasa Lainnya
     1.627.030
     1.619.444
     1.559.743
     1.490.226
     1.423.228
Semua Sektor Kecuali Sektor Pertanian
   14.980.438
   14.660.645
   15.703.566
   15.784.059
   17.145.244
Sumber: diolah dari data BPS,
Ditahun 2004 jumlah UKM yang bergerak diberbagai sektor berdasarkan data BPS adalah sebesar 17.145.244 unit usaha, dan UKM tidak memasukkan UKM disektor pertanian dengan jumlah tenaga kerja yang terserap adalah sebanyak 30,547,132 orang. Namun sayangnya dari beberapa pemberitaan yang ada menunjukka bahwa UKM masih dilihat sebelah mata. Kendala yang biasa dihadapi oleh para pengusaha UKM adalah sulitnya mendapatkan akses dana baik berupa pinjaman operasional, dan investasi. Hal ini tidak terlepas dari syarat pinjaman yang sering tidak dapat di penuhi oleh pengusaha UKM. Syarat tersebut biasanya berupa jaminan kredit, perhitungan keuangan, ijin mendirikan usaha dan kredibilitas pemilik usaha. Terkait dengan syarat jaminan usaha, kebanyaka UKM terutama yang berskala kecil, tentu tidak memiliki jaminan berupa aset untuk diagunkan. Jangankan memiliki tanah tempat tinggal saja terkadang para pengusaha ini masih menyewa. Sedangkan disisi manajemen usaha sendiri masih dibilang sangat sederhana, dengan perhitungan pemasukan harian dan tidak memiliki proyeksi pendapatan kedepan, membuat perbankkan sulit menilai kelayakan usaha UKM tersebut. Selain itu kebanyakan perbankkan dalam menyalurkan pinjamannya juga mensyaratkan ijin usaha minimal dari pihak kelurahan. Kendala ijin terkadang dikarenakan kebanyak UKM merupakan orang yang bukan warga setempat, sehingga tidak memiliki KTP yang sesuai dengan tempat usahanya berada. Bagi pihak kelurah yang mengeluarkan ijin usaha memandang bahwa pengusaha UKM yang bukan berasal dari warga setempat tidak dapat untuk diberikan ijin. Hal inilah juga yang menjadi permasalahan bagi UKM. Untuk itu kebanyakan pengusaha UKM lebih memilih mendapatkan pinjaman dari para rentenir atau lembaga keuangan mikro yang tentu memberikan bunga yang cukup tinggi dari bank umum nasional.
Banyaknya kendala yang dihadapi oleh UKM membuat sektor UKM jalan ditempat, mereka tidak dapat mengembangkan usahanya menjadi lebih formal. Selain kurangnya kemampuan manajemen juga biaya operasional yang tinggi dan tentu saja biaya bunga yang juga tinggi menjadi sebuah kendala besar bagi perkembangan UKM. Tidak adanya insentif dari pemerintah, dan kurangnya advokasi membuat UKM seperti dianak tirikan, padahal sumbangan yang diberikan terhadap pembangunan cukup besar. Disini juga terlihat bahwa adanya ketidak seimbangan keberpihakan pemerintah. Pemerintah lebih mengutamakan memberikan fasilitas yang banyak terhadap pengusaha besar dan investor asing, sehingga yang terjadi adalah akumulasi keuntungan hanya kepada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki modal besar dan pihak asing saja.
Kesimpulan
Jika Rizal Ramli menilai kesalahan pembangunan Indonesia saat ini adalah dilevel kepemimpinan yang lemah karena tidak memiliki kemampuan konsepsional maupun opreasional(Garda), sehingga yang terjadi adalah tidak terbaginya secara merta kesejahteraan perekonomian Indonesia keapada setiap warga masyarakat. Selain itu jika dilihat dari Indikator pertumbuhan ekonomi, maka diatas kertas pertumbuhan perekonomian Indonesia tampak cerah dan cemerlang, yang ditunjukkan oleh kenaikan pertumbuhan PDB, IHSG dan capital inflow dari luar negeri. Namun pada kenyataannya tidak terjadi pemerataan pembangunan hal tersebut dilihat dengan semakin timpangnya indeks gini dari tahun ketahun.
Besarnya angka kemiskinan penduduk Indonesia menunjukkan adanya ketidak merataan pendapatan. Pembangunan yang terjadi cendrung hanya berpihak kepada pemilik modal saja, sehingga akumulasi pendapatan hanya berkumpul kepada sebagian masyarakat kaya. Sedangkan disisi ketenaga kerjaan rata-rata tingkat pengangguran Indonesia adalah sebesar 8 juta orang pertahun dari angkatan kerja. Itupun angkatan kerja yang memiliki pekerjaan dalam satu minggu terakhir hanya diserap oleh sektor UKM yang pada dasarnya saat ini telah menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Seharunya Presiden SBY memberikan ucapan terimakasih nya kepada masyarakat UKM yang telah membantu menciptakan programnya yang terkenal dengan Pro Growth, dan Pro Job.
Selain itu perekonomian Indonesia selama ini masih digerakkan oleh sektor informal, hal tersebut ditunjukkan oleh kontribusi UKM kepada PDB yang mencapai 53% ditahun 2006. Sektor UKM pun mampu menjadi peneyelamat rakyat Indonesia dalam mencari pekerjaan karena mampu menyerap 83 juta pekerja. Hingga saat ini pun kendala pembangunan Sektor UKM masih belum dapat terpecahkan, terutama sekali mengenai permasalahan permodalan, dan peningkatan kualitas mmenejemen. Namun sayang sekali dari beberpa pemberitaan, saat ini pemerintah hanya mampu menjadi tempat pencatatan jumlah UKM saja tanpa mampu memberikan perencanaan ataupun strategi untuk mendorong pertumbuhan UKM dan memformalkan usaha mereka.

Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik Indonesia, “Perkembangan Bebebrapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia”, BPS, Agustus 2011.
Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia berbagai tahun, www.bi.go.id, diunduh Desember 2011.
Badan Pusat Statistik Indonesia, Data Statistik berbagai tahun, www.bps.go.id, diunduh Desember 2011.
Romer, David, Advance Macroeconomics, McGraw-Hill, New York, 2006.
Supratikno, Hendrawan, Ekonomi Nurani VS Ekonomi Naluri, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2011.
Siregar, Hermanto, dkk, Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin, Brighten Institute, Bogor.
Rizal Ramli,”Kepemimpinan Lemah Rezim Sangat Korup”, Majalah GARDA, No. 314. Tahun XII, Desember 2011.
Okezone.com, “6 Indikator Perbaikan Ekonomi RI di 2011”, www.okezone.com, 1 September 2010.
Media Indonesia, “UKM Mampu Tumbuh 2,69% Pertahun, www.mediaindonesia.com, rabu, 10 Agustus 2010.
Tribun Jabar, Kontribusi UKM Bagi PDB Besar, www.tribunjabar.com, 1 April 2010
Detik Finance, “sektor UKM Beri Kontribusi 53,3% PDB 2006”, www.detik.com, 16 Maret 2007.



[1] www.okezone.com
[2] Indikator Konsumsi Terpilih, Indonesia 1999, 2002-2010, www.bps.go.id
[3] Pandangan Presiden Abdulrahman Wahid dikemukakan dalam ceramah catatan akhir tahun yang diadakan oleh DPP PKB tahun 2007, Supratikno, Hendrawan, “Ekonomi Nuransi VS Ekonomi Naluri”, Jakarta, Yayasan Obor, 2011. Hal. 199
[4] Siregar, Hermanto, dkk, Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin, Brigthen Institut. Hal. 26

[5] Romer, David, Advance Macro Economics, third edition, McGraw-Hill, 2006. Hal 133
[6] Ibid.hal 128
[7] Siregar, Hermanto,dkk, op.cit. hal 26
[8] Siregar, Hermanto, dkk. Op.cit. hal 27
[9] Supratikni, Hendrawan, op.cit, hal 201
[10] Rizal Ramli,”Kepemimpinan Lemah Rezim Korup”, GARDA, Desember 2011, hal 12.
[11] “Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi”, BPS, Jakarta, Agustus 2011.
[12] Supratikni, Hendrawan, 2011. Op.cit. hal. 200
[13] Tribun Jabar “kontribusi UKM Bagi PDB Besar”, 1 April 2010, www.tribunjabar.co.id
[14] Detik Finance ”Sektor UKM Beri Kontribusi 53,3% PDB2006”, www.detik.com, 16 Maret 2007.
[15] Media Indonesia,” UKM Mampu Tumbuh 2,69% Pertahun”, www.mediaindonesia.com
[16] TribunJabar, Ibid. www.tribunjabar.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar