Selasa, 09 Oktober 2012

Indikator APBN yang Berpihak terhadap Pengurangan Kemiskinan





Pendahuluan
          Kesejahteraan masyarakat Indonesia merupakan salah satu amanat Uandang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (amandemen), yang hingga saat ini masih sukar untuk diwujudkan oleh pemerintah dan bangsa Indonesia. Dalam pembukaan alinea terakhir Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia 1945, menyatakan bahwa:

“Kemudian daripada itu untuk  membentuk suatu Pemerintah Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan  bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasaran kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. “

Alinea terakhir dari pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia ini dengan jelas menyatakan mengenai tujuan dari dibentuknya sebuah pemerintahan Negara Indonesia. Point-point penting dari tujuan pendirian negara Indonesia adalah kesejahteraan rakyat yang berdasarkan lima sila Pancasila. Sedangkan bagaimana cara negara Indonesia mewujudkan amant dari Undang-Undang Dasar 1945 terdapat dalam pasal-pasal yang ada didalamnya. Dalam sistem perekonomian yang sangat terkait dengan bagaimana Pemerintahan Negara Republik Indonesia mewujudkan kesejahteraan masyarakatanya, Undang-Undang Dasar menjelaskan dalam pasal 33 dan 34 Undang-Undang Dasar NKRI 1945. Dalam pasal 33 UUD 1945 NKRI, menjelaskan mengenai sistem perekonomian Indonesia, dimana pemerintah sebagai pemegang mutlak dari alat-alat produksi dan sumber-sumber daya alam yang digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  
          Namun dalam perjalanannya, pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibentuk, hingga saat ini masih belum mampu untuk mewujudkan kesejahteraan sosial untuk seluruh masyarakatnya. Jika kita melihat dari BPS mengenai angka kemiskinan Indonesia, pada tahun 2010 berada pada tingkat 13,33% dari jumlah penduduk turun sebesar 3,25% dari tahun 2007 atau rata-rata turun sebesar 1,08% pertahunnya selama 2007-2010. Tingkat kemiskinan 13,33% adalah angka yang termasuk tinggi untuk negara yang memiliki sumber alam yang cukup banyak seperti Indonesia dan dengan GDP yang dapat di bilang besar. Dari anggaran yang digelontorkan pemerintah melalui kegiatan PNPM selama tahun 2007-2010, pemerintah telah menggelontorkan dana pengentasan kemiskinan sebanyak Rp. 3,9 trilyun pada tahun 2007, Rp. 5,09 trilyun tahun 2008, naik menjadi Rp. 9,2 trilyun dan naik menjadi Rp. 11, 8 trilyun di tahun 2010. Dari anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan ternyata ada kenaikan biaya terhadap pengurangan kemiskinan. Seperti di tahun 2008 diperlukan biaya sebesar             Rp. 543.000 untuk mengurangi satu orang miskin dan menjadi Rp. 2.800.000 di tahun 2009 untuk mengurangi satu orang miskin.  Dari hal ini terlihat bahwa pada dasarnya penganggaran yang dibuat oleh pemerintah semakin tidak efisien untuk mengurangi tingkat kemiskinan di dalam masyarakat Indonesia.

Tabel. l. PDB 2005 – 2009 dan Indikator Sosial Indonesia

 
                                               2005              2006               2007                2008                  2009
PDB harga berlaku                  Rp. 2,8 T       Rp. 3,3 T Rp. 3,9 T         Rp. 4,9 T             Rp. 5,6 T

PDB Konstan tahun 2000       Rp. 1,7 T        Rp. 1,8 T Rp.1,96 T       Rp. 2,08 T            Rp. 2,17 T 

Pertumbuhan YoY                   5,7%              5,5%               6,3%                   6,0%                4,5%

Penerimaan Negara (miliar)     495.224,2       637.987,20     707.806,40 981.609,40      869.600

Belanja Negara (miliar)           509.632,40     667.128,70      757.649,90 985.730,70 957.500

Angka kemiskinan                  35.100.000      39.300.000      37.170.000 34.960.000 32.530.000

Pengangguran Terbuka           11.376.760*     10.932.000*   10.011.142*   9.394.515*    8.962.617**

Indeks Pembangunan Manusia     69,6                 70,1              70,59              71,17

Data : BPS diolah
*) rata-rata pengangguran terbuka bulan Februari dan November
**) Pengangguran terbuka bulan Februari

          Dari tabel I terlihat bahwa PDB Indonesia secara year on year rata-rata mencapai 5,6%, hal ini merupakan prestasi yang luar biasa terutama ketika terjadi krisis suprime mortage di tahun 2008, dimana kala itu hanya  Indonesia termasuk negara yang memiliki pertumbuhan positif di Asia. Dan ini memperlihatkan bahwa pada dasarnya fundamental perekonomian Indonesia tetap terjaga berjalan. Namun begitu jika di amati secara mendalam angka kemiskinan Indonesia masih tergolong cukup tinggi yaitu berkisar rata-rata 35 juta orang pertahun selama 2005-2009. Tentu saja hal ini akan menunjukkan kelemahan pemerintah dalam memberikan kesempatan kepada masyarakatnya untuk menikmati kesejahteraan pembangunan ekonomi. Selain itu salah satu faktor yang menjadi peran dalam peningkatan kemiskinan adalah kurangnya lapangan kerja. Dilihat dari pertumbuhan jumlah orang yang bekerja setiap tahunnya maka di dapatkan angka rata-rata pertumbuhan jumlah orang yang bekerja adalah sebesar 2,6% pertahunnya antara 2005-2009. Sedangkan persentase rata-rata jumlah orang yang bekerja dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja adalah 82%. 
           Seharusnya dengan kenailan PDB indonesia dan peningkatan anggaran belanja pemerintah dapat lebih mengurangi kemiskinan dan pengangguran yang ada di masyarakat. Karena selama ini data yang digunakan mengenai pengangguran, diambil ketika masa tanam padi, dimana ketika itu banyak buruh tani yang bekerja di sawah dan terhitung sebagai orang yang bekerja. Selain itu Pemerintah juga sebaiknya memberikan porsi yang lebih besar dalam menanggulangi kemiskinan yang ada dengan mengalokasikan anggaran untuk penanggulangan ini. Karena hal ini menyangkut kebijakan politik pemerintah yang pro-poor, sesuai dengan amanat konstitusi pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa negara menggunakan APBN secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

APBN Sebagai alat pengurangan Kemiskinan
           Dengan iratifikasinya Deklarasi Pembangunan Millenium maka Indonesia menyatakan mengikatkan diri untuk mencapai target pembangunan Millenium hingga tahun 2015. Ada delapan tujuan dari pembangunan millenium yaitu : 1. Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; 2. Mencapai pendidikan dasar untuk semua; 3. Mendorong kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan; 4. Menurunkan angka kematian anak; 5. Meningkatkan kesehatan Ibu; 6. Memerangi HIV/AIDS. Malaria, dan penyakit menular lainnya; 7. Memastikan kelestarian lingkungan hidup; 8. Membangun kemitraan global untuk pembangunan. Dalam deklarasi ini terlihat bahwa untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, pemerintah harus dapat memenuhi delapan kriteria dalam deklarasi ini. Dengan menggunakan anggaran yang ada pemerintah diharapkan dapat dengan efektif dan efisien mampu mencapai tujuan pembangunan millenium pada tahun 2015. Namun jika penggunaan alokasi anggaran yang tidak tepat dilakukan oleh pemerintah maka, mau tidak mau target dari MDG’s ini akan mundur pencapaiannya. Dan tentu saja ini akan menyakitkan bagi masyarakat Indonesia yang selama masih banyak hidup dalam kekurangan. 
         Kebijakan anggaran pemerintah selain memiliki fungsi sebagai distribusi pendapatan melalui pengeluaran pemerintah, tetapi juga memiliki peran yang seharusnya cukup besar dalam merubah prilaku masyarakat dan aparatur negara dalam mengalokasikan sumber-sumber daya secara adil didalam masyarakat. Anggaran dapat menjadi alat yang cukup efektif, baik dalam memproduksi infrastruktur penunjang perekonomian, kesehatan dan peningkatan kualitas hidup, tetapi juga dapat digunakan untuk memproduksi peraturan yang pelaksanaan peraturan tersebut dapat memberikan keadilan dan kesejahteraan masyarakat dalam sebuah bingkai negara. 
          Sebagai contoh bagaimana anggaran dapat merubah prilaku masyarakat dan aparatur adalah penarikan subsidi bahan bakar minyak. Dengan pengurangan subsidi, otomatis masyarakat akan menyesuaikan konsumsi bahan bakar mereka hanya untuk kebutuhan yang produktif. Dan target pemerintah dengan pengurangan subsidi ini adalah berkurangnya beban pemerintah dan dapat dialokasikan untuk penganggaran lainnya. Pemerintah juga menyediakan anggaran bahan bakar gas sebagai jawaban bahan bakar substitusi kepada masyarakat. Namun begitu, dalam kenyataannya penarikan subsidi ini dalam jangka pendek meningkatkan biaya hidup dari masyarakat, dan juga akibat dari tidak meratanya distribusi gas dimasyarakat, malah memperburuk tingkat kesejahteraan masyarakat. Ketidak merataan distribusi energi alternatif malah memberikan keuntungan bagi sebagian kecil orang untuk berspekulasi mendapatkan keuntungan karena pencabutan subsidi. Jelas kita dapat melihat bahwa kebijakan anggaran terkadang seperti pedang bermata dua, ketika kebijakan anggaran yang dibuat pemerintah merupakan kebijakan yang seharunya cukup baik, tetapi ketika pelaksanaanya dilapangan malah tidak sesuai dengan harapan. Hal ini disebabkan kekurangan dari perencanaan penganggaran dan implementasi dilapangannya.

Permasalahan
          Dengan semakin bertambahnya Produk Domestik Bruto Indonesia baik di hitung secara nominal maupun konstan yang berimplikasi terhadap adanya pertambahan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, maka seharusnya pemerintah, maupun legislatif (dua lembaga yang memiliki kewenangan terhadap penetapan anggaran) mampu untuk mencipatakan sebuah perencanaan anggaran yang dapat mengurangi tingkat kemiskinan di negara ini. Dengan kerja-kerja pemerintah dan DPR saat ini, apakah anggaran yang telah di renacanakan lebih berpihak terhadap pengurangan kemiskinan di Indonesia ?

Dasar Teori
Definisi Kemiskinan
           Pembahasan mengenai anggaran yang berpihak terhadap pengurangan kemiskinan tidak dapat didiskusikan tanpa mengetahui arti sebenarnya dari kemiskinannya sendiri. Garis kemiskinan merupakan batas pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi minimal kalori yang diperlukan tubuh untuk beraktivitas ditambah kebutuhan non-makanan (www.mdg-dev.BPS.go.id). Definisi lainnya adalah kemiskinan merupakan keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan karena kelangkaan alat pemenuhan kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. 
         Menurut Amatya Sen, keberlangsungan demokrasi dan jaminan hak-hak politik rakyat dapat mencegah terjadinya kelaparan dan bencana ekonomi. Amartya Sen melihat bahwa penutupan akses masyarakat terhadap hak-hak dasar berdemokrasi dapat menjadi salah satu penyebab timbulnya kemiskinan, sehingga disini konteks kemiskinan dilihat dari perampasan terhadap kemampuan dasar dari individu dan tidak hanya akibat dari penghasilan yang rendah. Sebagai contoh perampasan hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan atau untuk berusaha merupakan salah satu bentuk untuk menutup akses masyarakat dalam mempertahankan kesejahteraannya. Di Indonesia kasus seperti ini banyak terjadi pada kelompok-kelompok minoritas baik suku, etnis, agama dan kelompok politik tertentu.

Anggaran Pro-Kaum Miskin
             Anggaran memiliki tiga peran klasik yang menjadi perdebatan penting yaitu sebagai instrumen regulasi, stabilisasi dan redistribusi (Joe Fernandes: 2009). Dalam konteks regulasi anggaran menjadi alat untuk mengatur pola hidup dan prilaku negara. Disini anggara memiliki kemampuan memaksa dalam mempengaruhi dinamika kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Sebagai alat stabilitas, anggaran memberikan informasi penting tentang asumsi ekonomi yang menjadi pegangan penting pelaku ekonomi dan bisnis. Sedangkan sebagai alat yang efektif untuk menciptakan keadilan sosial karena fungsinya mengambil (pajak) dan memberi (subsidi). Dalam kontek distribusi ini, anggaran memainkan perannya sebagai alat untuk mensejahterakan masyarakat dan mengatasi kemiskinan. Kebijakan anggaran yang pro kepada penurunan kemiskinan memang diperlukan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 1 yang berbunyi : “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahunnya dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Hal ini mengisyaratkan bahwa proses penganggaran selama ini sebaiknya lebih terbuka yang artinya dapat diketahui oleh seluruh masyarakat dan dapat dipertanggung jawabkan hasil-hasilnya. 

Indikator Anggaran yang Berpihak Terhadap Penguranan Kemiskinan
         Menurut Joe Fernandes, kebijakan anggaran yang berpihak terhadap pengurangan kemiskinan memiliki indikator pertama, partisipatif, yakni setiap individu dalam suatu masyarakat, lepas dari status sosialnya, harus dapat memperoleh hak untuk ikut serta dalam penetapan prioritas anggaran yang adil sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. Kedua, akuntabilitas, yang berarti anggaran pro kemiskinan harus mampu dipertanggungjawabkan kemanfaatannya baik secara langsung maupun tidak langsung pada kelompok miskin. Ketiga, keterwakilan, yakni anggaran prokemiskinan harus melalui proses uji masyarakat miskin. Keempat, transparansi, yang berarti proses pengambilan keputusan dalam menentukan prioritas program dan kegiatan dalam anggaran harus terbuka bagi masyarakat miskin. Kelima, responsif, yang berarti bahwa anggaran harus mampu menjawab kebutuhan dasar kelompok miskin dengan jaminan kualitas dan diberikan tanpa diskriminatif. Keenam, efisien, dalam arti segala barang dan jasa yang dialokasikan dalam anggaran harus cukup layak untuk diterima oleh masyarakat miskin sesuai dengan kebutuhan dasar mereka. Ketujuh, berkeadilan, yang berarti bahwa anggaran pro kaum miskin dirancang dan ditujukan dengan dan sebagai bagian dari upaya menciptakan keadilan sosial. Dengan indikator yang di kemukakan oleh Joe Fernandes ini, kita dapat membandingkan dan melihat bagaimana APBN negara kita dibuat selama ini. 

Pembahasan dan Penetapan Anggaran
Gambar 1. Proses Penganggaran RAPBN


         Pada gambar berikut kita dapat melihat mengenai bagaimana RAPBN sebelum disetujui oleh DPR sebgai APBN. Dalam prosesnya, terlihat bahwa program-program kerja dalam APBN awalnya merupakan usulan dari setiap Kementerian dan Lembaga dalam pemerintahan yang di rumuskan berdasarkan RPJM yang telah dibuat Bappenas. Selain itu kebutuhan setiap K/L juga berdasarkan kebutuhan atau rencana program yang selama ini telah di rencanakan. Pada tahap awal pembahasan RAPBN, pembahasan berkisar mengenai asumsi indikator makro ekonomi Indonesia, yaitu asumsi pertumbuhan, tingkat inflasi, nilai tukar, suku bunga SBI 3 bulanan, dan asumsi lifting minyak. Dari besaran-besaran makro yang dibahas di DPR, ternyata indikator kemiskinan dan distribusi pendapatan tidak termasuk dalam pembahasan RAPBN. Disini terlihat bahwa pemerintah masih cenderung untuk terpaku pada indikator pertumbuhan sedangkan faktor-faktor pro-poor masih belum dimasukkan.
           Dewan Perwakilan Rakyat sendiri memiliki peran yang cukup strategis dalam menentukan jumlah dan alokasi anggaran belanja negara. Berdasarkan Undang-Undang nomor 27 tahun 2009 tentang DPR MPR dan DPD, pasal 69, menegaskan bahwa DPR memiliki fungsi Legislasi, Anggaran dan Pengawasan. Sedangkan dalam pasal 70 ayat 2 dan 3 menjelaskan mengenai fungsi anggaran dan pengawasan yang dilakukan oleh DPR. Fungsi anggaran adalah “...untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap RUU tentang APBN yang di ajukan oleh Presiden”. Dan dalam ayat 3 berbunyi “Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN”. Pembahasan di DPR, dimulai dari pembahasan pokok-pokok kebijakan fiskal atau besaran makro, dan selanjutnya setiap komisi memiliki peran untuk ikut membahas anggaran setiap kementerian dan lembaga sesuai dengan mitra kerja komisi dengan pemerintah. Setiap anggota dalam komisi memiliki hak untuk memberikan masukan dan pengaruh terhadap proposal yang ajukan setiap kementerian dan lembaga pemerintah. Sehingga seharusnya masyarakat dapat memainkan peran yang cukup besar melalui wakilnya di DPR untuk dapat ikut memberikan masukan mengenai anggaran yang lebih berpihak pada pengurangan kemiskinan. Dari sisi tugas dan tanggung jawab, seharusnya setiap anggota DPR memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan masukan, persetujuan dan keberpihakkan terhadap anggaran yang dapat mengurangi tingkat kemiskinan di masyarakat. Sedangkan untuk fungsi pengawasan, DPR melaksanakan tugasnya setelah APBN ditetapkan melalui laporan-laporan kementerian dan lembaga secara periodik. Disini para anggota dewan, dapat melakukan evaluasi mengenai kinerja pemerintah terhadap penggunaan anggaran dan menjadi masukan untuk pembahasan APBN Perubahan atau APBN tahun berikutnya. Sedangkan aspek pengawasan APBN yang telah dilaksanakan pemerintah juga menjadi salah satu indikator akuntabilitas penggunaan anggaran seperti yang di kemukakan oleh Joe Fernandes. Saat ini masyarakat telah dapat mengakses mengenai data-data APBN dan hasil-hasil penggunaannya melalui website-website kementerian dan lembaga selain mengikuti pembahasan di DPR.

Pembahasan
Kinerja Anggaran dan Tingkat Kemiskinan Di Indonesia
         Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara merupakan salah satu alat  kebijakan yang cukup kompleks mulai dari perencanaannya, implementasi hingga pelaporannya. Karena banyak melibatkan berbagai pihak, terutama sekali hal-hal yang terkait dengan kebijakan politik. Pemerintah dalam merencanakan anggaran memiliki tujuannya sendiri sesuai dengan rencana dan target pembangunan yang diinginkan oleh pemerintah. Dan ketika pembahasan di gulirkan di dewan legislatif, maka pembahasan anggaran akan melibatkan banyak pihak terutama partai-partai politik yang tentu saja memiliki visi dan tujuannya sendiri-sendiri sesuai dengan pandangan mereka terhadap penggunaan anggaran oleh pemerintah. Walaupun pada satu sisi mereka bersuara sama yaitu untuk kesejahteraan rakyat, namun pada kenyataannya keadaan kesejahteraan rakyat masih jauh dari layak, walaupun secara perkapita pendapatan masyarakat Indonesia mengalami kenaikan, tetapi pada kenyataannya tidak terjadi pemerataan yang sesungguhnya.  Seperti masih tingginya angka kemiskinan di level 30 juta jiwa. Sebenarnya apa yang terjadi dengan proses perencanaan anggaran kita selama ini sehingga anggaran yang digunakan dan seharusnya dapat mensejahterakan rakyat ternyata jauh panggang dari pada api.
          Berdasarkan hal yang dikemukakan oleh Joe Fernandes mengenai indikator Anggaran yang pro terhadap penurunan angka kemiskinan yang terdiri dari delapan indikator, maka kita dapat menyandingkan proses-proses pembuatan anggaran dengan indikator yang dikemukakan oleh Joe Fernandes tersebut.

Anggaran yang Partisipatif.
         Selama ini proses pembuatan anggaran di tingkat pusat dilakukan oleh pemerintah dan DPR, ini sebagai salah satu bentuk pemisahan kekuasaan setelah era Orde Baru berakhir. Dimana legislatif memiliki hak untuk ikut memberikan masukan dan menyetujui anggaran yang diajukan oleh pemerintah. Pada dasarnya pembahasan anggaran di DPR merupakan salah satu bentuk partisipatif masyarakat yang diwakili oleh para anggota dewan dalam ikut merumuskan anggaran negara. Namun terkadang besarnya pengaruh dari partai politik terhadap para anggotanya yang duduk di dewan malah lebih menentukan arah dan kebijakan terhadap Anggaran dan Belanja Negara. Seperti temuan-temuan yang di kemukakan oleh Abdul Waidl dan Lestariyanti mengenai kecurigaan bahwa Partai poltik memiliki kepentingan yang lebih dominan terhadap arah kebijakan yang diambil oleh setiap anggotanya. Seharusnya setiap setiap partai mempunyai pandangan yang sama terhadap anggaran yang pro pengurangan kemiskinan. Temuan lainnya adalah ada pengakuan dari kalangan akademisi maupun Lembaga Swadaya Masyarakat mengenai akses terhadap dokumen-dokumen APBN baik mulai dari pembahasan sampai penetapan APBN. Walaupun ada beberapa lampiran dokumen yang telah dipublikasikan, namun tidak sampai pada detail anggaran. Selain itu pada dasarnya banyak masyarakat, kalangan akademisi maupun Lemabaga Swadaya Masyarakat yang sebenarnya tidak mengetahui secara persis mengenai proses pembuatan anggaran yang ada selama ini antara pemerintah dan DPR.
          Temuan-temuan ini sebenarnya memperlihatkan bahwa proses pembuatan APBN di Indonesia masih terlihat partisipasi semu, artinya pada dasarnya masyarakat telah diwakili oleh anggota dewan dalam melakukan pembahasan, namun sebenarnya, masyarakat tidak terwakili dengan baik, karena kepentingan partai dalam menentukan arah kebijakan anggaran dapat dibilang mempunyai peran yang lebih dominan. Selain itu proses penganggaran juga terkadang menjadi lahan untuk politik intrik dalam persaingan antara pemerintah dan partai-partai politik yang ada didalam dewan legislatif. Alasannya adalah dalam pembahasan banyak diantara anggota dewan sendiri yang berdebat mengenai alokasi APBN, anggota fraksi partai yang menjadi pemenang pemilu tentu akan berbicara dan mendukung terhadap kebijakan pemerintah. Sedangkan partai oposisi maupun yang setengah oposisipun lebih cenderung menyerang kebijakan pemerintah di rapat-rapat anggaran. sehingga terkadang permasalahan yang terpenting yaitu bagaimana menciptakan APBN yang pro terhadap pengurangan kemiskinan malah bukan menjadi tujuan.


Indikator Akuntabilitas
          Indikator ini menegaskan bahwa APBN yang telah dibuat harus dapat dipertanggung jawabkan baik langsung maupun tidak langsung terhadap masyarakat miskin. Biasanya pemerintah pada akhir tahun memberikan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat kepada Legislatif mengenai kinerja APBN-nya. Dalam pelaporan ini biasanya mengungkapkan mengenai jumlah penyerapan anggaran selama tahun berjalan di setiap Kementerian/Lembaga dan keadaan aset-aset pemerintah. Sedangkan pembahasan mengenai angka kemiskinan akan lebih detail di bahas oleh BPS dan anggota Dewan. Disini BPS memiliki peran sebagai bank data yang dapat memberikan angka-angka mengenai keberhasilan pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan.
          Karena dalam sistem pemerintahan kita tidak ada mekanisme mengenai pola pertanggung jawaban terhadap orang miskin maka kita dapat membandingkan kinerja anggaran dengan hasil atau data kesejahteraan masyarakat seperti tingkat kemiskinan, IPM dan  angka pengangguran dapat dijadikan salah satu indikator dalam melihat efektifitas kinerja pemerintah.

Tabel II, Perubahan YoY Alokasi APBN berdasarkan Fungsi, Subsidi dan
Tingkat Kemiskinan, Pengangguran, dan IPM


  2006 2007 2008 2009
Pelayanan Umum 11% 12% 69% -22%
Ekonomi 63%                    10% 20% 17%
Kesehatan 109% 31%                   -12%                   12%
Pendidikan 55% 12% 9% 54%
Perlindungan Sosial 9% 15% 13% 4%
Subsidi Pangan -16% 24% 84% 7%
Subsidi Pupuk 25% 98% 142% 21%
Subsidi Benih -11% 265% 106% 62%
Subsidi BBM -33% 30% 66% -68%
Subsidi Listrik 243%                     9% 154% -41%
Angka Kemiskinan 12% -5% -6% -7%
Pengangguran
Terbuka -4% -8%                   -6% -5%
Indeks Pembangunan
Manusia                           1% 1% 1%

Dari data pada tabel II, kita dapat melihat bahwa alokasi APBN berdasarkan fungsinya (beberapa pos alokasi), seperti pelayanan umum mengalami perubahan year on year yang turun di tahun 2009. Namun pada tahun 2008 alokasi anggaran untuk pelayanan umum mengalami perubahan yang cukup besar yaitu 69% dari tahun sebelumnya. Untuk alokasi terhadap fungsi ekonomi, alokasi menaik tetapi dengan perubahan yang semakin mengecil. Alokasi anggaran Kesehatan memiliki trend perubahan yang menurun, begitu juga dengan pos pendidikan perubahannya mengalami penurunan di tahun 2007 dan 2008, namun mengalami kenaikan lagi di tahun 2009. Sedangkan alokasi pemerintah terhadap perlindungan kesehatan memiliki perubahan yang cenderung menurun.
           Sedangkan alokasi anggaran untuk subsidi, di tahun 2009 cenderung menurun untuk subsidi energi dan cenderung menaik untuk subsidi non energi. Selain memberikan subsidi pupuk, maupun benih sebaiknya pemerintah juga menegluarkan kebijakan yang mengatur pasar pupuk maupun benih yang dapat dengan mudah diakses oleh petani kecil dan pasar pupuk dan benih bukan hanya diperuntukkan bagi para perusahaan besar dan kartel di tanaman pangan. Hal ini penting, pengaturan pasar tanaman pangan maupun hasil tanaman pangan penting bagi kelangsungan hidup petani dan juga keberlangsungan swasembada beras di Indonesia.
         Data terakhir adalah data pembanding yang berkaitan dengan indikator kesejahteraan masyarakat seperti Tingkat kemiskinan, Pengangguran dan IPM. Untuk tingkat kemiskinan setiap tahunnya mengalami penurunan, yang artinya semakin berkuranglah masyarakat miskin di Indonesia. Namun dari pada itu angka kemiskinan di Indonesia masih mencapai 32 juta orang di tahun 2009. Dan ini masih merupakan angka yang cukup besar bagi Indonesia. Sedangkan untuk indikator pengangguran terbuka juga memiliki trend yang cenderung menurun. Dengan peningkatan perekonomian Indonesia tentu saja penyerapan tenaga kerja akan terus meningkat dan mengurangi angka pengangguran di masyarakat. Sedangkan IPM Indonesia rata-rata memiliki perubahan 1% pertahunnya.
          Jika melihat anggaran APBN untuk program penanggulangan kemiskinan tahun 2002 yaitu sebesar Rp. 16,5 triliun  dan 2006 yaitu sebesar Rp. 42 triliun, terjadi kenaikan anggaran sebesar 155%. Namun jika dibandingkan dengan perubahan angka kemiskinan pada periode yang sama maka kita akan menemukan bahwa angka kemiskinan tidak banyak berkurang dan malah bertambah 2% ditahun 2006 dibandingkan 2002. Pada periode ini juga terlihat ada sebuah kesenjangan antara usaha pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan melalui alokasi anggaran penanggulanan kemiskinan. Pada periode ini terlihat bahwa kemanfaatan dari alokasi anggaran pengurangan kemiskinan dapat dianggap sebagai tidak memberikan pengaruh banyak terhadap pengurangan kemiskinan.

Keterwakilan
          Joe Fernandes mengemukakan bahwa keterwakilan memiliki makna bahwa anggaran yang digunakan untuk pengurangan kemiskinan harus melalui proses uji masyarakat miskin. Dalam kasus penganggaran apakah kebijakan APBN telah memberikan program-program yang bermanfaat dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat?
          Anggaran yang pro terhadap pengurangan kemiskinan memiliki alokasi dana yang digunakan untuk program-program pengurangan kemiskinan seperti PNPM maupun program-program pemberdayaan lainnya. Program-program ini berhasil jika adanya perubahan signifikan terhadap perubahan kesejahteraan masyarakat miskin. Sebagai contoh adalah program BLT (Bantuan Langsung Tunia), program yang termasuk sebgai salah satu bagian untuk mengurangi kemiskinan sementara selama masa krisis, namun kebijakan ini ternyata tidak banyak berdampak selain hanya kebijakan artifisial. Tidak memberikan tambahan terhadap produktivitas masyarakat miskin yang terkena dampak krisis maupun kenaikan harga akibat pengurangan subsidi BBM. Untuk itu sebaiknya setiap kebijakan yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat seharusnya dapat diuji dan tidak malah menyimpang dari tujuan kesejahteraan.

Transparansi
        Kebutuhan pengawasan akan penggunaan dana APBN oleh semua pihak yang berkepentingan terutama sekali masyarakat yang seharusnya lebih banyak menikmati hasil dari APBN tersebut. Selain itu juga pemerintahan yang melaksanakan praktek good corporate government seharusnya menyediakan data setransparan mungkin mengenai pembahasan dan penggunaan APBN selama ini berikut evaluasi dari penggunaan tersebut, sehingga masyarakat dapat mengetahui penggunaan dan hasil yang telah didapatkan dari program-program pemerintah dalam penggunaan APBN.
        Banyak sekali pendapat masyarakat terutama kalangan akademisi dan LSM yang melihat bahwa selama ini pembahasan APBN ditingkat pemerintah pusat maupun di DPR masih bersifat tertutup kalaupun ada publikasi itu setelah APBN hasil jadi. Selain itu juga publikasi hanya dimuat didalam website yang sebenarnya sulit untuk diakses oleh masyarakat umum apalagi masyarakat miskin. Tulisan Abdul Waidl dan Lestariyanti, mengenai Studi Pemetaan Persepsi Mengenai Anggaran Prokaum Miskin di Indonesia mengungkapkan bahwa dari beberapa nara sumber yang mereka wawancarai hampir semua menyatakan kesulitan untuk mendapatkan dokumen APBN yang lebih detail. Hanya satu orang saja dari nara sumber yang memiliki hal itu yaitu Dian Kartika Sari yang menyatakan memiliki dokumen APBN sampai satuan dua. Bahkan tidak semua anggota dewan yang memiliki data mengenai APBN. Dan dari 550 anggota dewan, kurang dari 5% yang dapat terbuka mengenai anggaran tersebut. Transparansi mengenai anggaran bukan saja hanya bagian dari DPR, selama masa perencanaan dan musrembang di pemerintah pun, seharusnya pemerintah dapat lebih transparan dalam pembahasan yang dapat diakses oleh semua masyarakat, terutama masyarakat miskin.

Efisiensi dan berkeadilan
         Efisiensi penggunaan APBN berkaitan erat dengan program ataupun bentuk-bentuk alokasi yang ditujukan untuk pengurangan kemiskinan. Misalnya kita dapat melihat berapa besar anggaran yang dihabiskan untuk membuat sebuah undang-undang mengenai upah minimum yang dapat mensejahterakan masyarakat terutama masyarakat yang bekerja sebagai buruh rendahan dan bagai mana dampak dari undang-undang tersebut terhadap kesejahteraan para buruh. Atau misalnya mengenai kebijakan kesehatan yang diberikan negara dan dapat diakses oleh masyarakat umum terutama yang berada dibawah garis kemiskinan.
         Alokasi anggaran yang efisien dan berkeadilan juga termasuk seberapa banyak masyarakat miskin yang berada diberbagaimacam kelompok yang dapat menikmati dari anggaran yang digulirkan tersebut. Artinya alokasi anggaran tidak malah menyebabkan ketimpangan secara regional. Misalkan saja masyarakat miskin di pulau jawa akan mendapat anggaran lebih banyak untuk peningkatan kesejahteraan dibandingkan dengan masyarakat miskin yang berada di pulau-pulau terpencil dan ataupun masyarakat yang berada diperbatasan republik Indonesia. Dalam laporan yang di ungkapkan oleh Smeru mengenai kebijakan Publik yang Berpihak terhadap Orang Miskin, mengungkapkan tentang program JPS yang dilaksanakan di Kabupaten Pandeglang pada tahun 1999.

Tabel III. Distribusi Penerima Manfaat Program JPS di Kabupaten Pandeglang

Program 20%           20%          20%          20% 20%   Total
                            Paling         Miskin Sedang      Kaya          Paling
                            Miskin                                                            Kaya
OPK Beras 71,89 55,71 42,27 38,25 28,96 47,35
JPS Pendidikan 8,88 6,37 3,12 1,39 1,55 4,26
Kartu Sehat 18,53 22,59 32,48 29,07 24,56 25,44
PMT 44,24 42,01 20,91 22,58 22,62 30,4
Padat Karya 12,9 20,55 4,09 4,61 0,91 8,59
Sumber : Laporan Smeru

         Dari program yang dilakukan di Kabupaten Pandeglang, untuk OPK Beras sebanyak 71,89% masyarakat dari kelompok paling miskin mendapatkan manfaat dari program ini, begitu juga dari kelompok 20% kelompok kaya hanya sebesar 28% tetap menikmati adanya OPK Beras ini. Dan hal yang dapat dikatakan penyimpangan sasaran adalah terhadap program kegiatan Kartu Sehat, dimana hanya 19% dari kelompok masyarakat miskin yang menikmati program tersebut dan sebanyak 25% dari kelompok paling kaya dapat menikmati program ini. Dari persentase hasil dan dampak terhadap kelompok masyarakat, terlihat bahwa masyarakat miskin masih sangat kurang dalam mengakses program ini sehingga program ini malahan banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat kaya.
         Dari contoh ini memperlihatkan bahwa program pengurangan kemiskinan yang tidak dialokasikan dengan baik akan menimbulkan ketidak adilan dalam pelaksanaannya. Dan tentu saja anggaran yang telah digunakan untuk pengentasan kemiskinan akan menjadi sia-sia belaka. Selain itu dalam pelaporan anggaran akan terlihat bahwa penggunaan dana untuk program pengurangan kemiskinan dapat menjadi besar namun sedikit sekali implikasinya terhadap penurunan kemiskinan dimasyarakat dan ini akan menjadi sebuah tanda tanya besar terhadap perencanaannya, serta pelaksanaan anggaran negara tersebut.

Kesimpulan dan saran
Kesimpulan
          Analisa mengenai APBN yang pro terhadap pengurangan kemiskinan dengan menggunakan tujuh indikator tersebut memperlihatkan bahwa selama ini baik selama pembahasan maupun tahap implementasi dari anggaran masih terlihat kurang mendukung terhadap pengurangan kemiskinan. Secara sederhana, dimana tahapan pembahasan anggaran selama ini masih bersifat tertutup, walupun ada beberapa yang memang di publikasikan untuk masyarakat umum tetapi tidak semua masyarakat mengetahui mengenai pembahasan Anggaran. Selain itu pula data-data yang dipublikasikan adalah data APBN yang merupakan hasil jadi.
        Pembahasan mengenai APBN selama ini juga sangat minim dalam mengikutsertakan partisipasi masyarakat apalagi masyarakat miskin, karena pada dasarnya inisiatif pembuatan anggaran berada pada pemerintah pusat dan legislatif, sedangkan masyarakat bawah atau miskin hanya sebagai bagian pasif yang menerima kebijakan dari program APBN yang dilaksanakan. Hal ini berakibat juga pada sasaran pengurangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah terkadang tidak tepat sasaran karena kemungkinan adanya informasi yang tidak dapat di ketahui oleh pusat maupun para pejabat birokrasi mengenai kebutuhan masyarakat miskin untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
        Besarnya kepentingan politis dari setiap kelompok partai yang memiliki perbedaan pandangan mengenai kesejahteraan rakyat dan juga ditambah dengan konflik-konflik politik yang ada selama ini, malah membuat proses penganggaran jauh panggang dari api. Kepentingan kelompok-kelompok partai dan individu-indvidu politikus terhadap besaran alokasi APBN lebih ditujukan untuk kebutuhan partai politik dan individu politikus tersebut untuk dapat terus memperoleh posisi yang baik ketika pemilu maupun setelahnya, sehingga tujuan dari APBN yang seharusnya dapat digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tidak dapat berjalan secara maksimal.

Saran
         Dibutuhkan penyatuan cara pandang dan tujuan yang sama mengenai politik anggaran yang lebih berpihak kepada masyarakat miskin di Indonesia oleh setiap pemangku kebijakan baik di pemerintahan maupun di dewan legislatif, sehingga dapat mengurangi biaya pembahasan, mengurangi manipulasi anggaran dan dapat mencapai target yang sesuai dengan tujuan mensejahterakan masyarakat Indonesia.
Ditingkatan bawah dibutuhkan penguatan dari setiap kelompok-kelompok masyarakat miskin untuk dapat sadar akan pentingnya informasi dan keterlibatan mereka dalam menentukan anggaran yang seharusnya mereka nikmati.
        Penguatan lembaga-lembaga pemerintahan yang mau lebih transparan dan mau mengadvokasi masyarakat untuk dapat ikut merumuskan sebuah program yang pro pengurangan kemiskinan yang dapat dimasukkan kedalam APBN. Selain itu adanya kelompok-kelompok penyeimbang seperti kalangan akademisi dan LSM yang terus memantau proses pembahasan dan pelaksanaan APBN yang selama ini berjalan dan dapat menginformasikan dengan benar kepada masyarakat luas khusunya masyarakat miskin.

Daftar Pustaka
_________. Data Pokok APBN 2005-2011. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Jakarta.
_________. LKPP berbagai tahun. Kemetrian Keuangan Republik Indonesia. Jakarta.
_________. Nota keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara: Tahun Anggaran 2010. Kementria Keuangan Republik Indonesia. Jakarta.
________.2010. Statistik Indonesia berbagai tahun. BPS. Jakarta.
________. 2010. Budget Brief: Vitamin Anggaran. Pandangan FITRA atas RAPBN 2011. FITRA. Jakarta.
Fernandes, Joe, 2009. Anggaran Prokaum Miskin: Konsep dan Praktik. Anggaran Pro-Kaum Miskin. LP3ES. Jakarta.
Mawardi, Sulton, dkk. 2003. Kebijakan Publik yang Memihak Orang Miskin: Fokus Pro-Poor Budgeting. SMERU. Jakarta.
Waidl, Abdul, dkk, 2009. Studi Pemetaan Persepsi Mengenai Anggaran Prokaum Miskin di Indonesia. Anggaran Pro-Kaum Miskin. LP3ES. Jakarta.
www.mdgs-dev.bps.go.id.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar