oleh : Satria Kusuma Diyuda
Pendahuluan
Korupsi, penyuapan dan
pungutan liar merupakan sebuah hal yang umum terjadi di Indonesia. Bahkan
banyak rezim di Indonesia jatuh maupun berganti akibat isu korupsi dan
mengakibatkan gejolak besar di masyarakat yang merasa tertindas. Kejatuhan orde
lama merupakan dampak dari krisis ekonomi dan besarnya sentiment buruk rakyat
terhadap cabinet pemerintahan Sukarno yang dituduh banyak menyelewengkan
anggaran negara bukan untuk kesejahteraan rakyat. Bahkan badan pemberantasan
korupsi yang dibentuk oleh Presiden tidak mampu untuk melaksanakan program
pemberantasan korupsi dikarenakan besarnya tentangan dari pejabat orde lama[1]
. Begitu juga dimasa rezim Suharto yang otoriter dan militeristik, dimana
banyak terjadi praktek-praktek korupsi dan penyuapan. Militer dan pejabat orde
baru yang banyak mendapatkan keuntungan pada waktu rezim Orde Baru berkuasa.
Sewaktu kejatuhan Suharto
di tahun 1998, para aktivis yang menentang pemerintahan Suharto menyerukan
jargon menolak Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) untuk membangkitkan
perlawanan masyarakat terhadap pemerintah Orde Baru. Namun sayangnya setelah
perubahan dramatis yang terjadi di Indonesia, tindak pidana korupsi, penyuapan
dan pungutan liar malah semakin merebak. Sebelum jatuhnya Suharto, pola korupsi
dan penyelewengan keuangan negara hanya terjadi pada tingkat eksekutif, namun
setelah pergantian rezim, pola korupsi merata dan hamper terjadi di eksekutif,
legislative hingga lembaga yudikatif. Hal ini merupakan dampak dari terjadinya
pembagian kekuasaan, terutama sekali ketika legislative memiliki peran yang
kuat dalam penentuan anggaran negara.
Selain itu, korupsi,
penyelewangan anggaran, penyuapan dan pungutan liar juga banyak terjadi di
daerah-daerah di Indonesia yang merupakan dampak dari pelaksanaan otonomi
daerah (UU 32 tahun 2004). Kekuasaan pemerintah daerah untuk menentukan
kebijakan pembangunnannya semakin besar, otomatis terjadi banyak penyalahgunaan
kekuasaan terkait penggunaan anggaran, dan penarikan biaya lebih untuk izin
usaha bagi pengusaha yang membangun bisnisnya di suatu daerah.
Gambaran Korupsi di Indonesia
Sejak di susunnya UU MD3
yang memperluas peranan DPR dalam mengawasi pemerintah, kewenangan DPR semakin
besar dan tertuang dalam tiga fungsi DPR yaitu, legislasi; pembuatan anggaran,
dan pengawasan terhadap eksekutif. Dengan semakin besarnya kekuasaan DPR,
secara otomatis kebijakan-kebijakan krusial pemerintah harus mendapatkan
persetujuan DPR, terutama terkait anggaran. Pada awal pembentukan UU MD3 ini
adalah untuk meningkatakn pengawasan terkait besarnya penyalahgunaan anggaran
yang dilakukan oleh pemerintah, namun dalam perjalanannya yang terjadi banyak
anggota DPR turut terlibat dalam penyalahgunaan anggaran tersebut.
Menjadi sebuah rahasia
umum, untuk menyetujui sebuah kebijakan program pemerintah semisal
infrastruktur jalan, departemen terkait harus memberikan fee sebesar 15%-17%
dari total anggaran yang diajukan pemerintah[2].
Korupsi yang terjadi pada level ini merupakan korupsi yang dilakukan melalui
penyalahgunaan wewenang kekuasaan atas anggaran. Dan ketika projek tersebut
disetujui bukan berarti tindak pidanan korupsi selesai, biasanya pemerintah
turut memarkup project tersebut dan seterusnya sehingga tindak pidana korupsi
dilakukan oleh semua pihak.
Tabel 1, Corruption Perception Index 2012
Ratings
|
Country
|
Score
|
94
|
Snegal
|
36
|
102
|
Tanzania
|
35
|
113
|
Guatemala
|
33
|
113
|
Timor Leste
|
33
|
118
|
Indonesia
|
32
|
118
|
Madagaskar
|
32
|
118
|
Equador
|
32
|
123
|
Sierra Leon
|
31
|
128
|
Togo
|
30
|
130
|
Pantai gading
|
29
|
Sedangkan bagi para
investor yang ingin berinvestasi pada proyek yang telah direncanakan dalam
anggaran negara, biasanya mereka diharuskan membayar fee untuk memenangkan
tender sebuah proyek kepada pejabat pemerintah yang memiliki kuasa untuk
menentukan pemenang sebuah proyek. Hal ini terjadi pada kasus korupsi Pusat
pembinaan Atlet Hambalang di bogor, kasus Bupati Buol di Maluku dan beberapa
kasus korupsi lainnya. Dimana para pengusaha dan investor turut terlibat dalam
tindak pidana ini melalui proses penyuapan untuk memenangkan tender proyek dan
penyuapan untuk mendapatkan izin usaha.
Masifnya tindakan korupsi,
penyuapan dan pungutan liar yang terjadi di Indonesia, membuat terjadinya
perlambatan pembangunan dan pemerataan kesejahteraan di Indonesia. Hal ini juga
turut menghambat arus investasi langsung dari investor asing yang berencana
masuk ke Indonesia. Hal ini dikarenakan selain besarnya biaya membangun usaha
di Indonesia, juga terkait banyak investor asing yang tidak mengerti akan
budaya birokrasi dan penyuapan untk izin di Indonesia. Tidak heran jika
merebaknya korupsi di Indonesia membuat persepsi indeks korupsi Indonesia
berada pada peringkat 118. Sedangkan di antara negara ASEAN, Indonesia berada
pada urutan ke 6 dibawah Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand dan Filipina.
Tindakan Korupsi yang Terjadi
Table 2, Type of Corruption Case in Indonesia
Type of case
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
Procurement
|
16
|
16
|
10
|
8
|
2
|
Licensing
|
1
|
0
|
0
|
0
|
3
|
Bribery
|
12
|
19
|
25
|
34
|
27
|
Illegal Levies
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
Budget Abuse
|
8
|
5
|
4
|
3
|
0
|
Money Laundry
|
0
|
0
|
0
|
1
|
3
|
Total Case
|
37
|
40
|
39
|
46
|
35
|
Di Indonesia, terdapat
banyak jenis korupsi, bahkan pencucian uang, penyuapan, dan pungutan liar juga
termasuk dalam beberapa jenis korupsi. Sebenarnya korupsi di Indonesia terjadi
dibanyak lini, mulai dari level masyarakat bawah hingga para pejabat. Di level
paling bawah, korupsi banyak terjadi pada pengurusan administrasi kependudukan,
ijin mengemudi hingga pencatatan perkawinan oleh pengadilan agama, dan hampir
semua masyarakat Indonesia pernah melakukan tindakan ini. Sebagai contoh,
pengurusan ijin untuk mendapatkan KTP, masyarakat Indonesia harus mengeluarkan
uang sebesar RP. 15.000 hingga Rp. 300.000 untuk mendapatkan sebuah KTP yang
seharusnya gratis. Banyak alasan maupun argument dari masyarakat atas biaya
pembuatan KTP ini mulai dari sekedar sebagai hadiah untuk pejabat pengurus KTP,
hingga memang dipaksa untuk membayar agar seseorang dapat memperoleh KTP.
Di level pengusaha,
penyuapan dan pungutan liar terjadi terkait untuk mendapatkan izin usaha, HGU
(perkebunana), IMB dan lain sebagainya. Untuk mempermudah dan mempercepat
jalannya sebuah usaha, biasanya para pengusaha local membangun relasi dengan
para pejabat local hingga tingkat pusat. Biasanya para pejabat yang menguasai
suatu ijin tertentu atau mengetahui jalur perijinan usaha akan memberikan bantuan
kepada pengusaha untuk mendapatkan sebuah ijin dengan fee tertentu, atau
biasanya relasi yang terjadi, para pengusaha sering memberikan hadiah tidak
hanya berupa materi tetapi juga memberikan peluang kerja kepada keluarga para
pejabat tersebut (kolusi) ataupun kesepakatan-kesepakatan lain.
Otonomi Daerah dan Peningkatan Prilaku Korupsi
Tabel
3, Corruption Investigate by Province [3]
No
|
Province
|
2012
|
2013
|
No
|
Province
|
2012
|
2013
|
1
|
Aceh
|
0
|
0
|
10
|
Central Java
|
5
|
0
|
2
|
North Sumatera
|
0
|
3
|
11
|
East Java
|
0
|
0
|
3
|
South Sumatera
|
0
|
0
|
12
|
West Nusa Tenggara
|
0
|
0
|
4
|
Riau and Riau Island
|
13
|
3
|
13
|
South Kalimantan
|
0
|
0
|
5
|
Bengkulu
|
2
|
4
|
14
|
East Kalimantan
|
0
|
0
|
6
|
Lampung
|
0
|
0
|
15
|
North Sulawesi
|
1
|
0
|
7
|
Banten
|
1
|
0
|
16
|
Central Sulawesi
|
4
|
0
|
8
|
DKI Jakarta
|
20
|
17
|
17
|
South Sulawesi
|
0
|
0
|
9
|
West Java
|
2
|
8
|
18
|
Papua
|
0
|
0
|
Semenjak diberlakukannya
otonomi daerah di Indonesia, dimana kekuasaan daerah sangat besar dalam
menentukan kebijakan publik, ternyata malah semakin memperlebar tindakan
korupsi hingga ke daerah-daerah. Berdasarkan data KPK pada tahun 2013 terdapat
35 kasus korupsi dibeberapa daerah yang di tangani oleh KPK. Sedangkan pada
tahun sebelumnya terdapat 48 kasus korupsi yang sedang ditangani oleh KPK.
Banyaknya tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh KPK menunjukkan bahwa
aktivitas penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah daerah cukup besar
setiap tahunnya. Selain itu terdapat juga data mengenai jumlah pengaduan
masyarakat terkait tindak pidana korupsi yang dilakukan aparat daerah. Pada
tahun 2011 terdapat sebanyak 6321 dan ditahun 2012 sebanyak 6100 pengaduan
masyarakat terkait tindakan korupsi didaerah.
Tabel 4, Public Complain on Corruption by Region[4]
No
|
Province
|
2011
|
2012
|
No
|
Province
|
2011
|
2012
|
1
|
Aceh
|
90
|
87
|
17
|
West Nusatenggara
|
92
|
90
|
2
|
North Sumatera
|
573
|
536
|
18
|
East Nusatenggara
|
116
|
103
|
3
|
Riau and Riau Island
|
241
|
236
|
19
|
West Kalimantan
|
99
|
103
|
4
|
Sumatera Barat
|
103
|
142
|
20
|
Central Kalimantan
|
114
|
105
|
5
|
Jambi
|
147
|
161
|
21
|
South Kalimantan
|
73
|
76
|
6
|
Bengkulu
|
123
|
132
|
22
|
East Kalimantan
|
172
|
157
|
7
|
49
|
25
|
23
|
North Sulawesi
|
87
|
98
|
|
8
|
South Sumetera
|
268
|
308
|
24
|
Gorontalo
|
46
|
44
|
9
|
Lampung
|
147
|
101
|
25
|
West Sulawesi
|
24
|
43
|
10
|
Banten
|
139
|
125
|
26
|
Central Sulawesi
|
51
|
41
|
11
|
DKI Jakarta
|
1263
|
1164
|
27
|
South Sulawesi
|
208
|
166
|
12
|
West Java
|
594
|
560
|
28
|
South east Sulawesi
|
72
|
71
|
13
|
Central Java
|
376
|
379
|
29
|
North Maluku
|
73
|
53
|
14
|
Yogyakarta
|
97
|
83
|
30
|
Maluku
|
91
|
85
|
15
|
East Java
|
545
|
633
|
31
|
West Papua
|
64
|
45
|
16
|
Bali
|
95
|
73
|
32
|
Papua
|
89
|
75
|
Prilaku korupsi yang
terjadi di daerah terkait dengan kegiatan investasi banyak berupa perijinan
penggunaan lahan, perijinan tambang, pajak, perijinan usaha dan lain
sebagainya. Terutama aktivitas korupsi terjadi didaerah-daerah yang kaya akan
sumberdaya alam, seperti Sumatera, Papua, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Banyak
investor yang melakukan usaha dibeberapa provinsi di Indonesia, terutama sector
pertambangan dan perkebunan turut melakukan praktek penyuapan agar dapat
memuluskan perijinan investasi disuatu daerah.
Namun terkadang terdapat dampak susulan yang biasanya akan terjadi
semisal konflik lahan dengan penduduk setempat yang lahan adat mereka ternyata
diklaim oleh pemerintah sebagai lahan yang diperuntukkan bagi investor perkebunan
dan pertambangan. Sehingga penting bagi para investor untuk mengetahui daerah,
masyarakat dan system birokrasi daerah tempat mereka berinvestasi.
Kebijakan Pemerintah memberantas Korupsi
Sejak era kepresidenan
Megawati, pemerintah telah membentuk badan khusus untuk menangani tindak pidana
korupsi yaitu KPK, dengan disahkannya UU no 30 tahun 2002. Pembentukan KPK
didasarkan atas tidak efektifnya lembaga hukum (Kepolisian dan Kejaksaan)
dibawah pemerintah dalam menangani korupsi yang terjadi. Hal ini juga karena
banyaknya oknum kepolisian dan kejaksaan hingga hakim yang terlibat dalam
tindak pidanan korupsi.
Ketika dibentuk, KPK
memiliki tugas utama yaitu:
1. Koordinasi dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
2. Supervisi terhadap instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan
tindak pidana korupsi; dan
5. Melakukan monitor terhadap
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Selain itu pada priode
2009-2014, ada usul inisiatif untuk merivisi UU KPK dengan tujuan memperkuat
dan memperluas kewenangan KPK. Namun terjadi banyak polemic pada pembahasan
revisi undang-undang tersebut. Disatu sisi banyak yang melihat bahwa revisi UU
KPK akan memperlemah KPK dikarenakan adanya niat untuk memangkas kewenangan
KPK. Ada juga beberapa pihak yang ingin menguatkan KPK dengan memberikan
kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan atas inisiatif sendiri untuk memantau
pihak-pihak yang dicurigai melakukan tindak pidana korupsi. Usulan ini banyak
ditentang oleh anggota dewan yang beralasan melanggar hak privasi masyarakat
dan kemungkinan KPK dapat dijadikan alat penguasa untuk menghancurkan
orang-orang yang dianggap berlawanan dengan kebijakan atau tujuan penguasa.
Hingga pada Oktober 2012, Badan Legislatif DPR RI kemudian memutuskan untuk
menghentikan pembahasan revisi UU KPK karena dinilai banyak polemic yang
terjadi di masyarakat[5].
Selain itu di tahun 2004,
pemerintah mengeluarkan peraturan berupa instruksi Presiden nomor 5 tahun 2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi. Tujuan dan maksud dari Inpres Nomor 5 Tahun
2004, yaitu untuk mempercepat pemberantasan korupsi di Indonesia. Instruksi
presiden tersebut berisi perintah kepada jajaran cabinet SBY dan pemerintah
daerah untuk membantu KPK dalam mempercepat penanganan kasus-kasus korupsi di
Indonesia[6].
Namun begitu karena
masifnya prilaku korup yang terjadi di Indonesia, hingga saat ini masih banyak
kasus-kasus korupsi yang masih belum terselesaikan dengan baik. Belum lagi
terhadap kasus-kasus korupsi yang di indikasikan melibatkan pejabat maupun
keluarga pejabat tingkat tinggi di Jakarta seperti kasus Century, Impor daging,
pajak dan lainnya. Sulitnya memberantas korupsi di Indonesia juga dikarenakan
banyaknya kepentingan pejabat politik dalam mempertahankan kekuasaannya baik di
pusat hingga daerah. Sehingga banyak kasus hukum terkait korupsi yang dialihkan
menjadi konflik politik.
DPR sendiri juga turut
berperan dalam melakukan pemberantasan korupsi, yaitu dengan membentuk Badan
Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) yang terdiri dari Sembilan anggota dan
berasal dari anggota Fraksi-Fraksi di DPR. Tugas utama dari BAKN adalah
menganalisa hasil audit BPK terkait penggunaan anggaran negara oleh Kementrian
dan pemerintah daerah. Namun sayangnya pengaruh BAKN dalam menentukan kebijakan
penghukuman terkait penyalah gunaan anggaran negara masih belum maksimal.
Penutup
Prilaku korupsi yang
terjadi di Indonesia semakin luas terjadi baik dipemerintahan pusat hingga
daerah. Hal ini membuat Indonesia menjadi salah satu negara dengan indeks
persepsi korupsi paling tinggi. Selain itu prilaku korupsi di Indonesia juga
berakibat kepada hambatan yang cukup besar terhadap investasi langsung di
daerah-daerah. Hambatan tersebut berupa besarnya biaya yang dibutuhkan untuk membangun
sebuah usaha di Indonesia oleh investor. Selain itu juga ketidak jelasan
birokrasi perijinan juga turut menjadi permasalahan bagi dunia investasi di
Indonesia.
Walaupun pemerintah dan
DPR telah membuat banyak kebijakan untuk mengurangi tindak korupsi di
Indonesia, namum kenyataan di lapangan banyak implementasi dari peraturan dan
kebijakan melawan korupsi tidak berjalan dengan baik. Hal ini juga dikarenakan
kepentingan para pejabat politik dan pemerintah (pusat dan daerah) untuk dapat
mempertahankan kekuasaan mereka dengan menarik keuntungan lebih dari
penggelapan anggaran negara hingga pungutan liar terhadap para pengusaha.
[3] Statistik penanganan Korupsi berdasarkan wilayah http://acch.kpk.go.id/statistik-penanganan-tindak-pidana-korupsi-berdasarkan-wilayah
[4] Statistik Pengaduan Masyarakat berdasarkan wilayah http://acch.kpk.go.id/pengaduan-masyarakat-berdasarkan-wilayah
[6] Inpres nomor 5 tahun 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar